Read More >>"> Two World (Antara Mimpi dan Kenyataan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Two World
MENU
About Us  

Bahuku merosot.

Seketika lemas. Imajinasiku berterbangan kemana-mana. Bahkan air liurku begitu sulit untuk ditelan. Antara takut, bingung, dan luar biasa deg-degannnya, semua bercampur aduk jadi satu. Kalimat terakhirnya barusan sungguh mengandung ambigu yang membuatku kesulitan berpikir positif. 

Kedua tanganku sampai mencengkeram kuat-kuat sweter yang kupakai. Sambil berdoa dalam hati semoga saja dia tidak tiba-tiba lompat dan menerkamku. Ucapannya tadi pagi ternyata ada benarnya. Aku memang terlalu berani untuk tinggal satu rumah dengannya. Lantas kalau sudah begini, siapa yang dicap tidak benar? Aku atau dia? Lagipula kenapa jadi begini? Bukannya tadi kami sedang membahas masalah mimpi yang sedang kualami?

“Mesum ya?” tanyanya mengambil alih pikiranku.

“Apa?”

“Pasti lagi mikir yang aneh-aneh kan? Emang dasar perempuan ngga benar.” jelasnya menyeringai seraya melipat sweter yang tadi dia lepaskan. 

“Kok ngeselin sih.” gerutuku sampai kurasa hampir seluruh sisi kulit wajah ini sudah mengerut saking kesalnya.

“Ngeselin kenapa? Ngeselin kalau ternyata masih ada kaus?” balasnya tertawa.

Mendengar itu dengan segera aku beranjak dari duduk dimana tidak sengaja kakiku menyenggol cangkir, sehingga air tehnya tumpah membasahi sekitar karpet. Tidak peduli dengan apa yang kuperbuat, tidak peduli juga dengan dia yang memanggil sambil marah juga mengancam, aku terus saja pergi sembari menyumpah di dalam hati. Kubuka dan kuhentakkan pintu sekeras-kerasnya, kemudian berjalan mengarah ke luar rumah. Semakin cepat pula aku melangkah ketika menyadari dia tengah menyusulku. Sembari terus memanggilku masih dengan seruan ‘hei’, tapi aku sama sekali tidak mempedulikannya. 

Aku tahu kalau dia mulai berlari. Tahu begitu aku juga ikut berlari. Berlari tanpa tujuan. Dengan beraninya seorang diri masuk ke dalam kawasan pepohonan besar nan tinggi yang cuma bermodalkan cahaya bulan. Hingga dirasa dia sudah ketinggalaan jauh di belakang dan tidak bisa menemukanku, aku memilih berhenti tepat di balik sebuah batang pohon besar. Aku pun berjongkok di sana. Berdiam diri mendengarkan sesuatu yang nyaris tidak ada suara yang bisa kudengar. Tempat ini sungguh sunyi, tapi entah kenapa tidak membuatku takut. Justru membuatku merasa tenang. 

Aku tidak habis pikir dia bisa berkata seperti itu. Perihal perempuan tidak benar yang ada di pikirannya benar-benar membuatku sakit hati. Dia baru mengenalku kurang lebih dua malam, namun sudah beraninya menilaiku demikian. Lagipula dalam rentang waktu selama itu, kami juga tidak pernah mengobrol lebih dari lima belas menit. Lantas kenapa dia begitu tega menilai begitu tentangku? Sambil menyeringai pula. Menangis pun rasanya tidak cukup mengobati atau bahkan menghilangkan sakit hatiku.

“Maaf.” ujarnya yang mendadak muncul di sampingku. “Aku cuma bercanda, jadi aku minta maaf.”

Perlahan aku mengusap air mataku dan berdiri menghadapnya. 

“Tunggu aja di sini sampai rasa panasmu hilang.” kataku dan lanjut melangkah.

Belum juga mencapai dua langkah, pergerakanku sudah lebih dulu dicegat. Jika dipikir-pikir sebenarnya justru dia lah yang lebih dulu bertindak lebih jauh. Memberi perhatian, menatapku lekat-lekat, membuka pakaian di depanku, dan sekarang memegang tanganku. Seharusnya aku yang menganggapnya lelaki yang tidak benar, bukan sebaliknya, sebab aku sama sekali belum pernah melakukan satupun hal dari sekian banyak hal yang telah dia lakukan. 

“Kalau gitu temani aku di sini sampai lukamu sembuh.” jelasnya meninggalkan tanda tanya di kepalaku. “Kamu mau terus jalan tanpa alas kaki?” 

Mulutku menganga lebar saat kulihat sudah ada cairan merah di sekitaran telapak kaki kananku. Sampai ada kulit tipis yang mengelupas. Entah sejak kapan kakiku terluka akibat main pergi ke luar rumah seenaknya tanpa pakai alas kaki. Aku juga sama sekali tidak sadar, karena memang tidak terasa sakit. Dan sekarang aku terhuyung ke belakang, kembali bersandar pada batang pohon. Panik melihat keadaan kaki yang tampak menyeramkan. Barulah sekarang perihnya terasa. Membuatku tidak bisa berdiri maupun berjalan.

“Ayo kuobati.” ajaknya yang tanpa basa-basi langsung melingkarkan lengan kananku di lehernya.

Oleh karena aku tidak bisa berbuat apa-apa, jadi mau tak mau aku menerima bantuannya dan ikut berjalan bersamanya. Beruntung jarak kami sekarang belum terlampau jauh dari rumah. Setidaknya aku masih bisa menahan perihnya walau sesekali tidak sengaja mencengkeram kulit lehernya akibat rasa sakit yang keterlaluan. 

Beberapa menit kemudian, aku sudah kembali berada di dalam rumah. Tindakanku yang ceroboh justru membuatku malu di depannya. Niatnya ingin pergi supaya tidak melihat juga mendengar kata-kata menyakitkan darinya lagi, malah sekarang aku kembali berakhir ada di sini. Duduk di depannya seperti beberapa saat lalu. Hanya saja untuk sekarang kami tidak hanya duduk sambil membicarakan hal yang tidak penting, melainkan dia tengah mengobati luka di kakiku. Lumayan terampil. Dia tahu kapan harus berhati-hati, sehingga tidak menyebabkanku berteriak atau justru menendangnya karena sakit.

Selama dia membantu mengatasi masalahku yang satu ini, dia cuma diam saja. Lucu juga melihatnya merasa bersalah. Tahu begitu aku bersikap seperti tadi saja sejak kemarin agar dia tidak semena-mena. Tapi berdiam diri seperti ini malah membuat suasana di antara kami jadi canggung.

Sepertinya dia sudah selesai. Kakiku sudah diperban dan dia sudah merapikan serta memasukkan segala sesuatunya ke dalam kotak obat.

“Kenapa kamu bawa aku kesini lagi? Bukannya aku perempuan yang ngga benar? Ngga takut kalau aku macam-macam ke kamu?”

“Udah cukup. Aku cuma bercanda jadi jangan dianggap serius.” jelasnya menyudahi kesibukannya dengan kotak obat.

“Gampang ya bicara begitu. Setelah kata-katamu buatku sakit hati, lalu kamu tarik lagi seenaknya. Emangnya ada perempuan yang mau dibilang begitu?”

“Ya makanya aku minta maaf.”

Kami berdua terlihat seperti sedang mengikuti ajang lomba permintaan maaf. Aku sudah pernah minta maaf padanya, sekarang giliran dia yang minta maaf padaku. Sebenarnya aku sudah tidak ingin membahas ini atau bahkan sampai berniat dengan sungguh-sungguh untuk memperpanjang masalahnya. Ketika tahu dia ikut keluar rumah untuk menyusulku, mencari di dalam hutan untuk menemukanku, meminta maaf dan membawaku kembali kesini, seharusnya sudah cukup bagiku untuk tidak marah lagi. Malahan aku senang, karena di samping kata-katanya yang menyebalkan, terbukti dia benar perhatian dan peduli. Hanya saja saat ini aku ingin sedikit memberinya pelajaran, karena ternyata menyenangkan melihatnya kalah.

Dia yang sampai sekarang masih belum kuketahui namanya ini, bangkit dari posisinya sambil membawa kotak obat. Menaruhnya kembali di salah satu rak lemari yang ada di dapur. Lalu berputar mengarah pada lemari satunya dan mengeluarkan sekantung, entah itu makanan atau minuman, aku tidak bisa menebaknya.

“Istirahatlah. Aku beri tumpangan semalam lagi. Mungkin orang yang bisa membantumu udah bisa kutemukan besok.” 

“Memangnya ngga apa-apa? Orang yang menginap apa ngga perlu lapor? Kamu paham kan maksudku? Takutnya nanti orang-orang di sini berpikir yang aneh-aneh.”

“Ngga ada yang perlu dilapor. Lagipula yang tinggal di sini cuma aku.”

“Serius? Kamu ngga punya keluarga? Lalu orang yang kamu cari itu tinggal dimana?”

“Serius dan itu semua bukan urusanmu. Kuberi tahu ya, jangan memikirkan urusan orang lain, pikirkan saja tentang dirimu. Lebih baik kamu tidur.” jelasnya sambil menuang beberapa sendok berisikan bubuk yang diambil dari kantung tadi ke dalam cangkir.

Tampaknya dia hobi sekali menyuruh orang tidur. Jujur saja aku memang ingin tidur, tapi aku takut. Dan aku sudah lelah memikirkan masalahku sendiri, makanya aku coba menyingkirkannya sejenak dengan membahas hal lain. Namun dia justru bertingkah seolah hidupnya adalah rahasia negara.

Aku berupaya berdiri sendiri dan berjalan tertatih-tatih menuju meja makan, tempat dimana dia berada. Obat merahnya memang cukup ampuh meredakan rasa sakit. Hanya menyisakan rasa ngilu ketika sesekali menyentuh lantai, namun aku masih bisa menahannya. 

Dalam jarak yang tak jauh dari meja makan, hidungku sudah menangkap aroma manis yang membuat perutku tiba-tiba keroncongan. Baru ingat kalau ternyata aku belum makan sejak tadi siang. Pantas saja sekumpulan organ di dalam perutku langsung bekerja saat melihat dia yang tengah mengaduk-aduk minuman dengan aroma yang menggiurkan. 

Setelah susah payah berjalan mendekati meja makan, aku masih berusaha lagi agar dapat duduk di atas kursi kayu tinggi yang biasanya sering ditemukan di kafe-kafe. Dia melihatku, tapi hanya sekedar melirik, tidak mau basa-basi membantu. 

“Ini makanlah dulu.” ujarnya sembari menyodorkan cangkir di tangannya.

Aku bingung. Tadi aku disuruh tidur, sekarang disuruh makan, jadi sebenarnya dia mau aku melakukan apa? Ketika melihatnya berlanjut menyiapkan satu cangkir lagi di atas meja, sepertinya dari awal dia memang berniat membuat minuman ini untukku. Sebisa mungkin aku mengambil cangkirnya sambil menahan diri agar tidak tersenyum sendiri.

“Makan malamnya minuman sereal?” tanyaku berupaya bertingkah seperti terpaksa menerima apa yang dia sajikan. Padahal mendapati kenyataan bahwa dia menyiapkan ini saja, aku sudah berterima kasih.

“Stok bahan makanan lagi habis. Tapi itu aja udah bisa buatmu kenyang. Segera habiskan dan tidurlah di atas.” jelasnya sambil meminum minuman sereal miliknya. 

Aku pun ikut mencoba dan rasanya memang enak. Lebih enak dari susu cokelat yang kemarin dia buatkan untukku. Jadi penasaran minuman sereal apa yang dia beli. Siapa tahu nanti aku bisa mencarinya. Sembari menikmati makan malam seadanya, tiba-tiba saja terlintas di kepalaku bahwa sebenarnya dia hampir selalu memperlakukanku dengan baik. Menjadikanku seperti orang asing yang paling beruntung. Tapi kalau dia sudah mulai bicara, barulah aku angkat tangan. 

Minumanku masih tersisa setengah cangkir, namun sengaja kusingkirkan. Sampai dia melihat dengan kening mengerut.

“Kenapa ngga dihabiskan?” tanyanya masih mengunyah. Selain mengonsumsi minuman sereal, dia juga mengambil roti tawar. Menjadikannya tampak seperti sedang sarapan, bukannya makan malam.

“Soalnya aku ngga mau langsung tidur. Katamu tadi segera habiskan, setelah itu tidur. Aku takut kalau langsung tidur.”

“Jangan takut. Aku pastikan kamu tidur sendiri.”

“Mulai lagi?” tanyaku tak sabaran dimana dia kembali berkutat pada cangkir, sendok, juga setengah roti tawar. “Aku takut kalau aku tidur, nanti mimpi itu datang lagi.”

Wajahku menunduk memandangi meja. Lagi-lagi mengotak-atik kuku jari yang sebenarnya sudah bersih. Memang tidak menjamin kalau aku akan dapat mimpi yang sama untuk kedua kalinya. Belum tentu juga jika aku tidur, aku bisa bermimpi. Tapi mau bagaimana lagi kalau sudah terlanjur takut? Coba bayangkan jika kamu menemukan tubuhmu sendiri sedang berbaring tak berdaya di suatu tempat, seakan-akan kamu sudah mati dan kamu yang sedang melihat itu adalah jiwamu yang telah keluar.

“Kamu bilang kalau kamu melihat tubuhmu sendiri, kenapa ngga kamu dekati?” tanyanya dengan teramat santai sambil menyeruput sereal dari sendok. Tentu dia bisa bilang begitu karena dia tidak tahu bagaimana rasanya ketika dia berada di posisiku.

Kedua lengan kusilangkan di atas meja. Setengah badanku pun mendekat ke arahnya, dan menatapnya seraya menghela napas.

“Emangnya kamu ngga berpikir kalau itu menakutkan?” tanyaku heran. 

“Ngga. Justru aku bakal penasaran yang sedang tidur di sofa itu apa.”

“Sok tahu.” gerutuku dimana dia menyingkirkan cangkir dari padangannya dan duduk bersandar sambil menyilangkan kedua lengan pada dada. 

“Jadi cuma begitu mimpinya? Sampai kamu menggigil, menjerit ngga keruan, dan langsung memelukku saat bangun?” 

Lelaki ini selalu saja membahas bagian dimana aku memeluknya. Bikin malu saja. 

“Bukan cuma itu. Rasa takutku bertambah karena aku ngga bisa pergi dari tempat itu. Aku ngga bisa bangun. Ya seperti yang kubilang di awal tadi. Kupikir apa yang kualami saat ini denganmu cuma mimpi dan saat dimana aku ada di ruangan ibu adalah yang nyata. Tapi gimana perasaanmu kalau di tempat yang kamu anggap nyata, kamu justru melihat tubuhmu yang lain? Dan kamu kembali berharap kalau itu cuma mimpi dan saat inilah yang nyata.” jelasku.

“Tapi nyatanya kamu bisa bangun.”

“Karena aku dengar suaramu.”

“Kenapa suaraku bisa buatmu bangun?”

“Aku juga ngga tahu. Aneh kan? Di mimpi aku dengar suaramu, di nyata aku juga dengar suaramu. Jadi sebenarnya aku ngga tahu mana yang nyata dan mana yang ngga.”

Lumayan lega saat aku berhasil meluapkan apa yang pada dasarnya memang ada di pikiranku. Seolah beban yang menumpuk di kepala hilang perlahan demi perlahan. Aku harap dia mengerti, sebab aku tidak mau mengulanginya lagi. Namun serupa dengan yang sebelum-sebelumnya, dia kembali butuh banyak waktu untuk sekadar memberi respon. Kalau pembicaraan kami menyangkut hal berat seperti ini kelihatannya responnya memang lambat. Beda halnya jika sedang membicarakan hal yang tidak penting, cepatnya bukan main. Sampai-sampai aku lelah mencari balasan apa yang harus kuberikan agar dapat menutup mulutnya.

“Hal itulah yang juga membuatku takut, yaitu karena aku ngga bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi. Keduanya terasa sama.”

“Menurutmu apa yang membuat sama?” 

Aku berpikir. Aku merasa tahu jawabannya, tapi aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan dan mendeskripsikannya. Tadi saat aku berada di rumah sakit, kemudian masuk ke ruang kerja ibu, aku begitu senang. Rasa senangnya teramat membuatku semangat hingga akhirnya berangsur kecewa karena aku tidak menemukan siapapun di dalam. Saat itu aku merasa hatiku tertekan dan sakit. Terlebih lagi betapa terkejutnya aku saat melihat tubuhku sendiri tengah berbaring di sofa. Napasku langsung berhenti sesaat setelah satu tarikan napas, keringat dingin mengucur, takut dan panik. Semua yang kurasakan itu, serupa dengan rasa senang yang kuperoleh saat aku bisa masuk ke universitas yang kuinginkan, juga senang karena lelaki asing di depanku ini banyak memberi perhatiannya padaku. Kecewa ketika tahu bahwa ibu memberi kabar tidak akan pulang ke rumah demi pasiennya, juga kecewa karena sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana cara untuk pulang. Dan terkejut ketika tahu aku tiba-tiba berada di sini, juga terkejut ketika aku mendapat kabar bahwa ayah telah pergi. 

Lantas semua itu apa namanya? Apa kesamaannya?

“Emosi.” jawabku usai berpikir panjang. “Iya benar emosi. Semua yang kurasakan baik di sini, di tempat kuliah, di rumah, maupun di mimpi itu, semuanya sama.” 

Entah mengapa aku lebih bersemangat ketika akhirnya aku bisa memberikan gambaran terkait persamaan dari apa yang sedang terjadi padaku. Serasa aku sudah berada tak jauh dari kebenaran yang sebenarnya. Hanya saja usai berselang beberapa detik, barulah aku merasa bahwa ada yang janggal.

“Tapi bisakah begitu? Baik mimpi maupun kenyataan, apa bisa keduanya punya emosi yang sama?”

Bertanya pada siapa, aku tidak tahu. Aku memang bertanya sambil menatapnya, namun aku juga tidak yakin kalau aku sedang bertanya padanya, karena orang di depanku ini juga pasti tidak tahu apa jawabannya. Mengalami hal yang serupa denganku saja tidak pernah, apalagi bisa tahu jawabannya. 

Terkait mimpi dan kenyataan yang sama-sama memiliki emosi yang serupa, rasanya mustahil. Mimpi ya mimpi, dunia nyata ya dunia nyata. Keduanya sudah jelas-jelas berada dalam dimensi yang berbeda. Segala sesuatu yang muncul dalam mimpi tidaklah nyata, tidak mungkin emosi beserta panca inderaku ikut bekerja di dalam mimpi, karena aku yang asli tengah tertidur. Maka dari itu sudah jelas tidak akan sama. Aku yakin akan hal itu. Namun masalahnya sekarang adalah kenapa untuk kali ini terasa tidak ada perbedaannya? Kenapa semua situasinya terasa sama? Haruskah aku menebak dengan mengandalkan perasaan? Kalau begitu, jika aku diberi dua pilihan, antara mendapati diriku tengah berada di sebuah rumah di tengah hutan dan mendapati diriku tengah berada di ruang kerja ibu,manakah di antara dua situasi itu yang lebih tampak seperti mimpi?

Rasa merinding mendadak menggerayangi sekujur tubuhku.

“Aku mau tanya satu hal lagi.”

“Yakin? Jawaban dari pertanyaanmu sebelumnya belum kamu dapat.”

“Udah.”

“Udah?” tanyanya memastikan. Jujur saja aku belum sepenuhnya yakin dengan kesimpulan yang kuperoleh berdasarkan pemikiranku sendiri. Tapi kalau aku goyah lagi, aku akan kesulitan lagi memecahkannya. “Baguslah. Mau tanya apa lagi?”

Aku terlebih dulu menelan air liur yang sempat tertahan. Berusaha untuk lebih menenangkan diri lagi. Perlahan aku menurunkan tangan hingga ke bawah meja. Menangkupnya kuat-kuat dan bisa kurasakan kalau kedua telapak tanganku sangatlah dingin. Aku juga mengubah posisi duduk menjadi lebih tegap. Ketahuan sekali kalau aku begitu gugup.

“Sebenarnya jawaban yang kuperoleh membawaku ke pertanyaan ini. Mungkin menurutmu agak lucu, kamu bisa menertawakannya, tapi aku memang udah ngga bisa berpikir panjang lagi.”

“Jadi?” 

“Apa mungkin yang denganmu ini adalah mimpi?”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simplicity
99      18     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Intuisi Revolusi Bumi
9      6     0     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Tembak, Jangan?
2      2     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
175      35     0     
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.
Venus & Mars
98      25     0     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
Langit Jingga
0      0     0     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
When You're Here
27      11     0     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...
High School Second Story
33      8     0     
Romance
Pekrjaan konyol yang membuat gadis berparas cantik ini kembali mengingat masa lalunya yang kelam. Apakah dia mampu menyelesaikan tugasnya? Dan memperbaiki masa lalunya? *bayangkan gadis itu adalah dirimu
I Fallen for Jena Henzie
79      26     0     
Romance
Saat pitcher melempar bola, perempuan itu berhasil memukul bola hingga jauh keluar lapangan. Para penonton SMA Campbell langsung berdiri dengan semangat dan bersorak bangga padanya. Marvel melihat perempuan itu tersenyum lebar saat mengetahui bolanya melambung jauh, lalu ia berlari sekencang mungkin melewati base pertama hingga kembali ke home. Marvel melihat keramaian anak-anak tim base...
Kinanti
0      0     0     
Romance
Karena hidup tentang menghargai yang kamu miliki dan mendoakan yang terbaik untuk masa nanti.