3-1
Alvia berangkat menuju sekolah seperti biasanya. Bedanya, hari ini dia tidak memasang wajah ceria seperti biasanya. Mengapa dia harus menjadi panitia acara kemerdekaan? Padahal, osis disekolahnya cukup banyak. Salah ketua osis yang membuat acara kemerdekaan dengan sangat meriah dan membutuhkan orang tambahan. Dasar ketua osis yang suka menghambur-hamburkan uang kas osis.
Kalau bicara soal menghambur-hamburkan uang, Alvia jadi ingat seseorang. Jasmine, putri dari keluarga Renarthent yang juga mengikuti tes calon putri mahkota. Waktu itu kira-kira hanya 5 putri bangsawan yang mengikuti tes tersebut termasuk Farra. Dan Jasmine adalah orang yang sangat berkesan bagi Farra.
Saat menjadi putri mahkota, Farra pernah mendengar rumor bahwa sedikit kesal jika mengingatnya. Dia akui kalau Jasmine memang sangat cantik dan rupawan, cocok sekali jika disandingkan dengan Kenan. Tapi, itu semua hanya topeng.
Berbeda dengan Farra yang mengikuti tes untuk benar-benar menjadi pasangan Kenan, Jasmine mengikuti tes hanya untuk menjabat sebagai putri mahkota dan calon ratu selanjutnya. Jasmine tidak menyukai Kenan, dia hanya ingin jabatan yang bisa ia dapatkan lewat Kenan. Dia mendapat kabar itu langsung dari ibu suri—ibunya Kenan, sumber yang sungguh dipercaya.
Alvia mengepalkan tangannya. Ingatan dimana Kenan pernah membentak Farra karena Jasmine pun muncul
‘Kamu berbuat curang dalam tes ini. kamu membujuk ayahanda dan ibunda untuk memilihmu sebagai putri mahkota. Sungguh memalukan caramu, Farraillen.’
Itulah yang Kenan ucapkan tepat setelah penobatan mereka menjadi putra dan putri mahkota. Dan disitulah, dimulai hari-hari menyakitkan Farra. Ingatan yang sangat ingin dilupakan, bukan?
Seharusnya Alvia tidak usah memberitahu pada Ginan bahwa dia adalah Farra. seharusnya Alvia tidak usah tersenyum manis dan ramah pada Ginan. Seharusnya Alvia tidak usah mengenal Ginan.
Itu yang seharusnya Alvia lakukan. Maka dari itu, sekarang Alvia sudah memutuskan bahwa dia akan menjauh dari Ginan dan melupakan semua masa lalunya. Dia tidak mau menjadi seperti Farra lagi.
^.^
“Sepertinya ketua osis suka padamu.” Rina, teman dekat Alvia saat kelas 10 tiba-tiba mengucapkan hal yang membuat Alvia kesal.
“Atas dasar apa kamu berbicara seperti itu, Rin?”
“Buktinya kamu dipilih sebagai panitia hari kemerdekaan. Itu tandanya dia ingin bertemu setiap hari denganmu. Sudahlah, terima saja pernyataan cinta kak Ari. Dia sebentar lagi turun jabatan, loh. Mau lulus juga, loh.”
“Kalau akunya tidak suka bagaimana? Masa iya harus dipaksakan juga. Namanya bukan simbiosis mutualisme parasitisme.” Sahut Alvia dengan nada tidak suka.
“Jadi kak Ari parasite bagimu? Perumpamaan yang jelek sekali, Alvia.” Rina menghelakan nafas. “Kurangnya kak Ari itu apa? Tampan, iya. Gagah, iya. Berwibawa, iya. Pintar, iya. Mungkin dia ada kekurangan, namanya juga manusia. Tapi lihatlah kelebihannya yang banyak itu.”
“Itu seperti aku menyukai kak Ari karena fisik saja, tahu. Sudah tahu aku bukan tipe perempuan seperti itu, Rin. Sudahlah, kalau aku memang tidak suka, ya tidak suka. Lagipula sebenarnya kak Ari-nya juga sudah tidak memikirkan itu.”
“Kamu sungguh menyia-nyiakan wajah dan bakatmu yang sangat unggul dalam segi apapun. Jadi, laki-laki seperti apa yang kamu mau? Akan aku carikan.”
Alvia berpikir keras. Dia tidak mungkin berkata ‘laki-laki yang seperti Kenan’ sama saja dia ingin menjalin hubungan degan Ginan. Karena jika dia menyebutkan semua ciri-ciri Kenan, pasti akan tertuju pada Ginan. “Tidak usah. Nanti pangeran berkuda putihku akan datang dengan sendirinya untuk menjemputku.”
“Pangeran berkuda putih, ya? Cocok untukmu yang beraura tuan putri. Baiklah, selamat menunggu pangeranmu, tuan putri Alvia.” Rina pergi meninggalkan Alvia.
“Pfft…tuan putri, ya? Auramu memang tidak hilang, sih. Tapi, apa-apaan pangeran berkuda putih. Aku saja, putra mahkota tidak memiliki kuda putih. Kamu tahu sendiri,kan kuda putih hanya milik raja. Tidak ada yang namanya pangeran berkuda putih, yang ada adalah raja berkuda putih.”
Alvia lupa, sangat lupa soal telinga yang sedari awal sudah mendengar perbincangannya dengan Rina.
“Kalau aku mengincar raja, berarti aku akan menjadi selir. Lagipula, aku tidak berniat menjadi ratu, setelah tahu aku akan menjadi seperti itu.” Alvia memelankan suaranya, berharap Ginan tidak mendengarnya.
“Kamu menyesal, ya karena sudah menjadi pendampingku? Tidak apa-apa, aku tahu semua kesalahanku tidak mungkin kamu maafkan begitu saja. Aku sadar dan aku menyesal—“
“Seorang pemimpin tidak boleh menyesal dengan apa yang sudah dia pilih. Kamu sudah memilih hal itu, maka kamu harus menghadapinya. Aku tidak marah padamu. Aku tidak menyesal karena sudah menjadi pendampingmu. Karena itu semua pilihanku. Hanya saja, aku tidak ingin menjadi seperti Farra lagi. Maka dari itu,“
Alvia menatap Ginan dengan tatapan yang sangat sedu, “anggap saja kita tidak saling kenal. Anggap saja aku bukan Farra dan aku juga tidak akan pernah menganggapmu sebagai Kenan. Mari kita lupakan masa lalu. Lupakan kalau kita pernah menjadi pasangan. Lupakan juga kalau aku pernah mencintaimu. Lupakan semuanya, fokus pada kehidupan Ginan dan Alvia. Aku tidak mau Alvia bernasib sama seperti Farra,”
Alvia menguatkan kepalan kedua tangannya, “aku tidak akan menjadi penghalangmu lagi. Aku tidak akan melakukan hal licik lagi untuk menjadi pasanganmu. Aku tidak akan memunculkan wajah memuakkanku lagi. Aku tidak akan menangis lagi, seakan kamu yang jahat. Aku tidak akan memanfaatkanmu lagi. Aku tidak akan menjadi perempuan yang menyebalkan itu lagi. Aku tidak akan—“
“Maaf. Aku minta maaf. Pasti sangat sulit, ya? maafkan aku. Aku tidak pantas menjadi suamimu. Maafkan aku, Farra.”
^.^
“Pokoknya aku tidak terima penolakan!” Ari masih tidak mau membiarkan Alvia memundurkan diri dari posisinya sebagai panitia.
“Dasar keras kepala!” Bentak Alvia
Ginan, yang melihat kedua insan yang masih bercekcok sejak 30 menit yang lalu. Pemandangan ini sebenarnya sudah biasa. Mereka berdua memang terkenal tidak akur, namun cocok menjadi pasangan. Bahkan guru-guru mengira mereka berpacaran. Alvia selalu kesal mendengar rumor itu, apalagi datangnya dari kantor guru.
“Mereka kapan akurnya, ya?” Gumam Nana.
“Mungkin agak susah, mengingat mereka memiliki kepribadian yang bertolak belakang.” Sahut Ginan yang tidak menghilangkan fokusnya kepada kedua insan itu.
“Kamu cemburu?”
Ginan pun menoleh, menatap bingung Nana yang kini sedang menundukkan kepalanya. “Kenapa aku harus cemburu?”
Nana memainkan jari-jarinya. Menarik nafas sedalam-dalamnya, mencoba mengutarakan hal yang selama ini dia pendam. “Karena semua orang menyukai Alvia. Kamu juga, kan?”
“Semua orang memang suka pada Alvia. Ku akui aku salah satunya. Tapi makna suka itu bukan berarti harus menjadi pacar atau sejenisnya. Rasa suka bisa juga sebagai sebuah ungkapan karena menyukai sifatnya dan perilakunya.”
“Nana?”
Nana dan Ginan pun menoleh. Alvia menundukkan sedikit badannya. “Ma-maaf mengganggu kalian. Nana, aku minta maaf karena tidak bisa membantumu dulu hari ini, aku ada urusan. Maaf, ya sudah membuatmu melakukan semua pekerjaan. Besok aku akan membantu lebih banyak lagi.”
Nana menepuk pundak Alvia. “Tidak apa-apa. pulanglah dengan tenang, aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Terima kasih!”
3-2
“Alvia Adarna Leyysa!”
Aku menghelakan nafas, lalu bangun dari dudukku. “Saya!” Semoga aku mendapatkan kabar baik.
^.^
“Dari hasil pemeriksaan, semuanya baik-baik saja. Lalu apa kendalanya?”
“Terkadang, dadaku terasa sakit dan nyeri. Aku juga merasa sesak nafas, pusing dan badanku kadang sangat pucat.” Jelasku dengan detail. Aku merasakan hal ini sejak umurku—ralat—umur Farra 17 tahun. Sejak dulu aku penasaran, mengapa aku merasakan hal itu. Waktu itu, bukannya tidak ada dokter yang mengetahui penyakit itu, akunya saja yang tidak pernah memeriksa kesehatan sendiri. Aku jadi menyesal.
“Hmmm…Tubuhmu tidak menunjukkan hal-hal itu. apa kamu salah?”
Sepertinya, tubuh Alvia tidak merasakan hal yang sama. Baguslah, aku tidak akan seperti dulu.
“Saya kasih resep ini dulu. Kalau kamu gejala yang kamu sebutkan tadi merasakannya lagi, langsung kerumah sakit aja.”
“Terima kasih, dok.” Aku mengambil resep dari dokter itu.
^.^
Sepertinya, dokter dunia ini juga tidak mengetahui penyakit ini. Sampai kapanpun aku tidak akan tahu penyakit apa yang membuatku meninggal. Apa Kenan tahu soal itu? Sepertinya tidak. Tidak mungkin, kan dia menyelidiki tentang penyakitku.
“Huh! Dia saja tidak peduli padaku, untuk apa dia melakukan hal itu demiku?”
“Oh! benarkah?” Aku sangat terkejut. Mengapa dia senang sekali muncul secara tiba-tiba? “Siapa yang tidak peduli padamu? Kenan? Atau aku, Ginan?”
“Se-sedang apa kamu disini? Bukannya urusan panitia lumayan banyak.” Aku memegangi dadaku yang berdegup kencang karena kaget. Jangan bilang sebenarnya aku memiliki penyakit jantung.
“Memangnya kita bekerja sampai malam. Lihatlah sudah jam berapa sekarang. Jangan bilang, urusanmu itu kesini. Siapa yang sakit? Kamu? Sakit apa?”
“Bu-bukan urusanmu!” Aku memaling wajahku. Aku tidak bisa menatapnya setelah mengucapkan hal aneh beberapa hari yang lalu.
“Jika kamu kesini untuk mencari tahu soal penyakitmu dulu, itu tidak akan bisa. Penyakit itu cukup langka. Gejala penyakit itu sama seperti asma dan penyakit jantung. Tapi, bakteri yang menyebabkan penyakit itu berbeda dengan bakteri yang menyebabkan asma dan penyakit jantung.”
“Ka-kamu mencari informasi itu?”
“Tentu! Istriku, ratu yang sangat dimuliakan, tiba-tiba meninggal karena sebuah penyakit padahal pagi harinya cukup sehat untuk berjalan dan membawakanku cemilan seperti biasanya,” Suara Ginan terdengar sedih. Apa dia menangis karena kematianku?
“Apa kamu mau menebus obat? Mau ku antar pulang.”
“Tidak usah. Aku bisa sendiri, nan. Pulanglah, saat urusanmu sudah selesai disini. Jaga kesehatanmu. Sampai bertemu besok.” Aku meninggalkan Ginan tanpa membalikkan tubuhku lagi.
Ginan tidak memanggilku lagi. Sebenarnya apa yang kuinginkan? Mengapa aku ingin Ginan berlari menghampiriku, lalu memeluk? Mengapa aku ingin Ginan menghentikkan ku dan menjadi lebih banyak bertanya agar tahu keadaanku? Mengapa?
“Terima kasih, ratuku.”
3-3
Alvia berjalan pulang kerumahnya sambil menahan tangis. Dia sungguh mencintai Kenan. Apapun yang Kenan lakukan padanya, sikap dinginnya, ketidak peduliannya, rasa bencinya, apapun itu, tetap tidak bisa membuat dia membenci Kenan.
Bodoh
Satu kata itu sudah cukup mendeskripsikan Alvia. Sepertinya, rasa suka ini kutukan buat Alvia. Dia merasa bahwa dia harus, wajib mencintai Ginan sebagaimana dia mencintai Kenan. Tapi, semua itu tidak mudah. Alvia adalah manusia, manusia yang memiliki hati. Dia tidak mungkin melupakan sakit hatinya yang disebabkan oleh Kenan.
Jujur, setiap melihat Ginan, Alvia sangat ingin berteriak dan memarahinya. Tapi dia tidak bisa. Lebih tepatnya takut.
“Aku pulang, bun”
“Oh! Via pulang. Mau langsung makan atau istirahat dulu?”
Alvia hanya diam. Dia berjalan sambil menunduk, menghampiri bundanya. Dia pun memeluk erat bundanya. “Hiks, hiks, hiks,”
Bunda Alvia membalas pelukan putri semata wayangnya, dia juga mengelus kepala putrinya dengan lembut. “Ada apa? ada masalah disekolah?”
“Bukan”
“Mau cerita sama bunda?” Alvia menggelengkan kepalanya. “Ya sudah,” Bunda Alvia mengeratkan pelukannya, seakan tidak ingin kehilangan putrinya ini “Bunda akan tungguh saat dimana Via mau cerita soal ini. Kalau lihat Via sering menangis tanpa alasan, hati bunda selalu sakit. Via tidak boleh seperti ini terus.”
Jika Ginan selalu mendapat mimpi buruk yang membuatnya menangis setiap malam, maka Alvia selalu menangis tanpa alasan. Setiap hari, dimana pun tempatnya Alvia sering menangis. Saat ditanya alasannya, Alvia selalu menggelengkan kepalanya, entah dia tidak tahu alasannya atau dia tidak ingin bercerita.
Kehidupan kedua Kenan dan Farra, seperti saling menyiksa satu sama lain. Kenan yang selalu menyalahkan dirinya atas kematian istrinya. Farra yang berusaha membenci Kenan, mengabaikan perkataan hatinya. Pada akhirnya, kisah mereka memang tidak akan happy ending. Lalu, untuk apa semua ini? untuk apa kehidupan reinkarnasi dengan dibekali ingatan kehidupan masa lalu. Bukan untuk menebus kesalahan? Bukan untuk mencegah agar tidak melakukan hal yang sama? Jadi, untuk apa semua ini?
Apa kehidupan ini untuk mengutuk Kenan dan Farra? mengutuk Kenan karena kesalahannya, karena sifat dinginnya. Mengutuk Farra yang terlalu jatuh cinta pada Kenan, mengorbankan segalanya demi Kenan. Apa kehidupan Ginan dan Alvia untuk itu.
Jika, iya. Maka tidak ada happy ending untuk mereka berdua. Kisah ini sudah tertebak sekali endingnya. Yaitu, sad ending. Sungguh menyedihkan.
“Aku jadi menyesal sudah membuat mereka berinkarnasi kalau tahu akan seperti ini.”
Fantasi romance, ya?
Comment on chapter ReincarnationTdi aku bca, ada tanda baca yg selip. Typo mmg tanda cinta, macam aku yg selalu punya typo.