2-1
“Ya ampun! Kenapa bisa lupa? Pasti ditunggu bu Mia. Maaf, Ginan. Aku titip buku absen, ya? Maaf!” Setelah memberikan buku absen kepada Ginan, Aku pun berlari menjauh dari Ginan.
Sebenarnya, apa yang aku ucapkan tadi? Sungguh memalukan. Gara-gara dia memanggilku Farra, aku sudah sangat senang. Aku benar-benar mengira bahwa dia memang Kenan. Tapi, tidak mungkin bukan? Ini bukan dunia dimana Kenan dan Farra menjalani hidup. Ini adalah dunia dimana Ginan dan Alvia menjalani hidup.
Bagimanapun juga, aku tetap wanita yang sangat bodoh. Sudah tahu ditakdirkan tidak akan mendapat cinta dari Kenan. Tetap saja, aku selalu mencintainya. Bahkan sekarang pun, aku masih mencintainya. Sama saja aku memohon untuk disakiti lagi, bukan?
Aku menyenderkan badanku di dinding, menutup wajahku dengan tanganku. Air mataku turun lagi. Setelah sekian lama, akhirnya aku menangis lagi karena Kenan. Entah menangis bahagia karena bertemu lagi atau menangis karena takut akan disakiti lagi.
Aku tidak tahu. Hatiku kembali sakit lagi.
Aku merindukannya.
Aku menarik nafasku. Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku adalah Alvia, bukan Farra.
2-2
Akhirnya, yang ku tunggu-tunggu datang. Alvia masuk kedalam kelas dengan langkah yang lemah lembut. Aku jadi teringat dengan Farra saat masuk kedalam ruanganku.
Ada sesuatu yang menggangguku. Matanya terlihat sembab dan merah. Apa dia habis menangis?
Aku seperti sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Apa Farra selalu menangis sendirian? Aku sungguh jahat karena bersikap tidak peduli. Padahal aku sangat tahu kalau Farra selalu menangis setelah masuk keruanganku. Dan sepertinya itu sudah menjadi kegiatan sehari-hari Farra.
Jahat
Aku memang sangat jahat karena sering membiarkan istriku menangis sendirian yang bahkan alasan dia menangis itu karenaku. Aku tahu itu. aku sadar itu. tapi, aku berpura-pura tak peduli. Aku menyesal.
Alvia duduk disebelahku—aku baru sadar kalau dia duduk disebelahku, pasti banyak yang iri padaku mengingat Farra adalah perempuan populer. Aku memperhatikan Alvia yang sedang sibuk mengeluarkan buku-bukunya untuk persiapan belajar. Dia masih rajin seperti dulu. Aku jadi teringat saat dia sering memantau pekerjaan para dayang dan pelayan, padahal aku tidak pernah memintanya. Jika mengingat hal itu, aku jadi tersenyum-senyum sendiri.
“Ginan? Kamu kenapa? Jangan senyum-senyum sendiri! Nanti disangka orang gila—“Alvia langsung menutup mulutnya. “Ma-maafkan aku. Aku berbicara hal yang tidak baik padamu—“
“Aku Ginan, bukan Kenan. Jangan bersikap formal seperti dulu padaku. Aku jadi tidak enak. Bersikaplah seperti Alvia yang terkenal ramah, walaupun Farra yang kukenal juga terkenal dengan bangsawan yang ramah. Sepertinya sikap itu memang sangat melekat padamu.” Aku tersenyum. Aku sangat ingin memberikan senyum ini padanya.
Kulihat, wajah Alvia memerah. “Wajahmu sangat merah.”
Kini Alvia terlihat sedikit kesal dan malu. “Ja-jangan ganggu aku! Aku tidak suka!” Alvia sedikit memajukan bibir mungilnya. Dulu, bibir mungil itu adalah milikku, sudah sangat sah milikku. Aku menyesal karena sudah menyianyiakan bibir itu selama tiga tahun.
“Terima kasih!” Ucapku dengan menatap dalam mata coklat Alvia. “Terima kasih karena sudah menjadi wanita yang kuat.”
^.^
“Katanya tidak tertarik dengan Alvia, tapi daritadi kelihatan dekat. Jangan-jangan ada maksud lain!” Seperti biasanya, Arka sungguh cerewet. Aku lupa kalau dia sekelas denganku. Pasti dia memperhatianku saat mengobrol dengan Alvia.
“Tidak ada maksud apapun. Aku hanya ingin berteman. Itu saja.” Sahutku dengan nada datar. “Segitu sukanya kamu dengan Alvia?”
“Memangnya kamu tidak tahu, nan? Kalau Alvia sebenarnya itu terkenal bukan karena kecantikannya, tapi karena kebaikan hatinya. Banyak orang yang sudah dia selamatkan secara tidak langsung. Mungkin dia juga tidak sadar kalau dia sudah menyelamatkan banyak orang. Dia juga lumayan terkenal dikalangan masyarakat.” Aku mengangguk-angguk kecil saat Bima bercerita.
“Soal suka atau tidaknya, sepertinya semua orang suka sama Alvia.” Sambar Rio. “Mungkin kamu, nan salah satunya.” Aku menunjuk diriku sendiri seolah bertanya ‘Aku?’ “Iya! bukan rasa suka yang harus berpacaran, ya. Tapi rasa suka yang muncul karena sikap baiknya Alvia. Hanya sekedar ‘suka’ aja.”
“Tapi, kalian sering memperhatikan Alvia, sering membicarakannya. Aku merasa kalian seperti stalkernya. Aku jadi kasihan dengan Alvia.”
Semua orang menatapku datar. “Kamu tidak seru, Nan. Sumpah! Tidak seru! Awas saja kalau suatu saat kamu menaruh rasa dengan Alvia.”
Sebenarnya aku sudah menaruh rasa pada Alvia. Lebih tepatnya Kenan menaruh rasa pada Farra. Aku tidak tahu Ginan akan menaruh rasa pada Alvia atau tidak.
Aku sedikit agak kesal saat mendengar mereka selalu bercerita tentang Alvia saat kusudah tahu kalau Alvia sama sepertiku, reinkarnasi. Mungkin Kenanlah yang sebenarnya kesal, tapi apakah Ginan juga kesal? Aku jadi bingung membedakan diriku. Kenan dan Ginan sungguh orang yang berbeda. Namun, Farra dan Alvia sangat kelihatan bahwa mereka adalah orang yang sama.
“Ngomong-ngomong soal suka, tadi ada anak kelas 10 yang menyatakan perasaan pada Alvia.” Kata Arka disambut dengan kehebohan yang lainnya.
“Alvia sudah terkenal dikalangan murid baru.” Rio mengeluh.
“Mungkin karena dia osis. Anak kelas 10 sudah mengenalnya sejak masa MPLS.” Sahut Bima.
Setelah itu, Arka bercerita kronoligis bagaimana si anak kelas 10 menyatakan cintanya dan bagaimana Alvia menolaknya. Katanya, si anak kelas 10 ini sudah menjadi laki-laki yang kesekian kalinya yang ditolak oleh Alvia. Dan aku juga baru tahu kalau Alvia sudah terkenal sejak MPSL, banyak senior yang menembaknya saat kelas 10 dulu.
Alasan yang digunakan Alvia selalu sama, ‘aku tidak tertarik soal percintaan’.
Aku jadi ingat, Chris pernah memberitahuku soal anak perempuan dari salah satu keluarga bangsawan teratas yang cukup terkenal dengan sikap murah hatinya sudah menolak banyak sekali lamaran. Dia lebih memilih mengikuti seleksi putri mahkota yang katanya lumayan sulit itu. Anak perempuan dari keluarga bangsawan teratas itu bukannya Farraillen Macrylias? Aku baru ingat kalau Farra berasal dari keluarga Macrilias. Keluarga bangsawan yang sangat disukai ayahanda.
Mengapa aku melupakan hal itu? bukannya karena hal itu aku jadi mulai membenci Farra? aku mengira duke Macrylias memohon pada ayahanda dengan jabatannya untuk menikahi anaknya denganku. Aku mengira, karena hal itu juga aku tidak bisa menikahi Jasmine.
Kekanak-kanakan sekali diriku saat itu. menumpahkan semua kesalahan pada Farra. kesalahanku sungguh banyak dan tidak mungkin bisa dimaafkan lagi oleh Farra.
2-3
“Sedang apa kamu disini?” Farra terkejut. “Sedang menangis? Apa itu kebiasaanmu, menangis sendirian?” Ginan duduk disamping Alvia yang sedang memeluk kakinya. “Lain kali, menangislah dipundak seseorang. Itu akan membuat lebih baik.”
“Aku tidak menangis. Hanya sedang merenung.”
“Merenungkan soal anak kelas 10 yang menyatakan cintanya padamu? Aku terkejut sekali kalau kamu sangat, sangat populer. Bahkan teman-teman dekatmu pasti selalu membicarakanmu saat kita sedang berkumpul. Ini saja aku kabur karena aku sudah bosan dengan bahan pembicaraan yang sangat monoton.”
“Bukan! Aku bukan merenungkan soal anak kelas 10. Dan aku juga tidak ingin menjadi terkenal seperti sekarang. Aku jadi merasa sedikit takut. Aku mulai bertanya, ‘apakah nasibku akan sama dengan Farra?’ ‘apakah aku akan kembali menjadi Farra?’ aku sungguh tidak mau menjadi Farra. hidup sebagai Farra sungguh melelahkan. Bahkan aku pernah berpikir untuk melakukan bunuh diri agar bisa kabur dari—“ Alvia menggantung kalimatnya.
“Aku benar-benar takut.” Alvia menundukkan kepalanya. Semakin mengeratkan pelukan kakiya. Dia masih tidak ingin terlihat lemah didepan Ginan, maka dari itu dia menyambunyikan wajahnya.
“Apakah kamu takut padaku?”
“Bu-bukan! Aku hanya takut hidupku akan menjadi seperti Farra.”
“Sama saja.” Ginan menghelakan nafasnya. “Kamu takut menjadi Farra karena kamu takut aku juga menjadi Kenan yang akan kembali menyakitimu. Kamu takut kita akan bersama lagi, menjalani kisah yang sama seperti Kenan dan Farra. Benar, bukan?”
“Bukan kamu yang kutakuti. Aku hanya takut aku kembali jatuh cinta seperti dulu dan berjuang mati-matian agar menjadi pasanganmu seperti dulu. Lalu, meninggalkanmu begitu saja. Itu yang kutakuti. Membuat orang yang kucintai sedih. Aku takut meninggalkanmu seperti dulu lagi. Kita tidak tahu, kan seperti apa takdir Ginan dan Alvia? Dan mengapa Ginan dan Alvia harus dipertemukan?”
Ginan terkejut dengan apa yang Alvia katakan. Pada akhirnya, Farra akan selalu mencintai Kenan apapun yang terjadi. Bahkan didunia ini pun, Farra yang bereinkarnasi sebagai Alvia kembali jatuh cinta pada reinkarnasi Kenan, Ginan.
Bukannya, seharusnya dia memilih untuk menjauh agar kisah tidak terulang? Bukannya jika dia memberitahu bahwa dia adalah reinkarnasi Farra pada Ginan akan membuat kisah mereka kembali terulang?
Alvia sungguh tidak sadar dengan tindakannya tadi pagi. Disalah memilih jalan. Dia salah memutuskan. Dia memilih jalan dan keputusan ini seakan menantang Ginan untuk menjalani kisah yang sama. Mungkin, ketakutannya yang sekarang akan terjadi suatu saat nanti.
“Kamu tidak berubah, Farra. Sama sekali tidak berubah. Masih mementingkan orang lain dibandingkan dirimu sendiri.”
“Ya, memang Farra dan Alvia itu aladah orang yang sama. Kenan dan Ginan pun juga seperti itu. ngomong-ngomong Kenan dan Ginan, nama itu sedikit terdengar sama. Apa kamu sengaja?”
“Tidak mungkin. Nama itu kedua orang tuaku yang memberikan. Aku tahu bahwa diriku adalah Kenan saat umurku tujuh tahun. Apa kamu juga sama?”
“Sepertinya, iya. Aku lupa.”
“Apa kamu pernah bermimpi tentang kehidupan Farra?”
“Tidak pernah.” Alvia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ginan pun tertawa kecil. “Kamu kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu, tahu!”
“Kamu terlihat lucu.”
Wajah Alvi pun memanas dan memerah. “A-aku bilang jangan menggodaku seperti ini!!”
“Wah! Wajahmu semakin lucu. Coba taruh ketua tanganmu dipipimu sambil mengembungkan pipimu! Itu akan terlihat lebih lucu lagi.” Ginan semakin menjahili Alvia. Ginan tidak tahu kalau menjahili Alvia akan sangat seru.
“Ginan!!!”
“Kamu berani membentakku, ya ratuku? Siapa yang memperbolehkanmu?” Ginan bertolak pinggang, berlaga seperti Kenan yang tegas.
Alvia pun menundukkan wajahnya. “Ma-maaf. Aku sungguh tidak sopan padamu.”
Tawa Ginan pun pecah. Dia tertawa terbahak-bahak layaknya orang yang sedang menonton acara komedi ditelevisi. Ginan sampai sedikit mengeluarkan air mata saking gelinya tertawa. Alvia yang melihat hal itu pun menyatukan alisnya, menatap bingung dan aneh Ginan yang masih saja tertawa.
“Kamu benar-benar lucu. Aku tidak tahu kamu sangat lucu seperti ini. kalau dari dulu aku tahu, mungkin aku akan lebih sering menjahilimu. Kenapa Chris tidak pernah memberitahukan hal ini padaku dulu.” Ucap Ginan disela tawanya. Alvia masih terdiam, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. dia takut melakukan hal yang salah, mengingat kalau Ginan dan Kenan adalah orang yang sama.
“Apa perutmu tidak keram?” Tanya Alvia saat tawa Ginan mulai mereda. “Kamu terlihat sangat senang sekali. padahal tidak ada yang harus ditertawakan.”
“Bukannya tidak ada, kamu saja yang tidak tahu hal lucu itu. atau bisa di bilang kamu tidak melihat hal yang lucu itu.”
Alvia terkekeh, “Aku jadi tahu dirimu yang lain. Ternyata kamu tipe orang yang bisa tertawa terbahak-bahak hanya karena hal kecil. Aku jadi senang. Dulu aku berpikir kalau kamu sangat jarang tertawa. Aku sempat khawatir karena itu.”
“Ini pertama kalinya aku tertawa terbahak-bahak seperti ini. dan alasannya adalah kamu.”
^.^
“Ginan? Ternyata kamu disini. Kamu dicari pak Jeje.” Nana memotong obrolan Ginan dan Alvia. “Oh! ada Alvia. Maaf ganggu.”
“Tidak apa-apa. kita sudah selesai, kok ngobrolnya. Terima kasih, ya Ginan.” Alvia bangun dari duduknya. Merapihkan baju dan rok seragamnya. “Aku kekelas duluan, ya. Sebentar lagi bel.”
“Aku tidak tahu kalian itu teman dekat.” Kata Nana saat Alvia sudah menghilang dari pandangan mereka.
“Kita baru berteman hari ini.” Sahut Ginan dengan nada yang lumayan datar. Sepertinya sifat dingin Kenan tidak menghilang dari diri Ginan. “Ayo! Katanya, pak Jeje nunggu,kan?” Ginan berjalan meninggalkan Nana.
“Tunggu!” Teriak Nana, berhasil membuat Ginan membalikkan badannya. “Kamu suka sama Alvia?”
“Apa, sih? Jangan bicara yang aneh-aneh. Lebih baik kita ke pak Jeje. Bisa-bisa kena marah karena lama.” Ginan kembali berjalan meninggalkan Nana. “Ayo!”
2-4
“Alvia! Kamu lihat Ginan, tidak?” Arka, teman dekat Ginan datang menghampiriku saat aku baru saja masuk kedalam kelas.
“Tadi, Ginan dipanggil sama pak Jeje kata Nana.”
“Oh! Nana.” Arka mengangguk-angguk kecil. “Mau tahu rahasia kecil tidak?” Aku tidak percaya kalau Arka adalah tipe laki-laki yang suka bergosip. Sama seperti Chris, selalu bergosip tentang Kenan. “Nana itu sebenarnya suka sama Ginan.”
Topiknya gosipnya lumayan berat. “Lalu, mereka berpacaran? Pantas saja tadi Nana melihatku dengan tatapan jengkel. Ternyata itu”
“Oh, ya? Padahal mereka tidak pacaran, loh. Bahkan Ginan pun tidak tahu kalau Nana suka dengannya. Ginan itu laki-laki yang tidak peka pada sekitar.”
Aku tahu itu. Sangat tahu itu. Aku sudah berpengalaman menghadapi Kenan yang dingin, tidak berperasaan dan tidak peka. Jadi, aku tidak kaget dan terkejut dengan Ginan.
“Aku jadi merasa kasihan dengan Nana.”
“Kenapa kamu tidak membantu Nana? Beri tahu saja Ginan kalau Nana itu menyukainya. Untuk masalah Ginan membalas perasaan Nana atau tidak, itu dipikirkan nanti saja.”
“Itu masalahnya!” Arka sedikit menaikan nada bicaranya. “Aku pernah mencoba memberitahunya, tapi dia seakan mencoba mengalihkan pembicaraan.”
Ini sudah pasti. Ginan sebenarnya tahu dan sadar, tapi dia pura-pura tidak tahu. Sepertinya, masalah asmara ini semakin sulit dan membuatku sedikit tertarik. Tunggu! Kenapa aku jadi mengurusi masalah orang lain?
“Apa yang kalian bicarakan?” Aku dan Arka terkejut.
“Nan! Jangan seperti itu!” Arka memarahi Ginan. Jujur, aku juga sangat terkejut dengan kehadiran Ginan, apalagi saat itu aku posisinya sedang melamun. Jantungku, jantungku.
“Alvia, kamu dan aku akan jadi panitia untuk acara hari kemerdekaan.” Aku menatap dalam mata Ginan. Tatapannya benar-benar sama dengan Kenan. Caranya berbicara juga. Dan saat dia mengabaikan Arka, sama dengan cara dia mengabaikan Chris yang sedang melapor disaat moodnya buruk. Jadi, Ginan benar-benar Kenan.
“Ada apa?” Tanya Ginan dengan nada dinginnya. Kenan tetaplah, Kenan, ya? Sepertinya, Alvia memang tidak boleh bertemu dengan Ginan. Aku takut, nasibnya akan sama dengan si bodoh Farra.
Fantasi romance, ya?
Comment on chapter ReincarnationTdi aku bca, ada tanda baca yg selip. Typo mmg tanda cinta, macam aku yg selalu punya typo.