Read More >>"> Negeri di Atas Awan 3265 mdpl
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negeri di Atas Awan 3265 mdpl
MENU
About Us  

Dentingan suara petikan gitar menghiasi langit – langit ruang. Terdengar syahdu dan menenangkan. Tak terasa seberkas cahaya temaram masuk dari jendela ruang. Cahaya itu begitu lembut menyibak gorden kamar dan membuatnya bersiluet. Mentari mulai tumbang di kaki langit dan jingga telah bertahta di cakrawala.

Ingatan beberapa waktu lalu masih tajam menghujam otak ku hingga sekarang. Malam Itu mungkin akan menjadi perjalanan yang mungkin tak pernah terlupakan bagiku. Dan aku bersyukur bisa kembali ke dunia fana ini dan bebas menghirup udara segar tanpa harus membayar sepeserpun.Aku meletakkan gitar di sampingku lantas ku baringkan tubuh ini ke kasur. aku menatap langit - langit ruang. Ingatan itu seketika kembali menghias pikiranku.

Malam itu di tengah gemerlap bintang gemintang dan rembulan yang senantiasa menggantung di langit, aku memulai perjalan ke sebuah tempat yang ku sebut dengan negeri di atas awan.

“Apakah kau sudah menyiapkan semua perlengkapannya, Def ?” kata Kak Rian padaku

“Sudah dong carrier ku udah penuh barang bawaan, berat banget ini Kak” Ujarku sambil memonyongkan bibir dan lantas membuat gelak tawa pecah di rombongan yang terdiri dari enam orang ini. Tentulah anggota rombongan ini adalah teman dekat dan di antaranya adalah kakak tingkat ku.

Tanpa basa – basi lagi kami berenam, Aku, Maya, Kak Rian, Kak Angga, Kak Afan dan Kak Fiki beranjak dari kediaman ku. Suara mesin sepeda motor menggerung tanda siap untuk melakukan perjalanan ini. Satu jam berlalu, cahaya bintang gemintang mulai memancar elok. Pucuk – pucuk pepohonan terlihat berwarna keemasan di terpa cahaya rembulan.

Dua jam berlalu di habiskan dengan duduk di atas jok sepeda motor. Begitu penat pantat ini bersinggah di atas motor. Akhirnya sampailah di kami di sebuah tempat. Ada sebuah rumah yang pilarnya terbuat dari bambu dan dindingnya terbuat dari gedek dan untunglah atapnya terbuat dari genteng. Masih layak untuk di sebut sebuah “rumah”. Di sebelahnya ada tanda terbuat dari seng yang di cat dengan warna biru. Di tengahnya terdapat tanda anak panah dan di bawahnya tertulis “Parkir”. Tanpa basa – basi kami langsung menuju ke area tersebut. Disana  sudah ada petugas yang mengampu.Tak lama kami pun menuju “rumah” yang tadi kami lewati.

“Kita cek dulu semua perlengkapannya” Kak Fiki memberi komando. Tanpa di suruh dua kali kami pun segera mengecek barang bawaan. Lima menit berkutat, akhirnya selesai. Namun Kak Fiki menyuruh kami beristirahat sebentar. Lampu petromaks berpendar - pendar di sudut ruangan.Cahaya temaramnya menerpa wajah. Dua puluh menit berlalu, kami habiskan mengobrol dengan topik yang ringan. Contohnya menggoda Kak Angga yang konon punya pacar baru. Suasana di “rumah” itu menjadi hangat oleh candaan.

“Ayolah kita berangkat, kaki ini rasanya ingin segera melangkah ke sana kawan” kata Kak Angga

“Oii, bilang saja kau sudah lelah hati kami goda” kata Kak Afan dengan wajah masih dendam ingin menggoda

Kak Angga dengan wajah masygul telah melangkah menuju hutan belantara, meniti jalan setapak. Yang lain tak ingin kalah, apalagi Maya dari tadi ia merengek ingin segera berjalan. Tak sabar akan ada kejutan apa disana. Lima belas menit kami berjalan, cahaya temaram lampu dari “rumah” yang kami singgahi tadi sudah benar – benar hilang di telan kegelapan.

Sepanjang perjalanan kak Rian terus saja mengoceh tentang pohon yang hanya berbuah selama delapan puluh tahun sekali. Ia amat antusias menceritakan pohon tersebut. Kalau soal bercerita dan pengetahuan tentang alam, kak Rian memang yang nomor satu.

“Coco de Mer, pohon itu banyak di jumpai di sebelah timur laut Madagaskar Afrika” kata Kak Rian dengan menyunggingkan senyum di bibirnya. Maya yang ada di samping kak Rian mangut – mangut mendengarkan penjelaskan dari Kak Rian.

“Pernah dengar soal alap – alap kawah ?” kata kak Rian sambil memandang Maya. Lantas Maya yang di tanya segera menggelengkan kepala.

“Itu hewan yang hidup di kawah – kawah gunung, termasuk sepesies burung. Di sebut alap – alap karena kemampuan terbangnya yang begitu cepat. Oii, hewan ini langka, biasanya sih hewan ini hidup di sekitar kawah Semeru paling—“

“Bisa kah engkau berhenti mengoceh, Yan” kata Kak Afan sambil menjitak kepala Kak Rian. Yang di jitak hanya cengar – cengir tak berdosa lantas juga membalas. Kami tentu merasa risi dengan segala ocehan kak Rian, namun tak dapat di pungkiri juga kalau memang ocehan kak Rian itu menambah pengetahuan. Kak Fiki yang sedari tadi fokus berjalan juga menyunggingkan senyum melihat tingkah Kak Rian dan Kak Afan yang sekarang saling memiting.

Dua setengah jam berlalu, malam sudah semakin larut. Kaki ini terasa pegal, belum lagi tas yang menjadi bertambah berat. Aku melirik jam yang ada di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul dua belas dini hari. Udara dingin mulai menusuk kulit. Setengah jam berlalu lagi. Dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Aku mendongakkan kepala. Konstelasi bintang gemintang terlihat lebih jelas dan cahaya putihnya berpendar – pendar memanjakan mata yang memandang. Cahaya rembulan membuat sekitar menjadi lebih terang. Aku mengerjap ngerjapkan mata. Apakah masih lama perjalanan ini ?. begitu gumamku dalam hati.

“Ayo kita lanjutkan perjalanan kawan” kata Kak Fiki. Ia telah berdiri gagah menggendong carrier-nya. Gurat wajahnya terlihat mengesankan di terpa sinar rembulan. Lantas kami pun segera melanjutkan perjalanan walau kaki ini terasa enggan untuk berjalan. Kali ini Kak Fiki ada di belakang ku, ia tak banyak bicara tidak seperti Kak Rian.

Satu jam berlalu lanyaknya menunggang siput. Begitu lama. Dan punggung ini rasanya berat sekali seperti menggendong rumah. Lima belas menit melangkah Maya sudah kepayahan menggendong tasnya, ia mulai berjalan gontai. Ditambah udara yang semakin dingin menusuk kulit. Sudah hampir pukul dua dini hari. Derik jangkrik terdengar bersaut sautan, terkadang berhenti sejenak karena terkejut dengan suara derap kaki kami. Kami beristirahat sejenak. Setiap setengah jam kami selalu beristirahat karena keadaan stamina yang semakin terkuras.

Dua jam berlalu, sudah genap lima basecamp yang kami singgahi. Ini adalah yang terakhir. Kabut menyelimuti area ini. Kami ber enam kepayahan mendirikan dua tenda karena udara yang semakin dingin hampir menyentuh suhu delapan derajat celcius. Sesekali kami bergidik kedinginan, bahkan Maya sudah menggigil.

Setelah setengah jam berkutat, akhirnya tenda tersebut telah berdiri menyibak kabut. Aku duduk di alas tenda meluruskan kaki, sedang Maya telah meringuk di pojokan tenda. Kakak – Kakak yang lainnya tengah menyiapkan air panas. Sebenarnya aku ingin sekali keluar, namun kaki ini terasa pegal untuk melangkah walau hanya satu meter.

Aku untuk sekian kalinya melirik pergelangan tangan. Sudah pukul setengah lima, kami harus berangkat menyelesaikan perjalanan yang tinggal buntutnya saja. Kak Afan dan Kak Angga yang staminanya mungkin sudah terisi penuh telah berjalan memimpin rombongan. Hanya Maya yang sedikit kepayahan, karena ia masih bangun tidur. Aku berjalan bersisihan dengan Kak Fiki, aku menatap wajahnya, tak ada satu gurat lelah. Hanya gurat tegas dan semangat yang ada di wajahnya. Memang beberapa waktu lalu aku mulai mengaguminya, setiap kali ku menatap wajahnya rona merah segera menyabar ke seluruh wajah. Apalagi saat ia membalas menatapku, terguncang sudah hati ini.

 Satu jam berlalu, nafas kami mulai tersengal kepayahan. Sesekali duduk, sesekali mengeluh tertahan, sesekali pula kaki ini tergelincir bebatuan terjal karena mendan yang cukup sulit, dan sesekali pula Kak Fiki membantuku menaiki medan terjal. Aku yakin wajahku saat itu sepeti kepiting rebus, merah padam.

Embun menggelayut di dedaunan, kabut mulai samar. Jarak pandang semakin bertambah. Mentari mulai mancarkan cahayanya. Pucuk – pucuk pepohonan terlihat keemasan di terpa sinar matahari, beberapa lainnya terhalang kabut yang masih tebal, hingga cahaya matahari tak sanggup meembus gumpalan kabut itu hanya mampu membentuk siluet. Aku terbuai dengan keindahan alam ini hingga aku tak sadar menginjak sebuah batu yang sudah lapuk dan aku terperosokkebawah. Jurang yang mengaga siap memelukku.

“Oiii, Defa” Kata Kak Fiki yang menyusulku ke bawah dengan berlari – lari.

Aku bahkan tak sadar bahwa aku telah terperosok. Kaki tangan ku sempurna tergores batuan cadas. Dan juga kepala yang terbentur akar pohon ini terus mengalirkan darah segar. Rasanya aku seperti terhenyak dari kehidupan fana ini. Lengang, tatapanku kosong. Maya mengguncang badan ku dan sesekali berteriak, namun telingaku samar mendengarnya. Mata ini mulai sayup memandang sekitar. Sepuluh menit berlalu, mataku sejak tadi telah terpejam. Entah energi dari mana mataku kembali terbuka. Aku merasakan tamparan yang begitu “dahsyat” dari Kak Fiki. Terdengar helaan nafas lega dari setiap penjuru. Aku mengerjap ngerjapkan mata.

“Apa kita sudah sampai” kataku dengan nafas masih tersengal.

“Masih belum Def, kau mau kembali ke tenda ? akan ku antar” kata Kak Fiki yang ku balas dengan menggeleng tegas. Aku tak mau perjalanan ini sia – sia.

Dengan sisa tenaga, aku di papah kak Fiki dan Kak Angga menuju ke “negeri” itu. Sesekali luka ini terasa perih,  lantas aku meminta berhenti sejenak. Bagaimana tidak perih kalau luka ku hanya di tambal dan di bersihkan dengan dedaunan seadanya. Kata kak Afan “Biar nggak infeksi”. Aku tau itu hanya tipu muslihatnya.

Mentari telah sempurna membulat di ufuk timur, aku tau kami terlambat untuk mendapatkan sunrice tapi perjalanan ini jauh dari kata sia – sia. Semua lelah terbayarkan oleh pemandangan yang tak terbayangkan. Awan terlihat berarak dari atas. “Lihat, lautan awan yang indah bukan?” kata Kak Fiki dengan menyunggingkan senyum di wajahnya. Aku hanya mengangguk setuju. Sinar mentari yang hangat mulai menerpa wajah yang kusut ini. Angin semilir berhembus menyibak rambut panjangku. Mata ini memandang kemegahan dan keindahan dari atas ketinggian 3265 mdpl.

Tiba – tiba seseorang merengkuh pundakku. Suara lirih itu dibisikkan di telingaku menggetarkangendang telingaku , melalui osikula bunyi itu bergerak kerumah siput dan menggetarkannya yang kemudian ditangkap oleh syaraf auditori dan suara itu dikirim ke otak lantas suara itu ditafsirkan. Mataku berbinar sungguh seperti di setrum ribuan volt.

Handphone ku berdering  membuyarkan lamunanku, Oii, sudah pukul enam petang. Aku menyunggingkan senyum melihat foto enam orang yang berdiri gagah membelakangi lautan awan. Tentulah ada alasan tersendiri mengapa aku menyebutnya negeri di atas awan. Karena sungguh di sekeliling tanah yang kami pijak di atas ketinggian 3265 mdpl hanya terdapat gumpalan awan. Dan sesekali awan itu berarak tertiup angin, menggumpal, menggulung layaknya ombak dilautan. Terimakasih kawan telah membawaku ke negeri diatas awan yang begitu elok nan permai. Dan satu hal lagi, bisikan itu sampai kapanpun tak kan pernah terlupa. “I Love You From 3265 mdpl, selama setahun terakhir aku berkutat dengan perasaan ini. Ku harap kau juga begitu” bisikan dari seseorang yang sekarang singgah di hatiku. Siapa lagi kalau bukan sang komandan. Benar kak Fiki.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Neverends Story
29      3     0     
Fantasy
Waktu, Takdir, Masa depan apa yang dapat di ubah Tidak ada Melainkan hanya kepedihan yang di rasakan Tapi Harapan selalu menemani perjalananmu
Dessert
13      8     0     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Youth
106      34     0     
Inspirational
Salah satu meja di kafe itu masih berisikan tiga orang laki-laki yang baru setahun lulus sarjana, mereka mengenang masa-masa di SMA. Dika, Daffa, dan Tama sudah banyak melewati momen-momen kehidupan yang beragam. Semuanya tak bisa mereka pilih. Mereka diizinkan berkumpul lagi setelah sempat berjanji untuk bertemu di tanggal yang mereka tentukan. Apa pun yang terjadi, mereka harus berkumpul pa...
Love Rain
84      3     0     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
Janji
3      3     0     
Short Story
Dia sesalu ada, dan akan tetap ada.
You*re My Star
3      3     0     
Short Story
Mengagumi pesona lelaki cantik di sebuah rumah sakit, Brian, membuat hari Zora menjadi penuh dengan kejengkelan dan debaran. Tanpa sadar satu hari yang terasa panjang menjadi singkat, sejenak Zora melupakan ketertekanan dan kesepiannya selama ini. Zora adalah langit Brian. Dan Brian adalah bintang Zora. Kisah singkat yang terjadi dalam satu hari menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Lupa Rasa Malu
4      4     0     
Short Story
Cerita tentang 3 orang sahabat yang sedang melakukan perjalanan singkat menuju kota Bandung untuk yang pertama kalinya. Merasakan pengalaman yang berbeda dari apa yang mereka lakukan sehari-hari.
Sunset in February
8      7     0     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Foreshadows
0      0     0     
Short Story
The fight between psychics.
Dia yang Bukan Aku
4      4     0     
Short Story
“Berhentilah menganggap aku tak bisa menafsirkan aksara yang kau rangkai untuk dia.”