Read More >>"> Two World (Mimpi yang Menakutkan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Two World
MENU
About Us  

Aneh. Di rumah ini tidak ada jam, tidak ada telepon, juga tidak ada televisi.

Sebenarnya dia tinggal dimana? Pulau tak berpenghuni kah? Hidupnya monoton sekali kalau semua serba tidak ada. Barang elektronik yang dia punya hanyalah kompor, kulkas dan microwave. Tidak seru. Lantas bagaimana caranya dia menghabiskan waktu di rumah? Hanya dengan makan dan tidur? Luar biasa membosankan.

Usai membersihkan barang-barang yang berantakan di dapur, aku mandi di lantai atas untuk membersihkan diri, dan setelah itu kebingungan harus memakai pakaian apa. Pakaianku sebelumnya memang belum kotor, hanya saja aku tidak nyaman jika harus mengenakan pakaian yang serupa setelah seharian penuh beraktivitas dengan pakaian itu. Wanginya juga masih wangi parfum, tapi mau bagaimana lagi kalau sudah tidak selera memakainya. Belum lagi urusan pakaian dalam. Jorok sekali kalau tidak diganti. Namun apa boleh buat. Keadaannya sangat mendesak. Tidak mungkin jika aku tidak pakai apa-apa. Itu akan lebih memalukan.

Jadi rumah ini ternyata hanya terdiri dari dua lantai. Lantai pertama digunakan untuk ruang tamu dan ruang makan, kemudian lantai dua hanya untuk kamar tidur dan kamar mandi. Memang tidak salah kalau dia cuma tinggal sendiri. Tidak ada ruang lain walau untuk menampung satu orang saja.

Aku duduk di atas tempat tidurnya. Tidak terlalu besar, namun sangat empuk juga hangat. Seharusnya tadi malam aku tidur di sini, bukannya justru tidur di atas meja makan yang keras dan dingin. Padahal dia sudah sangat baik hati menawarkan, tapi aku malah melewatkan kesempatan. Kalau ternyata aku belum bisa pulang hari ini, belum tentu aku bisa menemukan tempat singgah sebaik ini. Seharusnya semalam aku memikirkan segala kemungkinan yang terjadi sampai sejauh itu.

Kelihatannya dia adalah tipe laki-laki yang cinta kebersihan. Segala sesuatunya hampir tampak bersih dan rapi. Tempat tidurku saja tidak ditata serapi ini. Sampai ibu bosan memarahiku karena tidak mau membereskan tempat tidur sehabis digunakan, tapi tetap saja aku bandel. Bahkan coba lihat di atas meja sampai tidak ada debu. Pantas saja dia begitu tega menyiramku dengan segelas air karena melihat dapurnya kotor. Kurasa tadi pagi, kelakuanku yang merupakan orang asing ini memang sudah kelewatan.

Bagaimana ini? Aku bosan. Tidak tahu sudah berapa jam terlewati sebab di sini sama sekali tidak ada semacam penanda waktu. Detik demi detik kuhabiskan hanya dengan bolak-balik ke lantai bawah untuk mengambil minuman dingin dan kembali lagi ke lantai atas untuk duduk termenung di atas tempat tidur.Membiarkan otak berulang kali memikirkan hal yang itu-itu saja. Dimana aku, siapa yang membawaku kesini, bagaimana kabar ibu, apa ibu sampai sakit gara-gara mencariku, apakah aku bisa pulang, dan juga kapan lelaki itu pulang.

Aku sudah mati langkah di dalam rumah. Tidak ada ide bagaimana lagi harus menghabiskan waktu. Tidak ada pula hal seru yang bisa kumainkan. Apa dia benar-benar pergi untuk mencari bantuan? Apa dia sungguh akan kembali? Jangan-jangan dia sengaja pergi untuk menghindariku. Sengaja meninggalkanku sendirian dalam waktu lama, sehingga aku yang tidak betah akan memutuskan untuk pergi dari sini. Lalu setelah aku pergi barulah dia kembali.

Sial. Kenapa isi kepalaku lebih banyak dipenuhi oleh imajinasi yang berlebihan?

Kalau begitu untuk sekedar iseng-iseng, bolehkah aku melihat-lihat sesuatu selain yang bisa kulihat? Seperti isi dari laci meja, mungkin. Ternyata tidak ada isinya. Berlanjut ke laci meja kedua, tapi cuma ada secarik kertas. Karena aku masih penasaran, jadi tanpa basa-basi kuambil saja kertas itu dan nyatanya bukan cuma kertas kosong, melainkan kertas dengan sebuah catatan yang bertuliskan “I’m so sorry”. Sempat bingung di awalnya, tapi kalau dipikir-pikir lebih jauh, apa yang ada di pikiranku mungkin masuk akal. Jangan-jangan sebenarnya dia sedang menyendiri di sini karena tengah galau akibat baru saja dicampakkan oleh pacarnya. Siapa lagi yang menuliskan kalimat semacam itu, terlebih lagi dia menyimpannya dengan baik di dalam laci meja, kalau bukan merupakan seseorang yang penting baginya. Apalagi model tulisannya seperti milik perempuan.

Oleh karena aku merasa tidak perlu sejauh itu untuk tahu, maka kukembalikan kertas itu pada tempatnya dengan posisi yang serupa. Jaga-jaga kalau saja dia membuka laci dan menemukan kertasnya dalam posisi yang berbeda. Bahaya. Bisa-bisa aku tidak akan bisa pulang selama-lamanya.

Rasa ingin tahuku berganti pada sebuah lemari kayu besar di samping tempat tidur. Terdapat dua pintu dan aku membuka yang kanan. Langsung tampak di dalamnya adalah sekumpulan pakaian dalam berbagai jenis yang tergantung dan terlipat amat rapi juga wangi. Baik itu kaus santai berlengan panjang maupun pendek, kemeja, jaket, serta sweter, semuanya ada. Modelnya juga lucu-lucu. Bahkan aku sempat tertarik dengan sweter berwarna krem yang ditengahnya bertuliskan ‘HERE IS MY OWN HAPPINESS’ yang terbuat dari sablon warna hitam.

Aku tidak tahu apakah ini termasuk ide baik atau buruk. Baiknya adalah bagaimana kalau aku meminjam sweter ini untuk kupakai sebentar saja guna mengganti bajuku yang sudah mulai menimbulkan gatal-gatal pada kulit. Sementara buruknya adalah mungkin saja dia akan marah padaku karena aku sudah berani membuka lemari pakaiannya tanpa izin. Tapi kalau dia berpikir jernih, seharusnya dia bisa menoleransi perbuatanku. Aku jamin kalau dia ada di posisiku saat ini, sudah pasti dia juga tidak akan betah memakai pakaian yang sama selama dua hari penuh.Alhasil, tidak peduli apa yang akan terjadi nantinya, aku segera mengganti bajuku dengan sweter miliknya. Memang masih agak kebesaran, namun aku nyaman.

Mungkin ada baiknya aku tidur. Ketika tidur tentu waktu tidak akan terasa. Tiba-tiba sudah dua atau tiga jam terlewat. Aktivitas terampuh selagi menunggunya pulang dibanding dengan hanya duduk termenung tanpa melakukan apapun. Jadi langsung kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Menyelimuti tubuh dengan selimt hangat dan mulai memejamkan mata. Aku tidak tahu aroma menyenangkan apa yang tengah kucium, tapi bantal dan selimutnya begitu harum. Begitu menenangkan hati serta pikiran dan aku juga tak tahu kapan aku mulai terlelap.

***

Belum juga puas tidur, sekarang aku sudah bangun lagi.

Tapi aneh. Sewaktu bangun tiba-tiba sudah dalam posisi berdiri. Mengecek sekeliling pun tidak kutemukan tempat tidur, lemari pakaian, juga kamar mandi di lantai atas. Adanya justru lorong panjang yang gelap dimana ujungnya tak terlihat. Lantai yang kuinjak juga bukan lantai kayu. Berganti deretan ubin putih yang tertata rapi. Sementara di kanan dan kiriku adalah tembok putih dengan beberapa kursi panjang menempel pada tembok. Di tiap tembok terdapat pula pintu-pintu yang terletak berjauhan satu sama lain.

Astaga. Dimana lagi ini?

Aku mencoba berjalan dengan mengandalkan keberanianku yang seadanya. Berjalan pelan di tengah lorong panjang dimana hanya terdengar derap langkahku sendiri. Semakin lama aku berjalan, aku merasa semakin familier dengan tempat ini. Seperti sebuah tempat yang pernah kudatangi sebelumnya, namun aku masih sulit mengingatnya. Seolah ingatan itu sudah terendap terlalu lama. Hingga akhirnya langkah kakiku berhenti tepat di sebuah pintu dengan papan nama bertuliskan dr. Rosaline, Sp.BS.

Tidak perlu waktu lama untuk mencerna siapa perempuan yang memiliki nama itu. Bahkan aku sudah lebih dulu menangis tanpa sempat berteriak untuk memanggil ibu.

Aku ingat tempat apa ini. Ini adalah rumah sakit tempat ibu bekerja. Apabila ada sisa waktu kosong, saat pulang sekolah dulu hingga sekarang saat pulang kuliah, aku terkadang mampir kesini dengan niatan hanya untukmelihat sosok ibu yang tengah sibuk menangani pasien yang begitu banyak. Meskipun kehadiranku lebih banyak diabaikan, tapi hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa melihatnya. Seperti halnya kemarin. Aku datang dan menemukan ibu tengah duduk di kursinya. Tapi tidak untuk kali ini.

Sewaktu aku membuka pintu, tidak kutemukan siapapun di dalam ruangan. Begitu sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Ruangannya pun dingin juga sedikit lebih menyeramkan ketika dalam keadaan gelap. Sesekali aku memanggil ibu, namun tidak ada jawaban. Aku berpikir positif bahwa mungkin saja ibu sedang pergi ke ruangan pasiennya. Baik pagi, siang, sore, maupun malam, ibu memang selalu terjaga demi pasiennya. Kalau begitu, seperti biasa, lebih baik aku menunggu di sofa.

Aku pun berbalik dan sontak aku menjerit kencang.

Saat menemukan tubuhku sendiri sedang tertidur lelap di atas sofa membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Tubuhku pun mendadak kaku. Suaraku bahkan tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun selain jeritan yang kuteriakan tadi. Saking kakunya, tubuhku menjadi tidak seimbang hingga membuatku hampir terjatuh. Beruntung meja di sampingku bisa dijadikan penopang. Napasku. Kini dadaku juga berubah sesak. Tidak bisa bernapas seleluasa sebelumnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku tidur di sana? Lantas aku yang ini apa? Yang mana diriku yang sebenarnya?

“Hei kamu kenapa? Hei.”

Suara itu. Suara dia. Aku mendengar suaranya. Tapi dia tidak ada di sini.

“Ayo bangun. Kamu kenapa?”

Apa-apaan ini? Apa yang sedang terjadi? Sungguh aku tidak mengerti. Siapa aku yang tertidur di sofa itu? Siapa aku yang tengah gemetar ini? Dan dia. Tolong berhentilah bertanya aku kenapa, karena aku sendiri juga tidak tahu. Tolong berhentilah memintaku bangun, karena aku tidak sedang tertidur!

Aku berteriak sekuat tenaga hingga suaraku menggema di seantero ruangan. Sadar kalau suaraku telah kembali sekaligus menemukan sosoknya di depanku, tanpa berpikir panjang aku langsung memeluknya kuat-kuat sambil menangis. Masa bodo dia akan menganggapku apa. Semakin mengataiku perempuan yang tidak benar, aku tidak peduli. Saat ini aku begitu takut. Takut akan semua yang kualami sebelumnya. Mana yang mimpi, mana yang nyata, aku benar-benar tidak tahu.

Isi kepalaku kacau. Imajinasiku semakin rumit dan mengada-ada. Padahal aku sudah mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang terjadi padaku barusan adalah mimpi. Buktinya sekarang aku sudah bangun, sudah sadar. Tapi biasanya mimpi tidak terasa senyata itu. Bagaimana kulitku merasakan dingin udara di dalam ruangan kerja ibu, bagaimana jantungku berdegup kencang, bagaimana aku merasakan sakit pada dadaku akibat melihat diriku sendiri sedang tidur di atas sebuah sofa. Semuanya terasa begitu nyata. Dan rasanya sama seperti sekarang ini. Seperti saat ini namun dengan lokasi yang berbeda.

Kepalaku tiba-tiba pusing ketika terpaksa harus mengulang kejadian tadi.

“Diminum dulu.” ujarnya sambil meletakkan secangkir teh hangat.

Dia ikut duduk di depanku. Di atas karpet di dekat tungku perapian yang sengaja dia nyalakan agar aku bisa merasa lebih hangat. Katanya, saat tidur tadi tubuhku menggigil seperti kedinginan, oleh karena itu dia berusaha membangunkanku karena takut terjadi apa-apa. Lalu setelah aku sudah mulai tenang, dia menyarankan agar aku duduk di dekat tungku saja sambil menunggunya menyiapkan minuman.

“Jadi kenapa? Kenapa kamu ketakutan begitu?” tanyanya sambil menyilangkan lengan di depan dada. Lagaknya seperti orang yang sudah siap menginterogasi.

Aku masih diam. Masih melamun memandangi uap teh yang beterbangan keluar dari cangkir. Mungkin dia berpikir aku ini tidak sopandikarenakan tidak langsung menjawab pertanyaannya. Hanya saja aku belum mau menceritakan apapun.

Dia mendesah.

“Pasti mimpi buruk kan? Makanya kalau mau pakai baju orang minta izin dulu.” jelasnya dimana kedua kakiku reflek menekuk ke atas untuk menyembunyikan sweternya. Padahal aslinya tidak memberi pengaruh apapun. Dia tetap tahu kalau ini adalah sweternya.

Belum juga ada niatan untukku membuka mulut. Teh hangat pun masih kuabaikan. Pasti dia akan tambah berpikir kalau aku tidak beterima kasih.

“Masih belum mau cerita?” tanyanya lagi dengan inti pertanyaan yang serupa. “Yaudah terserah–”

“Eh tunggu.” sergahku di saat dia ingin beranjak pergi. Menyebabkan dia kembali pada posisinya.

Kuamati pakaiannya sudah berubah dari yang dia pakai saat pergi. Masih berupa sweter, tapi dengan warna dan corak yang berbeda. Dia juga sudah tidak lagi menggunakan celana panjang, melainkan hanya celana pendek sedengkul. Pokoknya penampilannya yang kulihat sekarang sudah berbeda dari yang terakhir kulihat saat pagi hari tadi.

Pagi hari tadi. Selama itukah aku tidur? Sekarang langit di luar sana sudah menjelang gelap. Sungguh aku sama sekali tidak sadar sejak tadi duduk di sini. Berarti rentang waktu dia pergi hingga akhirnya kembali juga sangat lama. Membahasmengenai kepergiannya tadi pagi membuatku ingat sesuatu.

 “Mana orang yang kamu cari? Kamu ngga bawa dia kemari? Terus aku pulangnya gimana? Kamu kan janji mau cari orang yang bisa membantuku.” ujarku begitu lancar seakan kemampuan bicaraku sudah kembali normal.

Kedua alisnya terangkat. Memberi pertanda seakan ada yang salah dengan ucapanku. Mungkin dia bingung karena sekarang aku sudah bisa bicara. Sekalinya bicara begitu panjang bagaikan kereta yang melaju kencang.

“Namanya juga dicari, belum tentu bakal langsung ketemu.” jelasnya dan berat rasanya untukku membenarkan perkataannya. Tapi kalau tidak ketemu-ketemu, mau sampai kapan aku tinggal di sini?

“Kamu belum jawab pertanyaanku. Tadi kamu mimpi apa?”

“Mau aku mimpi apa itu bukan urusanmu.”

“Oh begitu? Terus kalau main peluk orang seenaknya itu urusan siapa?”

Leherku tercekat. Ingin langsung membantah, tapi nyatanya tak ada yang bisa kubantah. Aku justru malu dibuatnya. Berharap pipiku tidak berubah merah karena malu. Kalaupun benar begitu, semoga saja warna kobaran api pada tungku bisa menyamarkannya.

Saking salah tingkahnya, cangkir teh yang kuabaikan sejak tadi segera kuambil. Begitu semangat sampai tidak sengaja tanganku terkena cipratan air yang masih hangat. Dan sekarang aku sibuk meniup bagian tangan yang kepanasan.

“Iya aku minta maaf soal itu.” kataku menyesal.

Kelihatannya aku baru sadar kalau sebenarnya aku haus. Volume teh dalam cangkir langsung menipis dalam sekejap. Meski mulutku terasa panas, tapi terus saja airnya kuhirup. Lumayan membuat segar kerongkongan yang sebelumnya terasa serat.

“Kalau mau dimaafin, cepat jawab kamu barusan mimpi apa?” tanyanya itu-itu lagi.

“Memangnya penting banget sampai kamu harus tahu apa mimpiku?”

“Iya.”

Bibirku terkatup. Kesulitan untuk membalas. Dalam dua malam ini, sudah berapa kali dia berhasil membungkamku hanya dengan kata-katanya. Baru kali ini aku bertemu dengan orang asing, dimana orang asing itu dalam sekejap langsung mampu mengatur apa yang harus dan yang tidak harus kulakukan juga kukatakan. Anehnya aku pun menuruti, kecuali kalau memang benar-benar sudah kelewatan, barulah aku menolak. Tapi sejauh ini rasanya aku belum pernah menang darinya.

Aku menghela napas. Bukan berarti lega, melainkan aku lelah.

“Aku ngga bisa memberitahumu karena aku ngga mau sedikitpun membayangkannya lagi, soalnya aku takut.”

“Takut kenapa?”

Arah mataku yang sebelumnya tertuju padanya, berganti jadi menatap karpet. Kalau sudah gugup bercampur takut, pasti yang kulakukan adalah memainkan kuku jari. Seakan-akan hal itu bisa mengurangi perasaan buruk yang muncul dalam diriku.

“Aku mimpi ada di ruang kerja ibuku. Kupikir aku udah pulang dan apa yang kualami sekarang cuma mimpi. Tapi ternyata ruangan ibu kosong dan sewaktu aku berbalik, bukan ibu yang kulihat, tapi justru tubuhku sendiri yang sedang tidur di atas sofa.” jelasku sejelas-jelasnya dan mau tak mau aku kembali membayangkannya. Membuat bahuku bergidik saking merindingnya.

Usai menceritakan dalam versi singkat, kudapati dia masih melihatku. Sayang aku tidak punya kemampuan untuk membaca apa yang sedang dipikirkan oleh seseorang. Seandainya bisa, aku hanya ingin tahu apa yang ada di dalam pikirannya sekarang, sebab dia benar-benar menatap lurus ke arahku. Sama sekali tidak goyah ke kiri ataupun ke kanan. Bisa saja dia berpikir kalau aku sungguh perempuan aneh atau mungkin perempuan gila. Tentunya tidak ada kemungkinan kalau dia melihatku karena terpikat.

Ketika aku berdeham, barulah dia berpaling.

“Sebenarnya aku butuh respon, bukan malah diam begini. Kamu kan yang minta aku buat cerita. Giliran udah cerita, malah ngga ada tanggapan. Susah payah loh aku ceritanya.” kataku mengadu.

Bukannya merespon atas ceritaku, tanpa diduga dia justru berupaya menarik sweternya ke atas. Hampir saja aku menjerit, hingga akhirnya jeritanku tertahan dikarenakan masih adanya kaus oblong yang tertinggal di tubuhnya di saat sweternya sudah terlepas. Aku sungguh salah tingkah sekaligus kehabisan kata-kata melihatnya melakukan hal semacam itu di depanku. Tanpa ragu. Tanpa bertanya lebih dulu. Seolah-olah aku ini tidak ada. Jujur saja pikiranku sempat mendadak kotor ketika membayangkan lelaki ini tidak berpakaian setelah menanggalkan sweternya. Dan nyatanya kaus oblong telah menyelamatkan pikiran, hati, juga jantungku.

“Kamu ngapain?” tanyaku agak tersendat. Tidak sadar kalau aku sudah duduk lebih ke belakang. Menjaga jarak darinya.

“Panas.” jawabnya singkat, padat, dan jelas.

“Mau kumatikan tungkunya?” tanyaku lagi. Masih agak takut.

“Ngga usah.” ujarnya cukup mengagetkanku yang masih belum bisa pindah dari situasi sebelumnya. “Bukan tungku yang buatku panas. Tapi kamu.”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Half Moon
13      6     0     
Mystery
Pada saat mata kita terpejam Pada saat cahaya mulai padam Apakah kita masih bisa melihat? Apakah kita masih bisa mengungkapkan misteri-misteri yang terus menghantui? Hantu itu terus mengusikku. Bahkan saat aku tidak mendengar apapun. Aku kambuh dan darah mengucur dari telingaku. Tapi hantu itu tidak mau berhenti menggangguku. Dalam buku paranormal dan film-film horor mereka akan mengatakan ...
ALUSI
67      5     0     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
You Are The Reason
16      9     0     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
Pesona Hujan
13      7     0     
Romance
Tes, tes, tes . Rintik hujan kala senja, menuntun langkah menuju takdir yang sesungguhnya. Rintik hujan yang menjadi saksi, aku, kamu, cinta, dan luka, saling bersinggungan dibawah naungan langit kelabu. Kamu dan aku, Pluviophile dalam belenggu pesona hujan, membawa takdir dalam kisah cinta yang tak pernah terduga.
Azzash
3      3     0     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
You Can
14      4     0     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
Sakura di Bulan Juni (Complete)
67      24     0     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
Jika Aku Bertahan
47      21     0     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Switched A Live
22      11     0     
Fantasy
Kehidupanku ini tidak di inginkan oleh dunia. Lalu kenapa aku harus lahir dan hidup di dunia ini? apa alasannya hingga aku yang hidup ini menjalani kehidupan yang tidak ada satu orang pun membenarkan jika aku hidup. Malam itu, dimana aku mendapatkan kekerasan fisik dari ayah kandungku dan juga mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan dari ibu tiriku. Belum lagi seluruh makhluk di dunia ini m...
Petualang yang bukan petualang
18      2     0     
Fantasy
Bercerita tentang seorang pemuda malas bernama Ryuunosuke kotaro yang hanya mau melakukan kegiatan sesuka kehendak nya sendiri, tetapi semua itu berubah ketika ada kejadian yang mencekam didesa nya dan mengharuskan dia menjadi seorang petualang walupun dia tak pernah bermimpi atau bercita cita menjadi seorang petualang. Dia tidaklah sendirian, dia memiliki sebuah party yang berisi petualang pemul...