Naya menyeret kopernya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling lobi bandara. Ia mencari orang yang akan menjemputnya. Prof. Kim mengabarkan bahwa ia akan dijemput salah seorang muridnya, tapi sudah 20 menit Naya menunggu tidak ada tanda-tanda orang yang datang untuk menjemputnya.Udara dingin kembali menerpa kulit, membuat Naya merapatkan kemeja yang dipakainya. Ia menghembuskan nafas sebagai cara menghangatkan ujung-ujung jarinya yang membeku tapi cara ini tidak berhasil karena hanya uap dingin keluar setiap kali ia menghela napas. Naya belum terbiasa dengan cuaca di tempat barunya ini. Bahkan ia tidak ingat untuk memakai jaket ataupun melapisi bajunya lebih tebal.
“Hhhh,” Naya menghela nafas panjang. Harusnya ia menolak lebih keras saat Prof. Kim menawarkan untuk menjemputnya. Jadi ia bisa segera naik taksi dan pergi ke apartemennya.
Naya merasa kepalanya pusing, bukan karena Jetlag – ia sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh. Namun mimpi buruk yang membuatnya terbangun sambil menjerit membuat seluruh penumpang pesawat, pramugrari bahkan pilot menghampirinya. Naya menghela nafas lagi, kali ini lebih dalam.
“Kanaya Apriliani Wijaya?”
Naya merasa ada yang menyebut namanya, ia berbalik mencari asal suara. Sejenak Naya terpaku menatap sosok dihadapannya. Laki-laki dengan tinggi dan bentuk tubuh yang proporsional, mengenakan jaket hitam, celana jins hitam dengan tangan dimasukkan kedalam saku sedang tersenyum padanya. Senyum yang mampu membuat orang yang melihatnya ikut tersenyum.
“Maaf, anda pasti sudah lama menunggu. Tiba-tiba Prof Kim harus melakukan otopsi jadi dia meminta saya menjemput anda.” Dia menjelaskan dalam bahasa inggris yang fasih.
Naya hanya mampu mengangguk mengerti lalu mengulurkan tangannya. “Nama saya Kanaya, panggil saja Naya. Maaf sudah merepotkan anda.” Ia memperkenalkan diri dengan sopan.
Laki-laki itu menyambut tangan Naya lalu tersenyum lagi. “Saya Park Minwo. Senang bertemu dengan anda.” Balasnya.
Setelah acara perkenalan yang formal, Naya mengikuti Minwo menuju parkiran. Kali ini ia membiarkan laki-laki itu membawa kopernya. Naya merasa, ia tidak akan menang berdebat dengan laki-laki itu. Dia tetap memaksa ingin membawa koper walaupun Naya sudah menolak dengan berbagai alasan.
“Anda sudah makan, Miss?” Tanya Minwo tiba-tiba. Memecah kesunyian di dalam mobil.
Naya mengeleng pelan. Ia tidak bisa menyentuh makanan sedikit pun di pesawat.
“Panggil Naya saja. Nanti saya akan mencari makanan disekitar apartemen. Mungkin setelah membereskan barang.” sahut Naya.
“Bagaimana kalau kita makan dulu baru ke apartemen. Saya yang traktir.”
Kali ini Naya menggeleng cepat. “Tidak perlu, Tuan Park. Saya sudah banyak merepotkan anda. Biar nanti saya makan ramen atau mencari warung didekat apartemen.” Tolaknya. Walaupun perutnya minta diisi namun Naya lebih ingin merebahkan diri sejenak. Rasa nyeri dikepalanya semakin menganggu.
Laki-laki itu menggeleng. “Tidak boleh menolak. Sudah menjadi budaya masyarakat Seoul untukmenyambut kedatangan tamu dengan baik. Lagipula Prof. Kim pasti akan marah kalau tahu saya membuat tamunya kelaparan.”
Naya akhirnya pasrah saat mobil memasuki parkiran restoran. Laki-laki yang baru ditemuinya beberapa menit yang lalu ini benar-benar keras kepala. Naya jadi penasaran apa pekerjaan yang dilakukannya yang pasti bukan pegawai kantoran biasa, melihat sifatnya yang suka memaksakan kehendak. Jangan-jangan debt collector?
“Maaf, bisa kita berhenti menggunakan bahasa formal. Saya merasa kurang nyaman. Jadi panggil saja saya Minwo.” Ujar Minwo sambil menatap Naya.
Naya mengganguk setuju. Ia juga tidak terbiasa menggunakan bahasa formal, apalagi dalam bahasa Inggris.
“Mau makan apa? Disini semua makanannya enak.” Tawar Minwo sambil menarik kursi mempersilahkan Naya duduk.
Laki-laki yang sopan, sangat sopan, pikir Naya.
Naya melirik buku menu. Jjamppong, gae gook ji, bokkeumbap.
“Terserah,” putusnya. Naya menguasai bahasa Korea tapi melihat nama-nama dibuku menu membuatnya kebingungan.
“Karena cuaca dingin, bagaimana kalau kita pesan sup ayam ginseng?” tawar Minwo dengan wajah riang. Naya mengganguk pasrah.
Begitu pesanan datang, Naya menyendokkan sup bening itu, dan merasakan kehangatan menjalar keseluruh tubuh.
Sepanjang acara makan, Minwo bercerita banyak hal dari tempat-tempat yang harus dikunjungi saat berlibur di Seoul hingga pesona artis yang cantik dan tanpan. Naya hanya tersenyum dan sekali-kali menjawab bila Minwo meminta pendapatnya.
Naya melirik arlojinya, jam 12 malam. Tidak terasa waktu tiga jam berlalu begitu cepat saat bersama laki-laki dihadapannya dan ajaibnya Naya tidak merasa bosan sedikit pun. Minwo mengeluarkan beberapa lembar uang dan menggiring Naya keluar restoran. Dengan sangat sopan dia membukakan pintumobildan memasangkan seltbelt. Walaupun sedikit kaget dengan perlakuan Minwo namun Naya tidak bisa berkutik. Laki-laki itu melakukannya dengan cepat dan tanpa canggung.
“Langsung ke apartemen atau mau jalan-jalan dulu?” Tanya Minwo. Walaupun tengah malam, masih banyak hal yang dapat dinikmati di kota 24 jam ini.
Naya mengeleng cepat. “Pulang aja. Sepertinya aku ingin istirahat.” Putusnya cepat, sebelum Minwo sempat menyebutkan nama tempat yang akan ditunjukkannya.
XXX
Naya segera membereskan barang-barang pribadinya begitu menjejakkan kaki di dalam kamar. Tentunya setelah berhasil menolak tawaran Minwo untuk membantu. Ia menyusun beberapa buku yang selalu dibawa setiap pindah dari satu negara ke negara lain. Sekedar hiburan disaat bosan.
Naya menata meja kerjanya serapi mungkin, saat sedang asyik mengeluarkan isi kotak matanya tertuju pada selembar foto yang terselib diantara dua buku. Foto keluarga bahagia, seorang laki-laki yang tersenyum memeluk wanita dan gadis kecil. Wanita berparas cantik khas asia dengan lesung dipipi kirinya, senyum lembut meneduhkan. Dia memeluk erat gadis kecil dalam pangkuannya. Gadis kecil dengan rambut cepol dua, tanpak bahagia dalam pelukan hangat kedua orangtuanya.
Sebentar lagi, sebentar lagi semuanya akan jelas...
XXX
Naya turun dari taksi tepat didepan sebuah bangunan besar dan menjulang tinggi, NFS (National Forensic Service). Orang-orang bergerak cepat, keluar masuk dengan langkah tergesa-gesa dari dalam bangunan.Menunjukkan betapa sibuknya aktivitas di dalamnya yang tidak pernah berhenti.
Ahli Forensik, siapapun akan membayangkan Naya dengan pakaian putih memegang pisau dan membelah mayat. Menakutkan dan menjijikkan, kata Nina saat pertama kali melihat Naya bekerja di tim DVI (Disaster Victims Identification) Polri . Sebenarnya tidak semenakutkan itu, 8 tahun Naya menjadi Forensik untuk kepolisian dan ia sangat menikmatinya.
Kepiawaian Naya dalam mengungkap identitas jenazah serta penyebab kematiannya membuat namanya cukup diperhitungkan didunia. Ia telah menangani berpuluh kasus, berhadapan dengan berbagai bentuk jenazah dengan berbagai penyebab. Prestasi dan analisisnya telah diakui oleh lembaga forensik di beberapa negara. Segala teka-teki tindak kriminal yang berhasil di identifikasinya membuat Naya dikirim ke berbagai negara untuk menganalisa hingga melakukan penelitian untuk organisasi internasional ICIA tempatnya bernaung.
Naya melangkah masuk kedalam gedung NFS, hari ini merupakan hari pertamanya menjadi asisten Prof Kim dan ia berjanji untuk bertemu dengan gurunya itu tepat jam 9 pagi. Naya tidak boleh membuat Prof Kim menunggu, laki-laki paruh baya itu tidak pernah memberikan toleransi terhadap keterlambatan. Sempat beberapa kali bekerja sama dengan Prof. Kim, membuat Naya sangat mengerti cara kerja dan kedisplinan laki-laki yang sangat dikaguminya itu.
Naya mendekati meja resepsionis untuk mendapatkan kartu tamu agar bisa masuk dan bertemu Prof Kim.
“Selamat pagi. Saya Kanaya Wijaya, sayamemiliki janji dengan Prof Kim.” Sapa Naya dengan bahasa Korea yang lancar.
“Kamu putrinya?” Tanya Wanita itu. Ia memperhatikan Naya dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Yah, Naya sudah terbiasa dengan tatapan menyelidik seperti ini. Ia memiliki postur tubuh tinggi semampai dengan bola mata sebiru dasar lautyang saat ini sengaja ditutupinya dengan kontak lensa berwarna hitam, rambut coklat kemerahan ala wanita Eropa dipadu kulit kuning langsat dan mata belok khas wanita Indonesia. Perpaduan yang unik, membuatnya tanpak mencolok. Apalagi saat ini ia berada diantara mayoritas orang-orang berkulit putih dengan mata sipit. Tentu saja sosok Naya mengundang perhatian bagi beberapa orang.
“Bukan, saya murid Prof Kim.” Sahut Naya.
Wanita bernama Jung Hyuna itu mengganguk mengerti. Naya tersenyum melihat wanita yang baru saja diketahui namanya dari tag name dibaju itu masih terlihat heran dengan wajah asing dihadapannya.
“Naya,” panggil seseorang.
Naya berbalik dan mendapati Minwo sedang tersenyum padanya.
Senyum itu lagi. Mengapa pemilik senyum itu tak pernah sadar kalau senyumnya bisa membuat para wanita kehilangan akal?!
“Kenapa disini? Kamu mau bertemu Prof Kim?” tebaknya. Naya mengangguk.
“Ayo.” Minwo menarik tangan Naya. Sesaat ia berhenti untuk menyapa nona resepsionis lalu pamit sambil menyeret Naya mengikutinya.
“Kamu bekerja di kantor ini?” ini pertama kalinya Naya memberanikan diri menatap langsung wajah Minwo.
Wajah yang sangat indah. Naya tahu, sangat tidak sopan mendeskripsikan wajah seorang laki-laki dengan kata indah atau cantik. Tapi ia tidak punya ungkapan lain yang lebih cocok untuk menjelaskan betapa mahkluk di depannya ini sempurna. Sangat sempurna. Mata berwarna coklat yang dihiasi bulumata lentik dan tatapan mata yang tajam. Kulit yang bersih dan halus bahkan membuat Naya merasa tidak percaya diri bersisian disampingnya. Bagaimana seorang laki-laki bisa punya kulit yang lebih mulus dari wanita. Namun segala keindahan itu tidak membuatnya terlihat seperti kemayu. Tidak, tidak! dia malah terlihat sangat maskulin.
“Ah, tidak. Aku di bagian cybercriminal investigation. Kebetulan ada keperluan disini.” Jelasnya sambil tetap tersenyum.
Oh,tidak bisakah dia berhenti tersenyum?! Laki-laki ini akan membuatku terkena serangan jantung mendadak hanya dengan memandang senyumnya.
“Kamu ingin jalan-jalan kemana? Hmm, hari ini agak sedikit sibuk. Bagaimana kalau besok? Mau aku temani jalan-jalan keliling Seoul?” Ujarnya tiba-tiba.
Naya melongo, jadi laki-laki ini masih mengiranya sedang berlibur di Seoul. Naya terkikik pelan membuat Minwo menatapnya heran.
“Kenapa? Apa yang membuat mu tertawa?”
Naya menangkap ekspresi bingung diwajah Minwo. “Tidak.”
“Ah, sepertinya kamu salah paham.” Ucap Naya.
Kening Minwo berkerut. “Maksudnya?”
“Maksudnya, kamu salah paham. Aku berada di Seoul bukan untuk berlibur tapi,”
“Hana,”
Naya tersentak. Langkahnya terhenti,ia segera berbalik mencari arah suara. Disana berdiri laki-laki yang mengendong gadis kecil berwarna merah muda.
“Hana,” panggil laki-laki itu. Gadis kecil dalam gendongan mengeratkan pelukannya. “Baru pulang sekolah sayang?”.
Gadis kecil bernama Hana itu mengganguk. “Appa, Hana mengambar kelinci hari ini,” serunya dengan wajah ceria.
Naya mengosok pelipisnya, mencoba mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba saja begitu menyengat.
“Prof. Kim,” suara Minwo menyadarkan Naya. Ia menoleh dan mendapati Minwo tengah bersama Prof Kim. Laki-laki itu beralih menatap Naya dan melambai, meminta Naya mendekati keduanya.
“Kanaya, maaf saya tidak bisa menjemputmu.” Prof. Kim membawa Naya ke dalam pelukannya.
Naya mengganguk dan membalas pelukannya.
“Bagaimana kabar mu?” Tanya Kim dalam bahasa Korea begitu melepaskan pelukannya.
“Baik. Apalagi cuaca Seoul sangat bersahabat hari ini.”
“Ah, aku tahu. Kamu pasti senang bisa meninggalkan Afrika yang panas itu.”
Naya tertawa pelan, sesaat ia menangkap ekspresi heran diwajah Minwo.
“Kamu bisa bahasa Korea?” Tanya Minwo dengan dahi mengerut.
Naya mengganguk.
“Lalu kenapa kita selalu bicara dengan bahasa Inggris?” tanyanya lebih kepada diri sendiri.
Naya mengangkat bahu dan tersenyum geli.
“Naya ini bisa hampir semua bahasa didunia ini. IQ nya dikategorikan jenius.” Jelas Prof. Kim melebih-lebihkan.
“Prof. Kim jangan berlebihan.” Sergah Naya malu. Pipinya bersemu merah.
Minwo mengganguk pelan. “Prof Kim sudah disini jadi saya permisi. Saya harus bertemu ketua Park.” Pamitnya. Minwo membungkuk sebentar pada Prof Kim dan mengganguk pada Naya lalu pergi.
“Dia laki-laki yang sangat baik dan berprestasi. Dalam usia yang masih muda dia sudah menjadi kepala direksi tindak kriminal.” Jelas Prof. Kim.
Naya mengganguk setuju. Tebakannya tepat, Park Minwo tidak mungkin memiliki pekerjaan biasa dan polisi merupakan pekerjaan yang paling tepat untuknya.
“Ayo,kita akan melihat apakah kamu suka ruangan baru mu.” Ajak Prof. Kim.
***
Naya terkesima melihat ruangannya. Ruangan itu di dekorasi dengan konsep minimalis, cat berwarna putih bersih ditambah sedikit sentuhan warna coklat sebagai aksen yang menghangatkan ruangan dan memberi kesan hidup. Naya mengintari meja kerja dan mengangkat tag name diatas meja. KANAYA APRILIANI WIJAYA - WAKIL AHLI FORENSIK. Berdasarkan prestasi yang pernah diperoleh Naya, Prof. Kim merekomendasikannya untuk menjadi wakil di laboratorium forensik NFS.
Awalnya Naya tidak terlalu tertarik saat Mr. Carter atasannya menyampaikan tawaran Prof. Kim tapi keputusannya berubah begitu mendengar kata Seoul. Negara ini selalu memenuhi pikirannya. Menelisik keingitahuannya akan sesuatu yang selama ini terus menghantui tidurnya.
“Gimana, kamu suka?” Prof. Kim berdiri didepan pintu, menunggu tanggapan dari muridnya tentang pilihannya.
Naya tersenyum dan mengganguk. Laki-laki berumur 70 tahun itu selalu tahu apapun yang disukai Naya. Ia selalu merasa seperti melihat kakeknya setiap kali melihat Prof Kim.
“Kalau begitu kita harus segera pergi untuk menyapa staff lainnya. Kamu pasti akan menyukai mereka.”
Naya mengikuti langkah Prof Kim memasuki ruang rapat. Disana sudah ada 2 orang wanita dan 3 laki-laki. Mereka langsung menatap Naya penuh minat begitu pintu ruangan itu terbuka dan orang yang telah mereka tunggu masuk.
“Perkenalkan, ini wakil kepala kalian yang baru dan untuk sementara dia yang bertanggung jawab atas semua keputusan dalam direksi ini.” Kata Kim.
Naya melirik Prof Kim sejenak, ia merasa ada sesuatu yang aneh.
“Saya akan cuti beberapa bulan, jadi mulai hari ini saya menyerahkan kepemimpinan pada wakil kepala baru kita.” Prof. Kim menatap Naya yang masih bingung.
“Ayo Nay, silahkan memperkenalkan diri pada para staff mu. Saya yakin kamu dapat bekerja sama dengan mereka.”
Naya menyimpan tanda tanya dalam benaknya, ia tersenyum pada semua orang yang berada di hadapannya.
“Anyeong haseyo, senang bertemu dengan kalian semua. Saya mohon bimbingannya dan berharap kita dapat berkerja sama dengan baik.”
Naya membungkukan tubuhnya sedikit sebagai rasa hormat dalam salam perkenalannya. Seluruh mata didepannya menatap dengan takjub. Mereka tidak menyangka wanita didepannya mampu berbahasa Korea dengan baik dan lancar.
***
“Kakek tidak pernah bilang mau cuti?”
Naya duduk didepan meja Prof Kim menuntut penjelasan. Prof. Kim berdeham pelan, ia hafal betul sifat gadis yang sudah seperti cucunya ini. Keras kepala dan selalu penasaran. Ia tidak akan mau menerima alasan klise yang menurutnya tidak masuk akal. Jadi siapapun yang ingin berargumen dengannya harus punya alasan yang kuat dan logis.
“Kakek mu ini sudah mulai merasa tua dan perlu waktu istirahat. Lagipula selama 40 tahun bekerja kakek belum pernah mengajukan cuti. Jadi sekarang kakek ingin cuti dan menikmati waktu untuk memancing dan menemani makan pagi, siang dan malam nenek mu” jelas Prof. Kim.
Naya menatapnya penuh selidik. Ia merasa ada sesuatu yang ditutupi Prof. Kim.
“Oke. Kalau alasannya nenek, Naya bisa terima. Lagipula Naya juga kasihan pada nenek beliau selalu mengeluh tentang kakek yang selalu membicarakan darah dan mayat saat makan malam.” Ujar Naya.
Walau masih menaruh sedikit kecurigaan, ia juga tidak dapat memaksa orang yang telah dianggap sebagai kakeknya ini untuk menjelaskan lebih lanjut. Keduanya kerap tertawa bila mengingat ekspresi nenek yang merajuk dan mulai mengadu pada Naya saat ketiganya berkumpul.
Tok.. tok...
Prof. Kim melihat kedepan pintu masuk saat terdengar suara ketukan dipintu itu, “ Masuk.”
“Naya, kamu akan bekerja sama dengan kepala direksi tindak kriminal dan NAZA untuk beberapa kasus penculikan dan pembunuhan beberapa hari ini,” tunjuk Prof. Kim kearah orang yang baru saja masuk keruangan.
Naya melihat ke pintu, sesaat Park Minwo menjelma menjadi Dewa Yunani dengan tombak besar keemasan dalam benak Naya. Naya merasa udara disekitar membuatnya sedikit sulit bernafas. Seolah aroma parfum laki-laki itu memenuhi seluruh ruangan.
“Silahkan duduk Minwo. Kamu sudahmengenal Naya, jadi kita bisa melewatkan acara perkenalan.” Prof. Kim mempersilahkan Minwo duduk di satu-satunya kursi yang tersisa diruangan itu, tepatnya disamping Naya.
“Minwo tolong jaga Naya selama saya cuti.” Prof. Kim bertindak seperti seorang kakek yang sedang menitipkan cucunya pada seorang laki-laki yang akan menikahinya. Minwo mengaruk kepalanya, bingung dengan maksud seniornya.
Semburat rona merah muncul diwajah Naya, “ Prof...” desisnya malu. Prof. Kim terkekeh pelan, ia begitu senang mengoda cucunya.
Prof. Kim menyerahkan beberapa berkas dokumen pada Minwo. “Kakek akan beristirahat dengan tenang kalau ada yang menjagamu Naya.”
“Anda mau cuti? Saya tidak pernah mendengar hal ini sebelumnya.” Ekspresi bingung Minwo persis sama dengan wajah Naya tadi.
“Hanya beberapa bulan untuk beristirahat dan menikmati hidup. Mulai hari ini Naya akan mengantikan saya. Jadi kamu harus menjaga cucuku dengan baik.”
“Kakek cuma cuti beberapa hari, kenapa meributkan hal yang tidak penting?” keluh Naya.
Prof. Kim terdiam sesaat, lalu beralih menatap Minwo. “ Tolong ya Minwo.” Pintanya.
Naya memutar bola matanya jengah sedangkan Minwo mengangguk mengerti.
“Baiklah. Cukup sekian penjelasannya karena saya sudah ditunggu nyonya Kim di bandara. Saya harap kalian bisa bekerjasama dengan baik.” Prof. Kim bangkit dan mengambil jas beserta tas kerjanya.
Prof. Kim hendak keluar, namun Naya menahannya sesaat.
“Kakek mau kemana?” tanyanya cemas. Entah mengapa perasaannya sedikit terganggu dengan kepergian Prof. Kim kali ini.
“Paris. Tempat paling romantis di dunia ini untuk merayakan bulan madu ke dua.” Ujar Prof. Kim sambil mengedipkan sebelah matanya.Naya terkekeh lalu mengganguk mengerti.
“Baiklah. Selamat bersenang-senang.”Naya melepas kepergian Prof. Kim dengan berat hati. Ia masih berdiri terpaku sampai dirasakan Minwo menepuk bahunya.
“Kamu ngak pernah bilang kalau bekerja disini. Aku kira kamu liburan.” Minwo menatap Naya seperti meminta penjelasan.
“Aku ngak pernah bilang sedang berlibur.” Naya mengangkat bahu lalu tersenyum geli melihat wajah Minwo yang mengerucut. Ia tahu laki-laki itu pasti kesal, merasa sedang dikerjai.