“Jangan, tidak, hentikan!”
Dor ...
“Darah, darah dimana-mana!”
“Siapa kalian?!”
“Naya, Bangun! Udah jam 12.” Risma berdiri didepan sebuah pintu yang telah berulang kali diketuknya. Ini kali ketiga ia berdiri didepan pintu kamar ini, tapi penghuni kamar tidak juga muncul dari balik pintu.
“NAYA! Nanti kamu telat ke bandara. Ketinggalan pesawat loh.” Kali ini Risma mengetuk dengan lebih keras.
“KANAYA APRILIA!” gedor Risma lagi. Ia mulai khawatir karena cucunya tidak kunjung menunjukkan respon.
”Iya Oma,” suara serak akhirnya terdengar sebagai jawaban dari dalam kamar.
Risma tersenyum lega. “Cepat bangun, jangan tidur lagi.” Serunya sebelum penghuni kamar itu sempat memejamkan matanya lagi.
Kanaya Apriliani Wijaya – penghuni kamar – membuka matanya perlahan lalu mengenyit saat sinar matahari yang masuk dari sela gorden terasa menyilaukan. Ia kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang. Menyeka keringat yang memenuhi dahinya, mimpi buruk, lebih buruk dari biasanya. Naya, begitu ia biasanya disapa, kembali menarik selimut hingga menutupi mukanya.
Siang ini Naya harus bertolak ke negeri Ginseng, Korea Selatan. Begitu negara itu disebut, semua orang pasti akan memikirkan liburan yang indah dan menyenangkan. Sayangnya, bukan berlibur yang menjadialasan bagi Naya. Lagipula, ia tidak perlu pergi ke tempat yang jauh hanya untuk berlibur. Ia yakin tempat kelahirannya ini masih memiliki banyak tempat indah yang belum sempat didatanginya.
Naya memaksa tubuhnya yang terasa berat turun dari ranjang. Tubuhnya merajuk ingin beristirahat lebih lama. Semalam Naya tiba dirumah pukul 2 pagi, ia baru bisa memejamkan matanyasekitar pukul 4. Rasa penasaran akan brownies asam jawa hasil karya baru Oma, membuatnya berulangkali harus mampir ke WC. Setelah minum tiga butir obat diare Naya baru dapat merebahkan tubuh lelahnya diatas ranjang. Ia berencana menggelar tikar di WC seandainya sakit perutnya terus berlanjut.
Naya segera mandi dan bersiap-siap untuk sarapan atau lebih pantas disebut makan siang karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul 12 siang. Perutnya meronta minta di isi, menginggat betapa rajinnya ia mondar mandir di WC semalaman.
“Oma masak apa?” Naya berdiri dibelakang Oma dengan sengaja menggagetkannya.
“Naya! kenapa kamu selalu datang tiba-tiba. Kemana suara langkah kakimu?” Sergah Risma, tangannya bergerak cepat mengangkat ikan dari pengorengan.
Naya memasang senyum polos, seolah yang dilakukannya bukan hal yang bisa membuat Omanya kaget.
“Kakek dan Nina mana?” tanyanya. Ia memperhatikan sekeliling, mencari-cari sosok kakek dan saudara perempuannya.
“Kakek mu pergi memancing bersama Bagus. Kalau Nina sudah berangkat dari pagi ke kantor, katanya ada rapat. Mungkin sebentar lagi dia pulang. Kakakmu pasti tidak akan lupa kalau adik kesanyangannya yang baru saja datang ini akan pergi lagi.” Ujar Oma sarkas. Menyindir kondisi cucunya yang tidak pernah menetap lama dirumah.
Naya tersenyum pasrah, ia tahu Oma sangat menyanyanginya. Ia selalu bahagia saat Naya pulang dan terlihat sangat sedih begitu Naya berkata akan pergi lagi. Namun Naya tidak bisa melakukan apapun untuk membuat wajah itu kembali gembira, pekerjaan selalu menuntutnya untuk meninggalkan keluarganya untuk waktu yang tidak berbatas.
“Oma masak apa?” tanya Naya, mencoba mengalihkan perhatian Omanya.
Oma tersenyum, mengganti raut wajahnya agar terlihat gembira. “Makanan kesukaan kamu, sayang. Ayo duduk.”
Naya mengganguk cepat dan duduk menatap hamparan makanan diatas meja.Saat berada jauh dari rumah, masakan Oma yang paling dirindukannya dan menjadi faktor terberat yang membuatnya ingin segera meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke pelukan keluarganya.
Pandangannya melayang ke sekeliling rumah, meresapi saat-saat singkat dan merekamnya dalam ingatan. Rumah yang hangat disinari matahari dikala siang dan sejuk dengan suara gemerisik air dan jangkrik di malam hari yang membawa kedamaian. Oma yang pintar memasak, apapun yang dimasak Oma pasti selalu bisa membuat Naya mengelus perutnya yang membuncit, kecuali hasil eksprerimen terbarunya. Kakek yang selalu mendampingi keluarganya dan terakhir seorang saudara perempuan yang terpaut jarak dua tahun lebih tua darinya. Karenina Febriani Wijaya, Direktur Utama Wijaya Gruop. Direktur utama dari semua maskapai penerbangan milik keluarga Wijaya.
Oh, jangan pernah membayangkan Naya sebagai salah satu direktur dari perusahaan itu. Tidak! ia tidak pernah tertarik berada diantara orang-orang berdasi yang selalu dipusingkan dengan laba dan rugi. Naya lebih memilih jalannya sendiri. Satu Wijaya saja cukup untuk memimpin seluruh kekuasaan. Tidak perlu ada dua Wijaya. Hal yang membuat Naya sangat bangga menjadi bagian dari keluarga ini, bukan karena kakayaan yang tidak akan pernah habis, tapi karena cara berpikir yang terbuka yang dimiliki sang kepala keluarga.
Kakek tidak pernah memaksakan kehendak pada kedua cucunya, semua diserahkan pada keputusan masing-masing. Saat Naya memutuskan keluar dari kuliah dokternya dan beralih untuk belajar ilmu forensik, seluruh anggota keluarga kaget. Nenek dan Nina dengan sangat jelas menunjukkan keberatannya. Namun kakek tidak pernah menentang, ia hanya mengatakan “Masa depan kalian, maka kalianlah yang harus memutuskannya” Satu kalimat yang memberikan keberanian bagi Naya untuk bertahan dan berjuang hingga saat ini.
“Pesawat nya jam berapa, sayang?” Risma meletakkan tumis kangkung dihadapan cucunya, ia mengenyit heran saat melihat Naya hanya diam sambil mengigit sepotong roti.
“Naya?” Risma menyentuh pundak cucunya pelan membuat gadis itu tersadar dari lamunannya, “Ada apa sayang? Kenapa melamun?”
Naya menangkap kecemasan diwajah Oma. Ia segera menggeleng, “Nggak, nggak ada Oma. Cuma lagi mikir, kalau nanti Naya tinggal di Korea pasti bakalan kekurangan gizi. Soalnya ngak ada makanan seenak ini. Apalagi tumis kangkung ini, Naya suka banget.” Naya menyendok tumis kangkung ke piring dan langsung memakannya dengan lahap.
Risma tersenyum lega, tapi sisi hatinya yang lain tetap merasa cemas. Naya pribadi yang tertutup, tidak ada seorangpun yang bisa menebak jalan pikirannya. Selama ini Risma selalu merasa cucunya itu menyimpan suatu rahasia dari keluarganya. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya, Naya tidak pernah menunjukkan perasaannya pada siapapun.
Risma mendesah pelan. Apa yang kamu pikirkan Nak?
XXX
Siang ini pengamanan ketat tampak disetiap sudut bandara. Itu semua sengaja dilakukan karena kedatangan pemilik bandara serta maskapai penerbangan paling berpengaruh di negara ini. Ruang tunggu VVIP sengaja disterilkan dari penumpang khusus untuk menyambut keluarga Wijaya yang berkumpul untuk menghantarkan kepergian cucu kedua.
“Apa-apaan sih ini?” keluh Naya pada Nina yang berdiri didampingi dua penjaga serta Bagus, kekasihnya.
“Terima saja. Kamu seorang Wijaya, harus terbiasa dengan semua ini.”
Naya memutar bola matanya, jengah. Saudaranya itu selalu menempatkan penjagaan ketat di sekitar keluarganya. Entah apa yang membuatnya begitu protektif. Saat Naya hendak protes Nina dengan tegas menyatakan semua ini ia lakukan sebagai langkah proteksi dari segala hal yang tidak terduga tapi Naya tetap menggangapnya sebagai tindakan yang berlebihan.
“Hey, jangan lupa jalan pulang ya.” Sindir Nina. Ia memeluk Naya erat enggan melepaskan kepergian satu-satunya saudara yang ia miliki.
Naya terkekeh pelan menanggapi gurauan saudaranya. Ia beralih pada Opa yang tampak tenang menanggapi kepergian cucu keduanya. Laki-laki tua itu tetap terlihat tegar, ia yakin kemanapun dan selama apapun Naya pergi, gadis kecilnya akan tetap kembali ke pangkuannya.
“Jaga kesehatanmu Nak. Ingat untuk menghubungi Oma mu atau dia akan membuatku pusing sepanjang hari.” Pesan Opa. Naya mengangguk mengerti.
“Baik-baik disana ya sayang, jangan lupa kabari Oma kalau sudah sampai.” Pesan Risma, berbalik dengan Opa, Oma tidak mampu menutupi kesedihannya.
Naya mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya Naya tidak ingin pergi secepat ini, ia baru saja menginjakkan kakinya di Indonesia tapi pekerjaan kembali memaksanya untuk pergi. Bahkan Naya belum puas menikmati kasur empuk dan masakan Oma.
Oma mendesah lesu, sempat terbesit dalam benaknya untuk menahan kepergian Naya, namun pikiran itu segera ditepis. Selama ini ia dan suami tidak pernah melarang apapun yang ingin dilakukan anak dan cucunya selama yang mereka lakukan itu baik. Tapi semenjak kehilangan anak dan menantunya, Risma selalu dihantui perasaan takut. Takut hal buruk akan kembali terjadi.