Ruang tamu ini dipenuhi tanda tanya. Masing-masing memiliki tanyanya sendiri.
Edgar sedikit kebingungan. Ia bergantian melirik Yuner dan Cadri. "Kalian udah saling kenal?"
"Belum."
"Udah."
Jawaban meluncur enteng dari mulut Cadri berbarengan dengan jawaban dari Yuner. Pemuda bermata biru itu menaikan satu alisnya heran mendengar jawaban Cadri. Padahal kejadian tersebut belum genap satu minggu tapi Cadri sudah melupakannya. Ia merasa sedikit sedih karena baginya, itu kejadian berkesan sementara menurut Cadri mungkin cuma menganggapnya seperti angin yang berlalu.
Edgar malah semakin bingung dibuatnya. Ia mendorong Yuner agar duduk di sofa yang berada di sebelah Cadri supaya mereka bertiga bisa mengobrol lebih nyaman.
"Lo lupa sama gue?" tanya Yuner lalu Cadri menggeleng. "Terus kenapa bilangnya belum kenal?"
"Kita memang belum kenal, tapi pernah ketemu," ralat Cadri yang melipat kedua kakinya.
Yuner tidak menerima sepenuhnya pernyataan Cadri, walaupun pernyataan Cadri ada benarnya.
"Oh, gitu ya?" ucapnya gamblang, antara bertanya atau tidak.
Kebingubgan Edgar berubah menjadi senang kala melihat kenyataan bahwa keduanya sudah pernah bertemu. "Cadri, Yuner ini cuma berbeda dua tahun umurnya dari kamu yang masih lima belas. Kamu bisa menganggap dia sebagai teman saja, tidak perlu kaku kayak dulu kamu diajar guru-guru lainnya. Oke?"
Awalnya Yuner mengira Cadri seumuran dengannya. Perawakannya lebih dewasa dari anak lima belas tahun kebanyakan, tapi sama sekali tidak meninggalkan kesan imut. Matanya sedikit sipit dengan bulu mata tipis. Hidungnya kecil dan kulitnya putih tetapi bukan terlihat seperti ras Cina.
Gadis lain mungkin memilih celana bermodel pensil serta berbahan jeans. Cadri menolak selera tersebut dan memilih memakai celana berbahan kain yang kebesaran di kakinya. Sepatu boot hitamnya sempat menarik perhatian Yuner karena punya daya kilau tersendiri. Tubuhnya terbalut sweater cokelat muda polos. Semua orang pasti tidak menyangka Cadri anak usia lima belas tahun yang punya bakat bela diri luar biasa.
"Kemarin kenapa kamu bawa dua galon air mineral sekaligus? Saya aja yang laki-laki bawa satu galon keberatan," kata Yuner mencoba memulai sebuah diskusi.
Cadri menggulung-gulung kecil sweater-nya sembari membalas, "Gue dihukum Pak Edgar."
Yuner yang hendak protes ditahan oleh Edgar. "Saya tidak kelewatan kok. Cadri ini berbeda dari remaja lainnya. Dia punya muscle hypertrophy syndrome sejak lahir."
"M-Muscle syndrome?" tanya Yuner yang memicingkan matanya.
"Syndrome itu termasuk syndrome yang cukup langka dimana, syndrome tersebut membuat massa otot dua kali lebih besar dari orang dewasa. Orang seperti Cadri ini, punya kekuatan lebih dibandingkan teman-teman seusianya."
Yuner yang terakhir kali belajar biologi sewaktu SMP pun masih tidak percaya. Rata-rata perempuan sporty punya kesan garang dan tegas. Cadri sebaliknya. Matanya selalu tidak fokus bila berbicara bahkan kerap kali menunduk. Gerakannya pasif dan ekspresinya tidak menunjukan semangat jiwa seorang atlet.
"Gue penasaran," Yuner pun mengikuti gaya bahasa Cadri yang tidak formal. "Paling berat, lo pernah ngangkat beban berapa kilo?"
"Tujuh puluh kilo dalam waktu satu menit," ucap Cadri pelan, Yuner hampir tidak mendengarnya. Seolah Cadri malu mengakui pencapaian mengagumkan tersebut di depan orang lain.
"Tujuh puluh kilo?" Pupil mata biru Yuner membesar. "Kayaknya lo bisa ngangkat gue dari sini ke kantin sekolah di sebelah. Berat badan gue aja cuma 65."
Cadri tidak bergeming. Ia sibuk memlin-milin kecil ujung sweater-nya seperti menemukan mainan baru yang lebih asik dibandingkan mengobrol bersama pemuda tampan.
"Kita bisa mulai latihan minggu depan. Jadwal kamu kosong kan?" Sesuai informasi yang Edgar berikan, Cadri tipe orang yang tertutup sehingga Yuner terus yang memancing obrolan.
"Iya," ucap Cadri singkat sembari mengangguk lemah.
Edgar menepuk pundak Yuner. Memberikannya semangat serta menyerahkan tugas yang harus ia emban. Yuner akan melaksanakannya sebaik mungkin. Ia berharap, bisa lebih baik dari Edgar menolong keluarganya dulu.
***
Hari ini adalah jadwal libur tapi Yuner tetap berangkat ke sekolahnya. Sesuai janji, Yuner dan Gery akan bertemu untuk membicarakan kerja sama mereka perihal pembuatan video klip.
Semalaman, Yuner mendengar demo lagu band Reborn--band pop yang dinaungi Gery dengan ketiga temannya. Lagu berjudul Bertemu merupakan lagu yang unik menurut Yuner. Sebuah lagu yang menceritakan cinta pada pandangan pertama namun tanpa ada unsur menggoda yang terkadang membuatnya risih mendengar lirik lagu yang sengaja mengarah menuju perbuatan seduction.
Sepatu kats Yuner melangkah pasti menelusuri bangunan sekolah khusus jurusan seni musik. Ia cukup hapal seluk beluk bangunan ini. Dulu sewaktu ulang tahunnya yang ke-16, ia bersembunyi di bangunan ini karena seluruh teman sekelasnya telah menyiapkan kejutan berupa seember penuh air dan kue tart. Jaket yang ia kenakan setara harganya dengan ajuan DP sepeda motor. Ibunya pasti marah besar jika jaketnya itu terkena noda makanan yang sulit dihilangkan.
Kendati tidak terkena noda makanan, Naja tetap berulah. Ia menggantungkan jaket Yuner di atas tiang bendera. Yuner sampai harus meminta bantuan caraka sekolah untuk mengambil jaketnya yang entah bagaimana caranya bisa berada di atas sana.
Yuner mengetuk pintu studio rekaman jurusan seni musik. Selang hitungan detik pintu studio terbuka, menampakan seorang pemuda berambut rapih.
"Lo dateng tepat waktu." Pemuda itu mengulurkan tangannya. "Gery," ajaknya berkenalan kembali.
Yuner pun menyambut uluran tangan pemuda di hadapannya. "Yuner."
"Ayo, masuk. Kita ngobrol-ngobrol di dalem."
Yuner mengikuti Gery ragu-ragu. Ini pertama kalinya ia masuk studio rekaman. Banyak mikrofon dan kabel dimana-mana. Di dalam tiga orang pemuda lain sedang duduk sambil mengotak-atik alat musik mereka masing-masing.
"Eh, kasih salam sama Yuner! Ini cowok yang gue ceritain. Mantep kan?!" Gery merangkul pundak Yuner di depan teman-temannya.
"Bener-bener, anak seni drama gantengnya menuju tak terhingga dan melampaui batas," celetuk laki-laki yang tengah memutar-mutar stik drumnya.
Temannya memukul pelan kepala laki-laki itu menggunakan bass yang ia pegang. "Iyalah. Memangnya lo yang jerawatnya menuju tak terhingga dan melampaui batas."
"Amit-amit." Laki-laki itu memegangi kedua sisi pipinya. "Asal lo tahu, jerawat gue udah berkurang banyak."
"Percuma kalau lo nggak ngungkapin rasa suka lo ke Sonya. Yang ada makin mampet itu jerawat. Oh ya, asalkan lo tahu, gue nggak mau tahu."
Ternyata beginilah rata-rata pertemanan antar sesama laki-laki. Saling ejek adalah makanan sehari-hari. Dirinya, Max dan Naja juga melakukan hal yang sama.
"Ribut mulu tiap hari," potong Gery sebelun kedua temannya melanjutkan perdebatan tidak penting. "Yang jerawatan itu namanya Felix, terus yang mancing emosi Felix namanya Haris. Satu lagi namanya Kresna."
Kresna yang sedari tadi belum mengatakan sepatah kata pun akhirnya bersuara. "Mohon bantuannya ya. Kita semua ngandelin lo."
Kepercayaan merupakan sebuah tanggung jawab bagi Yuner. Ia pun memasang wajah tegasnya dan rasa canggungnya seketika hilang. "Semaksimal mungkin bakal gue bantu."
Gery mempererat rangkulannya di pundak Yuner. "Kita mulai aja diskusi peran yang harus lo jalanin di video klip ini."
Kresna dan Gery pun mengatur tempat duduk untuk, Yuner kemudian langsung memberikan arahan mengenai konsep video klip mereka, disaat Haris dan Felix masih sibuk berdebat tentang teori menahan untuk mengukapkan rasa suka dapat menimbulkan jerawat.
***
nice story :)
Comment on chapter P R O L O G