Seminggu
Selamat datang senin, hari di mana aku harus sewaras mungkin. Sesungguhnya aku masih ingin mengambil cuti untuk merayakan sepuas-puasnya kesedihanku pasca ditinggalkan, tapi nyatanya dompetku menjerit lebih keras. Aku harus kembali memasang topeng dan membanting tulang. Menjalani hari tanpa sadar siang dan malam. Waktu memang cepat berlalu adanya, malam sering menyusup tiba-tiba. Terima kasih karena aku masih memiliki ruang yang aman dan nyaman serta malam yang panjang untuk menghayati ketidakwarasanku sebagai mahkluk yang belum mampu berdamai dengan kenyataan.
Lalu selasa. Seseorang yang kucintai sudah wafat, dan waktu terus bergulir adanya. Terseok-seok menjalani hari adalah hal biasa, ada atau tidaknya duka ini pun aku memang belum menyukai hidupku. Orang-orang masih sibuk menanyakan kabarku serta mengucapkan belasungkawa, tetapi semua itu hanya menyisakan kehampaan. Karena, satu-satunya suara yang yang kudengar telah membisu untuk selamanya.
Kemudian rabu. Ponselku berdering tanda masuknya pemberitahuan. Walaupun bukan dari seseorang yang kuharapkan untuk bangkit kembali, setidaknya platform belanja online yang mengirimiku pesan tentang diskon secara tak langsung turut mendukungku untuk terus bernyawa dan menyambung kehidupan. Aku pun berbelanja untuk menghibur diri dan para perjual, tapi sialnya aku malah semakin teringat akan dia yang sudah tenggelam dalam keabadian. Tak mengapa, aku akan tetap membelikannya biarpun hanya untuk menjadi pajangan. Penyesalan memang hobinya menyiksa.
Kamis yang tampak manis pun tiba. Orang-orang terdekatku mengajak untuk ngeteh santai di café cantik dalam rangka gibah massal. Hm … lagi-lagi aku harus menelan paksa makanan yang membuatku kembali teringat kenangan dulu, saat ia masih ada. Semua makanan-makanan ini seakan terdapat duri, menusuk di tenggorokan bahkan hampir menyebabkan turunnya air mata. Kusadari, belakangan aku sering sekali ingin memuntahkan makanan. Karena orang yang kuharapkan untuk menemaniku menyantap hidangan telah tiada. Memang biadab diriku ini, aku gemar sekali berfokus pada yang sudah tiada … bukan pada apa yang masih ada.
Jumat yang damai akhirnya datang. Senang rasanya bisa mendengar teduhnya motivasi dari dokter ahli jiwa. Menelan butiran-butiran obat yang manis dan melakukan relaksasi nafas membuatku merasa lebih baik. Walaupun rasa marah, kesal, dan kecewa masih menjadi asap tebal yang menyelimuti dada, setidaknya aku kenal orang pintar yang membantu menyembuhkanku dari trauma. Aku tak ingin menerka sampai kapan aku akan begini, yang penting rasa frustasi dapat sejenak menepi. Wah, hidup memang tidak bisa menuruti kemauanku saja. Apa yang aku inginkan untuk ada nyatanya tidak ada, dan apa yang tidak aku inginkan untuk ada justru malah hadir. Tak mengapa, kata orang bijak semua akan baik-baik saja.
Akhirnya sabtu tiba. AKu tidak punya rencana apapun, aku hanya ingin tidur sepuasnya. Membenamkan diri di alam mimpi; sebuah alam yang menjadi satu-satunya jembatan agar aku dapat kembali bertemu dengannya. Ah … aku rindu sekali. Sosoknya masih sama, suara bahkan kebiasaannya tidak berubah. Aku mendekapnya, menciumnya, dan berbagi canda tawa. Aku mohon siapapun jangan bangunkan aku, aku ingin bermimpi lebih lama. Sebuah kehadiran memang bermakna tak terhingga, sungguh teramat sangat berarti. Seharusnya dulu aku tak mengabaikan tiga kata penting dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu ‘ selagi masih ada ‘ . Untuk itulah aku sering termenung, bahwa sepertinya aku memang tidak pantas atas kehadirannya sehingga Tuhan menjemputnya. Aku benci diri ini; diri yang bodoh, egois, dan tidak tahu diri.
Minggu yang berwarna merah merekah sudah menyapa. Awalnya kukira diri ini telah hancur berserakan, tapi ternyata aku masihlah diriku yang utuh, diri yang sama kuatnya. Telah kujalani hari-hari dengan mungkin tidak baik, tapi tidak juga buruk. Lucu sekali, ternyata aku lumayan tahan banting atas sesuatu yang kusebut titik terendah dalam hidup. Mendengarkan ceramah di hari minggu adalah hal paling tepat untuk dilakukan demi mengisi kekosongan. Ceramah tentang cara-cara untuk rela dan terbebas dari kemelekatan. Padahal sesungguhnya aku sudah tahu tentang ajaran ini sebelumya, tapi ternyata aku perlu kembali diingatkan. Semua orang memang akan mati, sadarlah wahai diriku! Takdir memang diizinkan untuk mengusaikan hubungan siapa saja, termasuk diriku dan dirinya. Semoga tenang arwahnya, dan juga … semoga tenang pikiranku. Sebab, aku harus kembali waras di hari senin yang cerah.
(2020)