Read More >>"> Two World (Aku vs Lelaki Berumur Lebih dari 17 Tahun) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Two World
MENU
About Us  

Sayangnya dia tidak punya hati.

Begitu teganya mengusirku keluar sambil memaksa. Pergelangan tanganku sampai sakit akibat dia yang terus berusaha menyeretku keluar dengan kasar. Memperlakukanku layaknya sebuah karung beras. Telapak tanganku juga sakit akibat menahan pintu yang mau ditutup olehnya. Aku ini seorang perempuan. Apa dia tidak bisa bersikap sedikit lebih lembut? Apa dia tidak kasihan padaku yang menunggu seorang diri di luar rumah sampai pagi? Di tengah hutan pula. Tentu orang ketus sepertinya tidak akan peduli atas apa yang akan terjadi padaku. Baginya, aku adalah orang asing dan seorang perempuan yang tidak baik-baik. Dia berani menilaiku seperti itu, padahal dia sendiri tidak tahu bagaimana orang lain menilai dirinya.

Di luar begitu banyak nyamuk. Saking tidak ada hal yang bisa kulakukan, dari yang awalnya sibuk memukul nyamuk, kini sudah berganti menyibukkan diri mengumpulkan jasad-jasad nyamuk yang tumbang. Kalau dihitung-hitung satu nyawa lagi hilang, totalnya menjadi genap sepuluh ekor. Sungguh aku bosan menghadapi situasi yang tidak jelas semacam ini. Dimana aku sekarang, jam berapa sekarang, sedang apa ibu sekarang, aku tidak tahu. Bahkan sampai sekarang aku masih tidak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Kelihatannya memang aku tidak diculik. Kurasa dia pun tidak berbakat untuk menjadi seorang penculik. Dia juga begitu berusaha keras membawaku keluar dari rumahnya seolah aku ini adalah seorang tamu yang tak diundang. Bahkan mungkin menurutnya aku adalah seorang pencuri. Pencuri yang diam-diam masuk ke dalam rumahnya. Benar-benar konyol. Aku menganggapnya penculik, sementara dia menganggapku pencuri. Mungkinkah aku benar sedang bermimpi? Tapi sekujur tubuhku serba sakit akibat ditarik-tarik olehnya ataupun ditepuk oleh tanganku sendiri saat menepuk nyamuk. Dan semua itu terasa nyata. Apa yang kualami sekarang seluruhnya terasa nyata. Mau aku dipukul berapa kali pun, aku juga tidak akan bangun.

“Ngapain?” 

Spontan aku beranjak dari kursi dan berdiri menghadap ke arahnya. Sejak kapan dia berdiri di ambang pintu? Pasti sedari tadi dia sudah menertawakan tingkahku yang tengah mengumpulkan nyamuk, menggerutu kesal, juga menepuk-nepuk pipi beberapa kali.

Sebuah selimut tebal berwarna cokelat dilemparkan padaku. Sigap aku menangkap. Bahannya lembut dan hangat, serta wangi. Bukannya mengucapkan terima kasih, aku justru diam terpaku menatap selimut di tangan seakan tidak tahu benda apa yang sedang kupegang. Aku hanya tidak mengerti sikapnya. Tadi dia begitu galak seolah aku ini sudah ketahuan mencuri barang berharga di rumahnya, tapi sekarang dia menemuiku di luar untuk memberikan selimut juga segelas susu cokelat panas. Kedua mataku tadi sampai melotot tidak percaya saat dia melangkah mendekat dan memberikan gelas itu. 

“Makasih.” kataku. Agak pelan karena aku malu. 

Dia duduk di selasar pagar kayu di teras, sedangkan aku kembali duduk di kursi. Aku takut dia jatuh kalau-kalau pagar kayu tidak kuat menopang tubuhnya. Akan tetapi dia santai-santai saja duduk di sana. Jadi aku kembali berpaling darinya seraya menyibukkan diri meniup uap susu cokelat panas. Jujur saja aku sangat lapar. Perut rasanyasudah meronta-ronta seolah sudah beberapa hari tidak makan. Kalau aku tidak tahu diri, mungkin aku bisa dengan berani meminta tambahan cemilan karena susu cokelat yang hanya segelas kecil nan ramping ini tidaklah cukup.

Mungkin sudah ada lima menit berlalu tanpa satupun dari kami yang memulai percakapan. Minumanku juga sudah mencapai setengah gelas. Entah apa yang sedang dilakukannya, aku tidak mau lihat. Posisi duduknya juga tidak berubah. Masih duduk menghadap ke arahku.

“Kamu benar-benar ngga tau kenapa bisa ada di sini?” tanyanya pada akhirnya. 

Aku langsung menghela napas panjang. Merasa lega. Dari tadi rasanya seperti ada yang menekan paru-paruku sehingga tidak bisa bernapas dengan leluasa dikarenakan dia tidak bicara sama sekali dan juga dikarenakan aku ragu untuk memulai pembicaraan. Aku tidak tahu apa yang membuatku kehilangan kata-kata. Padahal beberapa menit lalu aku begitu kesal padanya.
Cangkir terlebih dulu kuletakkan di atas meja di samping kursi, lalu mengelilingi tubuhku dengan selimut yang dia berikan.

“Iya aku benar-benar ngga tau. Buat apa juga aku bohong?” jawabku sejujur-jujurnya. 

“Memang sebelumnya kamu dimana?”

“Di rumah sakit. Di ruang kerja ibuku. Aku lagi istirahat di sofanya sampai akhirnya ketiduran, mungkin. Lalu bangun-bangun udah ada di dalam rumahmu. Di atas kursi panjang. Tadinya kupikir aku diculik. Dibawa ke pondok di tengah hutan. Tapi mana ada penculik yang justru mengusir tawanannya sendiri.” jelasku sejelas-jelasnya dengan tidak melihat ke arahnya.

Kalau ternyata dia tidak mengerti dengan apa yang aku jelaskan, aku tidak peduli. Namun kalau ternyata dia masih tidak percaya, aku angkat tangan. Sisa-sisa energiku untuk melawannya sudah habis. Aku butuh sesuatu yang lebih berbobot dibanding dengan minuman susu cokelat, tapi aku tidak mau menjatuhkan harga diriku di depannya hanya karena butuh makan.

“Kamu langsung kesini? Ngga ke tempat lain?” tanyanya lagi dan pertanyaannya itu mengisyaratkan kalau dia sebenarnya masih tidak percaya dengan perkataanku.

“Ya iya langsung kesini. Aku bangun tidur langsung ada di sini. Apa kamu pikir aku tidur sambil jalan?” kataku kesal. Menyebabkan perutku yang kosong berbunyi nyaring meminta asupan. Membuatku malu. 

Usai insiden perut yang keroncongan, dia langsung turun dari selasar pagar dan masuk ke dalam rumah. Pintunya memang tidak ditutup, tapi dia tidak menyuruhku masuk, jadi aku tetap menunggu di luar. Menunggunya yang tak kunjung kembali, gelas susu cokelatku sampai kosong. Udara juga semakin dingin. Di dalam pasti hangat. Tadi sewaktu pertama kali lampu dinyalakan dan pertama kali aku bertemu dengannya, aku menyempatkan diri melihat keadaan sekitar. Ketika itu aku melihat ada tungku perapian. Memang dalam keadaan mati, tapi kalau saat ini dinyalakan pasti hangatnya akan membuat tubuh terasa lebih nyaman.

“Ayo masuk.” ajaknya tiba-tiba.

Aku pun segera masuk dengan senang hati. Bahkan aku tidak bisa mengontrol rasa senangku sampai-sampai aku terus tersenyum sepanjang langkah menuju meja makan yang terletak di bawah tangga. Dia berdiri di sana dan aku seperti magnet langsung ikut bergerak ke arah dia berada. Dan aku teramat tidak percaya dengan apa yang tersaji di atas meja makan. Ada tiga jenis makanan dimana semuanya masih hangat ditambah dengan aromanya yang menggiurkan. Cacing-cacing di perutku sepertinya juga sudah tidak sabar menerima suapan demi suapan dari masing-masing jenis makanan. Tapi dari mana datangnya semua makanan ini? Tidak masalah jika dia memanaskan lebih dulu di microwave yang ada di dapur, hanya saja masalahnya adalah siapa yang memasaknya? Dia sendiri kah? 

Aku tidak peduli.

“Makanlah sepuasmu.” ujarnya, kemudian pergi meninggalkanku.

“Serius?” tanyaku tak percaya.

“Habiskan. Jangan lupa cuci piringnya. Kalau udah selesai, pakai aja kamar mandi dan tempat tidur di lantai atas. Jangan pernah sedikitpun mengangguku tidur.”

Aku mengangguk semangat sambil tersenyum maksimal padanya di saat dia sudah merebahkan diri di atas kursi kayu panjang usai pergi mengunci pintu. Menyelimuti sekujur tubuhnya dengan selimut tebal yang sebelumnya diberikan untukku. Sementara aku sibuk menikmati makanan larut malam dengan lahap. Semuanya terasa enak. Apa mungkin dikarenakan sedang lapar, aku tidak tahu. Setidaknya situasi sekarang tidak seburuk seperti di awal tadi. Meski aku masih tidak tahu siapa dia, sedang berada dimana dan apa yang sedang terjadi. Semoga saja besok pagi aku sudah bisa memperoleh jawabannya.

***

Aku tidak bisa tidur. 

Suara seseorang yang kurang kerjaan menggedor-gedor kayu terdengar begitu berisik sampai-sampai aku hanya bisa memejamkan mata tanpa berhasil mencapai titik dimana aku dinyatakan sudah tidur. Bahkan saking kuatnya seseorang ini menggedor, sampai membuat tubuhku ikut bergetar. Semakin lama aku semakin tidak tahan. Jadi aku bangun sambil berteriak ‘berisik!’ dengan keadaan kedua mata yang masih tertutup. Dan seketikaair bah langsung menghantam wajahku.
Sontak aku menjerit. 

“Udah sadar?” tanya seseorang di tengah kesibukanku menyibakkan rambut yang basah kuyup sambil sesekali mengucek-ngucek mata. “Heh udah sadar belum?”

“Berisik!” balasku kesal dan spontan aku melompat dari kursi akibat kaget sewaktu melihat siapa yang sedang kuajak bicara. 

Sungguh aku lupa situasi seperti apa yang sedang kuhadapi. Aku benar-benar tidak ingat kalau aku sedang berada di sebuah rumah asing bersama seorang lelaki yang asing. Aku kira aku sedang berada di rumah dimana ibu sedang berusaha membangunkanku di jam yang masih terbilang pagi di hari minggu. 

Melihatnya memberikan tatapan tajam juga menukik padaku, aku rasa tingkat kesempatan untukku diperbolehkan ada di sini sudah mencapai nol persen. Aku jamin lelaki ini akan kembali mengusirku.
Dia meletakkan dengan keras gelas plastik yang sebelumnya digunakan untuk menyiram wajahku.

“Apa-apaan nih? Ngga ingat apa pesanku tadi malam?”

Aku belum memberi respon apapun. Hanya menggigit bibir sambil memikirkan apa yang telah kuperbuat semalam. 

Benar juga. Menghabiskan seluruh makanan yang disediakan secara cuma-cuma olehnya justru membuatku kekenyangan dan tidak kuat untuk beranjak dari posisi. Sehingga aku cuma duduk termenung sambil menunggu semua makanan mampu beradaptasi di dalam perut. Setelah itu, setelah dirasa sudah kuat bergerak, aku segera melaksanakan pesan darinya untuk mencucibersih semua piring serta meletakkannya di tempat yang semestinya. Lalu yang terakhir yaitu pergi ke lantai atas untuk tidur di kasur yang empuk dan mendapatkan mimpi indah. 

Tapi kenyataannya semua itu gagal dilakukan setelah rasa kenyang justru membuatku mengantuk. Jadi tanpa sadar aku tertidur di tempat tanpa melaksanakan semua pesan-pesannya. Pantas saja dia tampak tidak bersahabat seperti tadi malam. Aku juga pasti kesal ketika melihat segala sesuatunya terlihat berantakan di atas meja. Kotor, jorok, aroma yang tidak mengenakkan, pokoknya tidak enak dan tidak pantas dilihat. Aku benar-benar bermasalah pagi hari ini. Awal hari yang teramat buruk

“Kamu tuh udah dibaikin tapi malah ngelunjak ya.”

“Maaf deh. Maafin aku ya.” ujarku dengan raut wajah setulus mungkin. 

Selama ini belum ada orang yang tidak mungkin tidak luluh dengan tatapan memohon yang berbinar-binar dariku. Dimana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun hatinya pasti akan langsung tersentuh. Termasuk orang ini. Buktinya dia tidak lagi berkicau.

“Pulang sana.”

Mustahil. Ternyata tatapan mautku tidak mempan padanya.

“Eh tunggu.” ujarku sambil mengejar langkahnya. “Ngga apa-apa kalau aku ngga dimaafin. Ngga masalah juga kalau kamu ngga izinin aku buat tinggal di rumah kamu lagi. Tapi aku cuma mau minta tolong satu hal. Bantu aku pulang, ya? Aku sama sekali ngga tau ini ada dimana.”

“Itu deritamu.”

“Tolong, ya? Aku tau kamu orang baik.”

“Ngga.”

“Jahat banget sih.”

Dia pun berhenti tepat di ambang pintu. Cahaya matahari di luar tidak lagi sampai masuk ke dalam karena terhalang oleh tubuhnya. Untuk saat ini aku tidak menyesali ucapanku. Mau dia marah atau kembali menyiramiku dengan air, aku tidak peduli. Tapi nyatanya dia justru duduk di teras untuk memakai sepatu. Kurasa dia ingin pergi. 

Aku pun berjalan mendekati pintu.

“Kamu mau pergi?” tanyaku dimana tidak ada tanggapan apapun darinya. “Aku boleh ikut? Aku janji ngga akan jadi beban. Siapa tau kalau udah keluar hutan, aku bisa cari jalan pulang sendiri.”

Dia masih fokus pada tali sepatunya. Membuatku serasa sedang bicara sendiri. 

Rupanya suasana di luar menarik juga. Tidak seburuk hutan yang ada di bayanganku. Kelihatannya sejauh ini apa yang ada dalam pikiranku terlalu berlebihan. Padahal kenyataan yang ada justru sebaliknya. Segala hal buruk yang kupikirkan, yang muncul malah hal yang baik. Awalnya kupikir ini adalah hutan belantara yang tidak terawat dengan semak-semak lebat berserakan yang menutupi jalan. Ditambah pula dengan adanya lumut-lumut hijau nan licin yang menjijikan. Paling parahnya lagi aku berpikiran kalau hutan ini merupakan habitatnya para binatang buas. Namun faktanya hutan ini begitu terawat. Bahkan aku tidak yakin apakah tempat ini bisa disebut hutan.

Di depan sebuah rumah yang memang sepenuhnya terbuat dari kayu ini terdapat jalan setapak berbatu dimana di samping kanan dan kirinya adalah sekumpulan rerumputan pendek yang rapi. Memang ada satu atau dua batang pohon besar dengan dedaunan yang rindang di dekat rumah, tapi sisanya terletak agak jauh di depan. Malahan jika aku tidak salah lihat, di balik celah antara batang pohon yang satu dengan yang lainnya aku merasa seperti melihat kilauan cahaya yang terpantul di genangan air.  

“Apa di depan sana ada semacam sungai atau danau atau mungkin laut?” tanyaku padanya yang masih duduk di teras. 

Dia pun beranjak dari posisinya. Sudah siap pergi dengan penampilan yang rapi. Walau cuma menggunakan sweter gombrong dan celana panjang, tapi dia tampak jauh lebih segar jika dibandingkan dengan tadi malam. Tidak salah jika kukatakan bahwa saat ini, di bawah langit pagi hari yang cerah ini, dia semakin terlihat lebih menarik. 

Wajahku langsung berpaling saat dia sudah berdiri di depanku.

“Aku ngga bisa membantu apalagi membawamu pulang. Maaf.”

“Sekedar beri tau jalan apa juga ngga bisa?”

“Masalahnya ini bukan cuma sekedar jalan yang orang lain bisa tau. Tapi cuma kamu sendiri yang tau jalannya.” jelasnya.

Aku yang jalan pikirnya terlalu pendek atau justru dia yang bicara melantur, aku benar-benar tidak paham apa maksud dari perkataannya. Kalau memang cuma aku yang tau jalan pulang, buat apa aku sampai menunggu semalaman di sini dan meminta bantuannya. Bisa saja aku langsung pulang dari tadi malam. Sepertinya ada yang tidak beres.

Aku menatapnya lekat-lekat. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. 

“Kamu sengaja ya ngga mau membantuku pulang supaya aku bisa tinggal disini?” tanyaku menyudutkannya.

Dahinya berkerut. Raut wajahnya yang tengah melihatku memberi arti seolah aku ini begitu menjijikan di matanya. Sebenarnya aku memang belum mandi sejak kemarin, tapi aku tidak bau-bau amat. Penampilanku juga tidak buruk karena aku masih mengenakan pakaian lengkap. Mungkin rambutku yang sedikit berantakan, jadi reflek aku menyisir seadanya dengan jari-jari tangan.

“Kamu benar-benar ngga takut ya? Kita cuma berdua di sini dan aku adalah laki-laki yang udah lewat dari tujuh belas tahun. Lalu kamu masih berharap tinggal di sini denganku? Kayaknya kamu memang perempuan yang ngga benar.”

Dia langsung pergi begitu saja setelah untuk kedua kalinya mengatakan aku ini adalah perempuan yang tidak benar. Tidak minta maaf pula. Dia pikir aku tidak sakit hati dengan perkataannya. Mana ada perempuan yang mau dikatakan seperti itu. Seharusnya dia tahu. Kurasa hatinya memang beku. 

Kulihat dia semakin menjauh. Berjalan lurus mengarah pada sekumpulan pepohonan yang sebelumnya sempat terlihat ada kilauan air danau di dalam sana. Setengah hatiku mengatakan aku harus tetap di sini agar dia tidak terbang tinggi karena aku menyusulnya. Sementara setengahnya lagi menyarankan agar aku mengejarnya.

Masa bodo apabila dia menyuruhku kembali, aku akan terus mengikutinya. Selama aku tidak mengganggunya kupikir dia tidak akan keberatan. Jadi mau tak mau aku memilih pilihan untuk mengejarnya. Demi untuk pulang ke rumah, aku harus lebih berani.

“Hei!” seruku memaggil. Baru ingat kalau sampai saat ini aku belum tahu siapa namanya. Jadinya aku terus memanggilnya dengan kata ‘hei’. “Hei tunggu. Aku bakal ikut kemana kamu pergi dan untuk itu aku ngga perlu persetujuanmu.”

Tiba-tiba dia berhenti. Posisi tubuhku yang belum seimbang akibat berlarian di antara rerumputan dan kerikil yang bertebaran, membuatku tidak sengaja menubruknya karena terlambat mengerem. Membuatnya hampir terjengkang ke depan. Untung dia berhasil menahan. Kalau tidak, tidak bisa kubayangkan dia akan semarah apa. Dia pasti akan memakiku lebih parah.

“Maumu apa sih?” tanyanya.

“Mauku ya pulang.”

“Kalau begitu tunggu aja di rumah. Bersihkan semua kekacauan yang kamu buat di dapur. Bersihkan juga dirimu. Setelah itu jangan kemana-mana. Tunggu aku pulang.”

Aku langsung tertegun. 

“Memangnya kamu mau kemana?” tanyaku sedikit terbata-bata.

“Mencari orang yang bisa membantumu.”

“Oh begitu. Seharusnya bilang dong dari tadi. Yaudah, aku tunggu di rumah.” kataku memelankan suara. Tidak berani bertatapan dengannya.

Aku tidak melihatnya pergi, karena aku langsung membalikkan badan sedetik setelah aku selesai bicara. Tidak mau berlama-lama berhadapan dengannya sebab aku sudah kesulitan menahan rasa geli yang menggelitik di sekujur tubuhku. Termasuk pula kesulitan menahan munculnya rona merah di wajahku. Bahkan aku melangkah kembali ke rumah sambil senyum-senyum sendiri. Belum ada satu hari penuh aku mengenalnya, tapi dia sudah sungguh-sungguh membuatku bingung. Terkadang ketus, galak, tapi terkadang juga perhatian. Dan caranya memberi perhatian padaku juga agak lucu. Perhatian namun masih ada bumbu ketus di dalamnya. Menggemaskan.

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rêver
16      15     0     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Mendadak Pacar
80      15     0     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
Untouchable Boy
12      5     0     
Romance
Kikan Kenandria, penyuka bunga Lily dan Es krim rasa strawberry. Lebih sering dikenal dengan cewek cengeng di sekolahnya. Menurutnya menangis adalah cara Kikan mengungkapkan rasa sedih dan rasa bahagianya, selain itu hal-hal sepele juga bisa menjadi alasan mengapa Kikan menangis. Hal yang paling tidak disukai dari Kikan adalah saat seseorang yang disayanginya harus repot karena sifat cengengnya, ...
Thantophobia
17      8     0     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Dia Dia Dia
72      17     0     
Romance
Gadis tomboy yang berbakat melukis dan baru pindah sekolah ke Jakarta harus menahan egonya supaya tidak dikeluarkan dari sekolah barunya, saat beberapa teman barunya tidak menyukai gadis itu, yang bernama Zifan Alfanisa. Dinginnya sikap Zifan dirasa siswa/siswi sekolah akan menjadi pengganti geng anak sekolah itu yang dimotori oleh Riska, Elis, Lani, Tara dan Vera. Hingga masalah demi masalah...
Returned Flawed
5      5     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
I Can't Fall In Love Vol.1
33      12     0     
Romance
Merupakan seri pertama Cerita Ian dan Volume pertama dari I Can't Fall In Love. Menceritakan tentang seorang laki-laki sempurna yang pindah ke kota metropolitan, yang dimana kota tersebut sahabat masa kecilnya bernama Sahar tinggal. Dan alasan dirinya tinggal karena perintah orang tuanya, katanya agar dirinya bisa hidup mandiri. Hingga akhirnya, saat dirinya mulai pindah ke sekolah yang sama deng...
Sekotor itukah Aku
168      37     0     
Romance
Dia adalah Zahra Affianisha. Mereka biasa memanggilnya Zahra. Seorang gadis dengan wajah cantik dan fisik yang sempurna ini baru saja menginjakkan kakinya di dunia SMA. Dengan fisik sempurna dan terlahir dari keluarga berada tak jarang membuat orang orang disekeliling nya merasa kagum dan iri di saat yang bersamaan. Apalagi ia terlahir dalam keluarga penganut islam yang kaffah membuat orang semak...
Stay With Me
4      4     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
Jingga
71      21     0     
Romance
Kehilangan memang sangat menyakitkan... Terkadang kita tak mampu mengekspresikan kesedihan kita membuat hati kita memendam sakit... Tak berakhir bila kita tidak mau mengakui dan melepas kesedihan... Bayang-bayang masa lalu akan selalu menghantui kita... Ya... seperti hantu... Jingga selalu dibayangi oleh abangnya yang sudah meninggal karena kecelakaan... Karena luka yang mendalam membuatnya selal...