Jika Aku Tahu Hari Ini Adalah Hari Terakhirmu
Jika aku tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirmu di bumi ini, sungguh aku tidak akan lagi menyiksamu dengan selang-selang, suntikan, dan apapun lagi. Aku tidak akan memaksamu menelan butiran-butiran obat lagi. Kupikir, kau mungkin lebih memilih wafat di atas kasur hangat rumah kita … bukan di atas kasur asing dengan aroma bahan kimia yang memuakkan.
Jika aku tahu bahwa kau pada akhirnya akan pergi … biarpun rasanya sangat sakit, aku ingin membantu meringankan setidaknya sedikit penderitaanmu. Sungguh, aku akan mencoba melenyapkan keegoisanku untuk melihatmu lebih lama lagi, agar tidak membuatmu tersiksa untuk terus bertahan di saat kau benar-benar sudah tidak mampu.
Aku tidak seharusnya berkata, “kau harus bertahan.” di saat sakit itu sedang menyiksa sekujur tubuhmu. Aku harusnya berhenti membuatmu menjalani pemeriksaan di saat semuanya sudah tidak bisa terselamatkan. Aku menyesal karena terus memberatkan saat-saat terakhirmu, seakan aku sedang menentang Tuhan. Takdir Tuhan tidak bisa dibantah bukan? oleh karena itu aku adalah manusia kejam karena pernah memintamu memohon pada Tuhan agar menunda kedatangan malaikat maut ke sisimu.
Bahkan ketika kau berusaha dengan susah payah menghembuskan nafas terakhirmu yang pendek-pendek, seharusnya aku berhenti memanggil namamu, seharusnya aku membiarkanmu menarik oksigen terakhir itu dengan damai. Tetapi apa? aku malah terus saja mengusikmu hanya karena keegoisanku untuk dapat memelukmu lebih lama lagi.
Sepertinya itu bukan perjuangan, itu hanyalah wujud dari ‘keras kepala’. Tetapi aku malah menyebutnya sebagai sebuah perjuangan dalam rangka membantumu bertahan, di saat kau adalah satu-satunya orang yang menanggung semua penyakit itu … dan aku hanya duduk, menangis, dan berdoa saja. Tidak ada apapun yang kulakukan untuk meringankan sakitmu, tak sepantasnya aku tidak menganggap semua itu adalah perjuanganku untukmu.
Jika aku tahu ini adalah pertemuan terakhir kita, seharusnya aku mengucapkan selamat tinggal dengan baik. Jikalaupun aku tidak mampu, setidaknya aku harus mengucapkan “maaf” dan “terima kasih”, biarpun kau hanya membisu dan tidak lagi sadar atas apa yang aku katakan. Hanya saja, seharusnya aku tidak memaksakan detak jatungmu dengan alat-alat yang hanya mengandalkan listrik di saat aku sepatutnya hanya berserah pada Tuhan.
Jika aku tahu bahwa ini adalah nafas terakhirmu, seharusnya aku tidak menjadikan diriku sebagai alasan kepergianmu menjadi sesuatu yang berat atau salah, karena semua manusia punya hak dan kewajiban memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa. Semoga kau mendapatkan pahala dari kesabaranmu dalam menghadapi kemelekatanku ini, sehingga Tuhan melapangkan kuburmu. Biarpun aku masih tersiksa atas kehilangan ini, semoga saja kau tidak. Biar aku saja yang menanggung beban kehilangan ini, kau tidak pantas turut menanggung beban lagi. Pergilah dengan damai, abaikanlah ucapan-ucapan bodohku di masa lalu, kewajibanmu telah usai dan tolong berbahagialah.
(2020)