Read More >>"> ADOLESCERE LOVE (10~BELAJAR UNTUK MENERIMA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ADOLESCERE LOVE
MENU
About Us  

Bukan cuma naksir..?

Afika baru saja masuk ke dalam kamarnya. Setelah meletakkan tas ransel, dia langsung merubuhkan badannya di atas kasur. Dia memikirkan kembali kejadian sebelum memasuki kamar. Afika melihat Mayang sedang menonton tv. Akan tetapi Mayang hanya mendengus kesal dan tidak menghiraukannya. ‘May, kamu pasti marah banget sama aku. Tetapi kenapa aku juga merasa sedikit marah sama kamu? Nggak.. sedikit, tetapi benar-benar marah. Aku hampir tidak menyangka jika kamu berbuat hal seperti itu sama aku. Aku menjadi ragu untuk menyapamu lagi,’ pikirnya kalut. Nada piano first love-nya Utada Hikaru mengalun lembut. Afika segera mengambil handphone yang bergetar di saku seragamnya.

#Hamisea calling

“Halo, ada apa, Ham?”

“Fik, kamu kok belum datang sih? Aku dan Timmy udah kelaperan tahu gara-gara kelamaan nungguin kamu!” Afika menjauhkan hp beberapa senti dari telinganya. ‘Duh, Hami berisik banget! Ngapain sih pake teriak-teriak segala?!!’

“Datang kemana? Ngapain nungguin aku?” tanyanya santai sambil memilih-milih baju di lemari.

“UAPAA??! Datang kemana katamu?!” sentak Hami lagi.

“Ham, speaker.. speaker-in hapenya!!!” giliran terdengar suara Timmy. “Fik, tiap malem minggu kan kita bertiga pesta piyama! Malam ini kan giliran nginep di rumahku! Kamu lupa ya??!” Afika berhenti memilah-milah bajunya. Dia menghembuskan nafas dengan berat seakan-akan baru mengingat sesuatu yang terlupakan.

“Aku lupa! Maaf banget ya, Tim, Ham. Aku.. kayaknya malam ini nggak ikut deh. Aku capek banget sehabis pergi sama Miwon tadi. Ini ajah baru sampai rumah.”

“WHAT?! Baru sampe rumah?” ulang Timmy setengah menjerit. “Kalian tadi kemana ajah??! Cerita dong!”

“Kita tadi ke..,” suara Afika terputus. Sejenak dia  kembali teringat ucapan Miwon kali terakhir sebelum pulang. “Ham, kalau misalkan ada orang bilang ‘sekali-kali lihat aku, orang yang menyukaimu dan aku serius untuk mengejarmu’, itu maksudnya apa ya? Maksudku..,” Afika berusaha mengeluarkan kata yang tepat.

“Hah! Siapa yang bilang gitu sama kamu, Fik?” tanya Hami setengah berteriak.

“BUKAN MIWON-KU KAN??! BUKAN MIWON?!!” Timmy berteriak lebih keras, tepatnya setengah merintih. Afika terdiam sejenak. Dia ingin sekali jujur pada kedua sahabatnya, akan tetapi kenapa rasanya sangat canggung utuk membicarakannya.

“Anu.. maksudku kalau nggak salah kata-kata itulah yang dikatakan di sinetron kemarin. Aku.. jadi kepikiran ajah,” dustanya kemudian. Kedua temannya tidak segera menjawab. Mereka hanya berkata –aam-umm seakan-akan sedang berpikir. “orang itu beneran suka ya atau gimana?”

“Iya juga sih kayaknya. Dia seperti menyuruh orang itu untuk menoleh padanya, melihat dia yang benar-benar menunjukkan perasaannya. Mungkin karena dia greget sendiri soalnya orang yang disukainya selalu melihat orang lain dan bukan dirinya. Apalagi sampe niat ngejar-ngejar gitu kan?” tanpa sadar, Afika mengangguk mengiyakan pendapat Hami. “Sinetron apa tuh, pemainnya putus asa banget ngomong kayak gitu. Kayak nggak ada orang lagi di dunia ini sampai ngejar-ngejar tuh orang yang dicintainya.”

Afika tersentak, “Cinta??! Nggak sekedar naksir doang?”

“Yaa.. rasa suka kan juga melambangkan cinta juga kan, istilahnya kasih sayang gitu,” jelas Hami rada sotoy. “Masalahnya tuh orang berniat sampai ngejar segala kan? Berarti dia tuh udah lebih dari naksir! Dia benar-benar jatuh cintrong,” Afika terus terdiam mendengar penjelasan Hami. Matanya tidak berkedip sama sekali. “Fik, halow.. Fik???”

“Eh ya,” katanya setengah sadar. Dia memegangi kepalanya yang mendadak agak pusing. “Aku mau istirahat dulu ya. Maaf, aku capek banget.”

 “Iya, yaa. Suaramu kayak orang kelelahan gitu,” kata Hami setengah khawatir.

“Fik, Fik! Kamu belom cerita soal Miwon..,” Timmy bersuara lagi.

“Udah! Afika lagi capek! Cerita-ceritanya besok ajah!” terdengar Hami membentaknya. Lalu melanjutkan pembicaraan, “Ya udah, met istirahat ya!”

“Makasih. Sampai ketemu besok senin,” setelah itu Afika meletakkan hpnya diatas kasur. Dia termenung memikirkan perkataan Miwon berkali-kali. ‘Apa yang dia suka dariku? Kenapa dia malah tertarik padaku?’ Afika berdiri dan memandang dirinya sendiri di depan cermin besar seukuran dirinya. Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali. ‘Semakin dipikirkan, semakin pusing saja!”

Afika terkejut ketika Mayang memasuki kamarnya. Dia mengawasi Mayang yang berjalan ke arah tempat tidur tanpa melihat dirinya. Mayang langsung tidur di atas kasurnya. Afika yang masih melihatnya hanya menarik sudut bibir kirinya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba terdengar ringtone chat. Afika duduk di kasur dan membuka chat-nya.

From: Miwon Rese

Thx dah mau dngerin curhatku. Kl mw bobok jgn lupa mimpiin ak y. Gud nite..

☻☺☻

“Ayo, cerita dong, Fik! Pelit nih!” Timmy terus menarik tangan Afika yang sedari tadi lemas. Afika sendiri tidak bangkit dari duduknya. Tubuhnya tergolek lemah di atas bangku. Sahabatnya yang satunya lagi duduk di bangku sebelah dan hanya menggelengkan kepala. Afika sendiri tidak punya keinginan untuk bercerita pagi ini. Dia masih pusing memikirkan bagaimana sikapnya terhadap Miwon sekarang. Dia sendiri bingung apakah Miwon benar-benar bilang suka padanya atau tidak.

‘Jika memang benar, kenapa kemarin aku tidak langsung menolak dan menyuruhnya untuk berhenti menyukaiku? Tapi kalau iya sih, kalau dia beneran suka sama aku, tapi kemarin dia bilang kayak gitu.. jadi maksudnya kan.. GYAAA!!!’ kepala Afika berputar-putar. Dia berdiri dan menghentakkan meja dengan keras. Timmy dan teman lainnya merasa terkejut. Mata teman-teman sekelasnya langsung mengarah padanya. Namun Afika tidak menghiraukan mereka. Afika malah menyesal karena telah membuat tangannya sakit. Dia meniup tangannya berkali-kali. Hami mendekatinya.

“Kamu kenapa sih, Fik? Kalau kamu ada masalah kan bisa cerita. Mungkin kita bisa bantu,” katanya sambil menepuk bahu Afika. Timmy juga menganggukkan kepala.

“Anu..,” belum sempat cerita, mata Afika melesat ke arah cowok yang baru saja memasuki kelas dengan santai. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada biasanya. Afika menemukan sedikit perbedaan dari cowok itu tetapi dia belum menyadari apa itu. Seperti biasa, cowok itu menyapa teman satu persatu. Jantung Afika berdegup kencang. Dia meremas lengan seragam Hami kuat-kuat. “Ham, aku pindah di bangkumu ya! Please?!” serunya panik. Hami mengerutkan keningnya. Dia heran melihat wajah ketakutan temannya itu. Sedangkan Timmy merasa senang karena Afika ingin duduk di bangku dengan Hami. Dengan begitu, dia bisa duduk di dekat Miwon. Afika terduduk lemas.

“Duh, hari ini Miwon keren banget! Poni rambutnya diangkat ke atas gitu. Kenapa nggak dari dulu ajah sih pakai wax rambut?!” kata Timmy dengan mata berbinar-binar.

CHAGIYA!!!” Hami dan Afika serempak menoleh ketika mendengar Miwon berteriak. Miwon melambaian tangan ke arah mereka dengan wajah sumringah.

“Dia ngomong apa sih tadi?” tanya Hami benar-benar tidak mengerti.

Timmy menutup bibirnya yang menahan senyum dengan tangan kirinya serta membalas lambaian tangan Miwon. “Kayaknya dia nyapa aku deh! Soalnya tadi dia manggil SAYANG!” katanya dengan wajah bersemu merah.

“HEHH??!” kedua temannya langsung mendelik. Mereka berdua sama sekali tidak ngeh dengan bahasa yang barusan mereka dengar.  Miwon memutar kursi di depan Afika. Sekarang mereka berdua berhadapan. Miwon menahan kepala dengan kedua tangan di pipi. Matanya memandang Afika dengan lirih.

“Chaagiyaaa..,” mata Afika masih mendelik dan mulutnya menganga lebar-lebar. Dia benar-benar merinding mendengar suara Miwon. Kedua temannya juga ikut menganga. Sebagian orang di kelas yang merasa penasaran dengan perilaku Miwon, langsung bergerombol di dekat mereka berempat. Hami dan Timmy terdorong di barisan belakang.

“Kamu kenapa sih, Won? Mendadak aneh gitu??!”

“Iya! Hari ini kamu beda banget!”

“Tampangmu kayak orang penuh cinta!”

Miwon tidak menghiraukan berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh teman-temannya. Dia masih tersenyum memandang cewek di depannya. Risa yang sebelumnya berpikir sejenak, sontak menuding Miwon dengan wajah terkejut tetapi pasti.

“HAH! Kamu liatin Afika kayak gitu! Kamu manggil dia chagiya-chagiya.. jangan-jangan..!!!” Risa sengaja menggantung pernyataannya. Dia melirik teman-temannya dengan ekspresi sok tahu. Matanya dibuat agak menyipit. “Kalian udah jadian yaa..?!!” mendengar dugaan Risa, teman-teman sekelasnya langsung heboh. Timmy yang mendengarnya langsung berusaha masuk di gerombolan teman-temannya. Dia segera mendekati Afika dengan wajah terkejutnya.

“FIK! Itu nggak mungkin kan??!” Afika tambah melongo ketika melihat teman-temannya semakin salah paham. “Afika, sadar!” mendengar teriakan Timmy, Afika mengerjap-ngerjapkan matanya.

“A-chan, kamu bisa manggil aku chagiya juga. Kalau nggak mau ya Miwon oppa juga nggak apa-apa,” ucap Miwon sambil memiringkan kepalanya.

“Suit.. suiitt,”

“Ciyee.. Afika, jadian nggak bilang-bilang.”

Jok lali peje-ne rek!” Timmy semakin terganggu  mendengarnya. Dia mulai berteriak. Suasana kelas  yang semula ramai, mendadak hening.

“ITU SEMUA NGGAK BENAR! MEREKA NGGAK JADIAN!!!” serunnya kesal.

“Kok kamu yang kesel sih?”

“Naksir juga yaa sama Miwon???”

“Jangan gitu dong, Tim. Kamu harus dukung mereka!” berbagi tudingan teman-temannya membuat Timmy langsung mengkeret. Matanya berkaca-kaca, hampir menangis. Afika yang mengetahui hal itu, langsung berdiri dan menghentakkan meja.

“Kami nggak jadian,” gumamnya pelan sembari menunduk. Teman-temannya terkejut mendengarnya. Mereka semua meminta penjelasan dari Miwon yang juga ikut berdiri.

“Iya, kami nggak jadian kok,” kalimat yang diucapkannya spontan membuat semua orang menjadi kesal. Wajah Timmy cerah kembali. “Tapi aku berencana akan berpacaran dengannya!” Teman-temannya kembali heboh. Timmy langsung menyingkir dengan muka mewek. Sementara itu, Afika melirik dengan wajah sedih ke arah gadis berkacamata yang terlihat berdiri tidak jauh dari gerombolan.

☻☺☻

Lapangan dipenuhi banyak siswa kelas sebelas saling bergotong-royong untuk membangun acara ulang tahun sekolah dalam setiap tenda. Tentu yang paling sibuk adalah para siswa kelas XIIPS1. Danu, ketua kelas mereka tetap keukeuh membangun rumah hantu. Padahal acaranya tinggal dua hari lagi. Danu optimis akan menyelesaikan rumah hantu tepat pada waktunya. Sementara itu, Hami mendekati Afika yang masih mengecat gabus berbentuk rerumputan ilalang dengan warna hijau tua.

“Fik,  gabus-gabus bentuk rumput ini di cat warna hijau juga ya. Terus yang bentuk batu ini di cat warna cokelat,” diserahkannya gabus-gabus yang sudah berbentuk kepada Afika.

“Makasih, Ham,” setelah menerimanya, Afika melanjutkan mengecat gabus di depannya. Namun Hami masih berjongkok disampingnya. Afika menoleh sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya kembali. “Hami nggak motong gabus lagi? Kasian loh Risa motongin gabus sendirian.”

“Kenapa kamu nggak ngecat bareng anak-anak yang lain? Lihat tuh, mereka yang ngecat berkelompok,” ucap Hami sambil kepalanya bergerak menunjukkan sekumpulan orang sedang mengecat gabus. Afika melihatnya sekilas.

“Pekerjaan nggak bakalan selesai kalau aku ngecat sama mereka. Yang ada nanti mereka malah ngecat sambil gemeteran,” Hami tertawa kecil mendengarnya. Afika meletakkan kuasnya dan membuka botol air mineral disebelahnya. Saat meminumnya, matanya tdak sengaja mengarah pada beberapa cowok yang berjalan melewatinya sambil mengangkat beberapa triplek. Salah seorang cowok yang sedang mengangkat triplek melihatnya.

Chagiya!” serunya. Lambaian tangan cowok itu membuat Afika langsung tersedak. Dia terbatuk-batuk. Hami membantu menepuk punggungnya berkali-kali.

“Makanya pelan-pelan dong minumnya,” Afika melihat lagi cowok di depannya yang kini sedang diomeli oleh beberapa cowok lainnya karena melepaskan pegangan triplek. Kemudian mereka mengangkat triplek lagi. “Miwon beneran suka ya sama kamu?”

Afika mengecat lagi. Dia tidak menghiraukan pertanyaan temannya.

“Yang bilang suka kemarin itu bukan pemain sinetron tapi Miwon kan?” tebak Hami lagi. Afika tetap tidak menghiraukannya. Hami menghela nafas. “Ya udah kalau kamu nggak mau jujur,” kata Hami langsung berdiri.

“Sesekali lihatlah aku, orang yang menyukaimu. Aku serius untuk mengejarmu. Tidak perduli siapapun cowok yang kamu sukai. Aku bisa membuatmu melupakannya dengan melihat siapa diriku yang sebenarnya.”

Hami menatapnya heran, “Apa?”

“Kurang lebih itu yang dikatakannya,” ucap Afika sambil tetap mengecat kabus. “Sebenarnya hari ini aku ingin menghentikannya, tapi..,”

“Tidak bisa, Fik,” perkataan Hami membuat kepala Afika menengadah. “Dia sudah bersungguh-sungguh untuk mengejarmu. Kamu pasti tidak bisa menghentikannya. Seperti yang sudah kamu lihat, dia tampak benar-benar berusaha untuk selalu mencuri perhatianmu. Ini benar-benar pilihan yang sulit. Aku jadi penasaran apa kamu akan tetap berpendirian kuat untuk menyukai Edelweis atau belajar menerima Miwon untuk masuk ke dalam hatimu,”

Chagiya!” Miwon memanggil Afika dari belakang. Afika dan Hami saling menatap. “Chagiya!” kemudian Afika memutuskan untuk menoleh. Miwon berdiri tidak jauh darinya. Dia sedang menggerakkan tangan tengkorak dengan wajah berkerut. Miwon tampak gembira sekali menunjukkan tengkorak yang dipegangnya. Hami menepuk pundak Afika.

See?”

☻☺☻

Aku baru saja mematikan mesin motor di pinggir jalan. Mataku melesat pada seorang cowok yang kukenal. Cowok yang paling aku hormati dan aku sayangi. Kini cowok itu sedang mengangkat kardus dari dalam truk bersama pegawai berseragam merah lainnya. Ternyata dia memang kerja part time di sekitar sini. Beberapa jam sebelumnya, ayah memintaku untuk bertandang ke rumah ibu.  Rupanya ayah sudah menungguku di depan rumah. Ayah terlihat belum berani untuk menemui ibu sendirian. Disana akhirnya ibu menceritakan betapa sulitnya hidup yang ibu dan kakak alami. Kemudian ayah menanyakan alasan kenapa kakak menunda untuk memasuki jalur Sekolah Menengah Pertama. Awalnya ibu tidak ingin menceritakannya lebih lanjut. Tetapi setelah dibujuk pelan-pelan, ibu yang masih menangis sesenggukkan, akhirnya mulai bercerita.

“Sebelumnya kami tinggal di rumah Anne, adik sepupuku di Surabaya. Saat itu aku selalu menjual kue basah di pinggir jalan. Ed juga sering menjajakan kue basah di kelasnya. Beberapa bulan kemudian, Anne berkata bahwa tiga bulan lagi dia dan anaknya akan diboyong suaminya di pulau Sumatra demi tuntutan kerja. Rumah mereka juga hendak dijual. Aku memilih untuk tidak ikut dengannya. Aku menemukan rumah yang kecil namun cukup untuk kami berdua tinggali. Keluarga Anne mulai pindah tepat hari kelulusan Ed. Tetapi saat kami pindah ke rumah baru, kami diusir oleh bapak-bapak disana. Kata mereka rumah itu akan digusur dan menyalahkanku karena telah membayar sewa rumah sebelumnya tanpa surat kontrak. Sudah beberapa kali aku katakan bahwa surat kontrak itu akan diserahkan oleh pemiliknya besok pagi. Aku telepon pemiliknya. Tetapi juga tidak diangkat. Salah satu tukang gusur itu mengatakan bahwa aku sudah ditipu. Aku memang bodoh! Benar-benar bodoh! Aku dan Ed terlunta-lunta di jalan. Aku tidak memiliki banyak sisa uang, karena selebihnya sudah aku pakai untuk sebuah rumah. Aku tidak berani meneleponmu. Karena tidak ingin menyulitkanmu lagi. Siang-malam kami bekerja dan tidur di jalanan. Aku bekerja menjadi pemulung dan Ed menjual koran. Suatu hari Ed sakit panas dan seorang ibu pemilik warung membantu untuk membawa Ed pergi ke puskesmas. Ibu itu yang telah membantu hidup kami. Kami berdua tinggal dengannya dan membantunya di warung. Ini semua salahku karena Ed tidak bisa melanjutkan pendidikannya! Aku sangat bersalah padanya!”

Mendengar segala curahan hati ibu, membuatku hatiku bergerak untuk segera menemuimu. Ibu menunjukkan lokasi dimana biasanya kakak bekerja paruh waktu.  Kakak, sekarang aku disini untuk menemuimu. Walaupun banyak kendaraan yang lalu-lalang, namun aku masih bisa melihatmu dari jauh. Mungkin pandanganku ini membuatnya merasa seperti diperhatikan oleh orang lain. Tak lama kakak pun juga melihatku lama dan melepas topi berwarna merah dari kepalanya. Aku juga melepas helm yang sedari tadi kukenakan.

“Kak Ed!” teriakku sembari melambaikan tangan. Kak Ed langsung berlari menghampiriku. Aku turun dari motor. “Tadi aku dari rumah ibu,” perkataanku membuat senyumannya memudar. Aku segera menyerahkan air botol mineral padanya. Kak Ed meminumnya sampai habis. Rupanya dia sangat haus. Setelah itu kami terdiam beberapa saat. Kak Ed melipat kedua tangannya di dada, sementara aku memasukkan kedua tangan di dalam saku celana. Kami saling berhadapan dalam diam.

“Jadi ibu yang bilang aku kerja disini ya?” tanyanya dengan menyunggingkan senyum. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

“Kak Ed terlihat agak matching pakai seragam pegawai supermarket daripada seragam SMA. Terlihat lebih keren dan agak dewasa gimana gitu!” Kak Ed tertawa kecil mendengarnya. Aku ikut-ikutan tertawa. “Oh ya, tadi aku bersama ayah disana. Tetapi kami pulangnya pisah karena sebelumnya ayah berangkat dengan mamang Budi.”

Kak Ed menunjukkan reaksi terkejut sesaat. Tetapi setelah itu dia tersenyum kecil lagi. “Mang Budi masih jadi sopir ayah ya?” aku mengangguk lagi. Sudah jelas reaksinya tadi menandakan bahwa dia tidak menyangka bahwa ayah akan menemui ibu lagi.

“Ibu sudah cerita banyak,” kataku kemudian. Mata kak Ed beralih memandang berbagai kendaraan yang melintas.

“Aku sudah tahu kalau hal itu akan terjadi. Cepat atau lambat, ibu pasti akan menceritakannya,” dia melihatku lagi. “Jangan tanya kenapa saat itu ibu tidak segera menghubungi ayah. Aku yang memintanya untuk tidak menghubunginya lagi. Bahkan aku menolak dengan keras ketika ibu hendak menyerahkanku kepada ayah. Aku hanya ingin menjalani hidup berdua dengan ibu. Aku hanya ingin disampingnya dan membahagiakannya.”

Aku hanya terdiam mendengarnya. Setelah itu kak Ed juga tidak melanjutkan pembicaraannya.

“Sebenarnya ayah sangat menyesal karena telah melukai ibu dan kakak. Makanya ayah memilih untuk meninggalkan ibu. Ayah tidak ingin melukai ibu lagi,” aku masih melihat kak Ed termenung dengan kepala menunduk. ‘Tetapi setelah mendengar cerita ibu, ayah menjadi lebih dari sekedar perasaan menyesal karena tidak hanya menggores luka, tetapi juga menyengsarakan hidup ibu dan kakak. Tadi ibu dan ayah terus-menerus saling menyalahkan. Bahkan keduanya tidak berhenti menangis.”

Aku melihat kak Ed lagi. Dia masih terdiam. Aku sendiri kehabisan bahan obrolan. Jadi aku memutuskan untuk diam juga.

“Kamu masih ingat saat kamu bilang kalau Afika itu terlihat sama dengan seseorang?” tanyanya pelan. Aku menoleh padanya sesaat.

“Ya. Seperti seorang wanita yang selalu dijauhi dan dijadikan trending topic di kalangan tetangga perumahan karena fisiknya yang terlihat menyeramkan.”

“Lebih tepatnya miris. Setelah kejadian malam itu, banyak yang mempertanyakan goresan di wajah ibu. Namun ibu hanya bilang bahwa goresan itu didapat dari kecelakaan semata. Memang dasar nyonya-nyonya perumahan. Setelah itu mereka terkesan selalu jaga jarak dengan keluarga kita. Bahkan ibu sering menangis di rumah setiap usai menghadiri pertemuan bersama istri-istri perumahan.”

“Aku ingat! Parahnya mereka malah menganggap akulah yang telah melukai ibu karena aku selalu dicap sebagai anak yang nakal. Anak-anak mereka juga dilarang untuk bermain denganku lagi. Bahkan bertutur sapa pun tidak. Hahahaa.. kalau mengingat kembali gosip-gosip yang selalu mereka bicarakan, rasanya aku tidak ingin bermuka manis lagi di depan mereka. Tapi sialnya, aku masih tinggal disana sekarang. Nyesek banget!”

Kami berdua saling tertawa terbahak-bahak.

“Aku nggak habis pikir, orang-orang bisa menduga yang tidak-tidak hanya karena kamu terlihat bandel di mata mereka,” kata kak Ed sambil terus tertawa. Aku juga ikut tertawa.

‘YO! ONOK CHAT, YO! TEKO SOPO?! DELOKEN DEWE,YO!’ dengan segera ku ambil handphone di saku seragam. Kak Ed tertawa lagi.

“Gara-gara ringtone itu, aku jadi ditertawakan teman-teman sekelas,” katanya. Aku jadi teringat ketika kali pertama aku mengunjungi rumah kak Ed sekaligus kali pertama kak Ed menerimaku kembali. Aku memaksanya untuk merekam suara kami berdua dan menjadikannya dalam ringtone chat. “Chat dari siapa, dik?” tanyanya. Aku tersenyum saat membaca chat.

“Ayah menyuruhku segera pulang untuk mencuci baju bersama,”

Wajah kak Ed tampak bingung.

“Ayah mencuci baju? Nggak ada pembantu di rumah?” aku menggeleng.

“Selama ini aku dan ayah saling bahu-membahu dalam membersihkan rumah. Tetapi ayah tidak suka jika membersihkan rumah sendirian.”

“Oh gitu.”

Tak lama aku mendengar seseorang berteriak memanggil nama kak Ed. Kami berdua menoleh ke arah cowok berbaju merah yang membawa kotak kardus di tangannya. Kak Ed menoleh ke arahku, “Aku harus kerja lagi. Hati-hati di jalan ya! Salam buat ayah!”

Aku terpaku mendengarnya. Aku masih berdiri melihat kak Ed berjalan menghampiri temannya. ‘Aku tidak salah mendengarnya kan? Kak Ed menitip salam untuk ayah! Apa itu berarti kak Ed masih belajar menerima kembali kehadiran ayah di dalam hidupnya?’

☻☺☻

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Koma
280      114     0     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Ghea
7      7     0     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Wannable's Dream
516      140     0     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Rinai Kesedihan
589      413     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Everest
39      16     0     
Romance
Yang kutahu tentangmu; keceriaan penyembuh luka. Yang kaupikirkan tentangku; kepedihan tanpa jeda. Aku pernah memintamu untuk tetap disisiku, dan kamu mengabulkannya. Kamu pernah mengatakan bahwa aku harus menjaga hatiku untukmu, namun aku mengingkarinya. Kamu selalu mengatakan "iya" saat aku memohon padamu. Lalu, apa kamu akan mengatakannya juga saat aku memintamu untuk ...
Annyeong Jimin
426      156     0     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
SURAT CINTA KASIH
368      300     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
Dream Space
7      7     0     
Fantasy
Takdir, selalu menyatukan yang terpisah. Ataupun memisahkan yang dekat. Tak ada yang pernah tahu. Begitu juga takdir yang dialami oleh mereka. Mempersatukan kejadian demi kejadian menjadi sebuah rangakaian perjalanan hidup yang tidak akan dialami oleh yang membaca ataupun yang menuliskan. Welcome to DREAM SPACE. Cause You was born to be winner!
A Ghost Diary
47      28     0     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
My SECRETary
6      6     0     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!