Waktu kembali ke masa kini. Salah satu meja di kafe itu masih berisikan tiga orang laki-laki yang baru setahun lulus sarjana. Dika, Daffa, dan Tama sudah banyak melewati momen-momen kehidupan yang beragam. Semuanya tak bisa mereka pilih. Semuanya mereka terima sebagai bekal pelajaran untuk kehidupan selanjutnya. Dunia ini hanyalah tempat belajar untuk manusia, untuk mencari bekal di akhirat kelak.
Waktu ini, mereka diizinkan berkumpul lagi. Setelah sempat berjanji untuk bertemu di tanggal yang mereka tentukan. Apa pun yang terjadi, mereka harus berkumpul pada tanggal itu. Untuk saling berbagi, bercerita, bertanya kabar, dan berpetualang ke memori masa lalu masing-masing untuk menemukan nilai kehidupan.
Gerbang itu telah mereka lewati lagi. Gerbang masa lalu. Berbagai rentetan peristiwa kembali berkelebat dalam ingatan mereka. Dika terkesan dengan perjuangannya meraih mimpi, Daffa masih berdoa untuk teman terbaiknya—Aira, dan Tama bersyukur bisa melewati masalah bersama keluarganya.
Kini, Dika yang sudah tenang bisa mendapat pekerjaan impiannya ditanya Daffa. “Wah, Dik ... baru kemarin perasaan kita ngobrol di balkon sebelah lapangan sekolah, baru kemarin perasaan wajah kamu itu selalu kusut karena belum dapat izin mama. Lihat dong sekarang, udah kinclong aja! Gimana ... masalah teman hidup udah ketemu dan gampang direstui mama nggak tuh?”
Dika cuman tersenyum lalu memperlihatkan jari manis tangannya. Ada cincin berwarna perak melingkar di sana. “Datang ya, tiga bulan lagi.”
“Widiiiih, gaya nih si diam-diam menghanyutkan! Gila gila, seorang Daffa ditinggal nikah sama kalian berdua, nggak percaya. Sama siapa nih, Dik?”
“Sama ... Febi.”
Daffa langsung tertawa. “Kejadian di balkon itu bener-bener ajaib, ya! Awas lho hutang cerita!”
“Wah selamat, Dik! Bener ya nggak cerita-cerita sebelumnya ... awas lho ntar di nikahan bakal ‘balas dendam’.” Tama menanggapi.
“Paling juga si Tama balas dendamnya ngabisin makanan,” balasnya santai lalu tertawa. “Eh, gimana kabar Hana?”
Tama tersenyum sebentar sebelum menjawab. “Tadi sih kayaknya lagi marah besar, unjuk rasa gitu. Tapi barusan ngasih tau lagi kalau keadaan dia udah baik-baik aja, mungkin udah pulang dari sini kita bakal cerita.”
“Syukurlah kalau gitu.”
“Oh iya, pulang dari sini kayaknya kita nggak bakal kumpul di kafe ini lagi deh,” kata Tama tiba-tiba.
Raut wajah Dika dan Daffa jadi terlihat bingung. “Kenapa?”
“Nanti kita kumpul di kafe aku sama Hana aja. Dia baru ngasih tau kabar kalau proyek itu baru di-acc.”
Keduanya melongo sebentar, setengah tak percaya, mimpi mereka jadi kenyataan untuk kumpul di kafe “milik mereka”. Mata ketiganya mulai berbinar. Kata-kata tak bisa mengungkap penuh perasaan syukur dan selamat atas proyek Tama yang berhasil. Sesaat mereka berselebrasi kecil. Selama ini kerja keras Tama berbuah hasil juga. Mimpi awal mungkin berubah, tapi Tama yakin untuk terjun dalam dunia bisnis seperti papanya adalah jalan terbaik. Keluarganya semua mendukung. Terutama papanya, beliau menjadi orang yang paling banyak membantunya.
Daffa senang, kedua sahabatnya telah sukses melewati berbagai rintangan dan cerita yang membantu mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri. Daffa turut senang, keduanya sama-sama telah menemukan pekerjaan yang disukai dan teman hidup yang mereka cintai. Daffa juga senang, meski hidupnya begitu-begitu saja tapi bisa berjalan lancar.
“Oh iya, Daf. Gimana kerjaan sekarang?”
Daffa bercerita dia senang akhirnya bisa meraih mimpi seperti sahabat-sahabatnya. Tak lama setelah lulus, langsung ada tawaran proyek untuk melatihnya sebagai seorang arsitek profesional. Ia menikmati semua prosesnya. Daffa juga masih sekali-kali melakukan hobinya, yaitu foto-foto di tempat-tempat bersejarah, tetapi masih dirawat di masa modern, misalnya seperti museum-museum yang dipercantik atau jalanan dan bangunan bersejarah. Termasuk salah satunya daerah dekat yayasan Aira waktu itu tinggal.
“Gimana masalah itu?” tanya Dika hati-hati. Daffa tau pertanyaannya merujuk tentang Aira atau orang yang terasa spesial di hatinya. Pertanyaannya juga bisa berarti menanyakan siapa sekarang yang terasa spesial itu.
Daffa tersenyum hambar. “Ya ... begitulah, santai aja, dibawa jalan aja. Entar juga kalau waktunya udah tepat pasti cerita ke kalian.” Ia lalu mengambil gelas di hadapannya, minum sesuatu bisa menutupi rasa kurang nyamannya.
Ketika itu ... ada seorang perempuan baru masuk kafe. Baru memesan satu gelas cokelat panas. Mata Daffa tertarik pada kehadiran sosok itu. Rasanya seperti familiar. Tanpa basa-basi izin meninggalkan dua sahabatnya, dia langsung menghampiri meja perempuan itu.
“Maaf ... Aira?”
Perempuan itu memalingkan wajah dari daftar menu, lalu tengadah, melihat Daffa yang berdiri di sebelah mejanya. Pupilnya membesar, pertanda terkejut. Tahu tahu bibirnya mengeluarkan satu kata, pertanda pernyataan dan pertanyaan. “Daffa?”
“Kamu ... apa kabar?”
Pertanyaan itu jadi berlanjut dalam obrolan ringan. Aira menyuruhnya duduk, tapi Daffa mengajaknya bergabung ke meja yang masih berisikan Dika dan Tama. Mereka berempat masih sama-sama tak menyangka bertemu lagi di sini. Berbagai cerita mengalir keluar lagi. Aira menceritakan berbagai alasan yang sudah dipahami Daffa beberapa tahun lalu. Aira cuman mau menjaga jarak agar tak salah menyimpan rasa. Aira cuman mau berteman tanpa mengecewakan, tapi selama ini ia merasa bersalah dan kebingungan. Seharusnya ia memberi mereka kabar. Keinginan yang dinanti-nanti menyebabkan kehidupan memberi jalan cerita yang baru. Tahu-tahu mereka ditakdirkan bersama lagi.
“Aira, kamu masih sendiri?” Tiba-tiba Daffa bertanya di tengah mini reuni mereka di meja itu.
“Masih.” Aira menjawab setelah tahu maksud pertanyaan Daffa.
“Aku mau bertemu ayahmu,” kata Daffa tenang dan mantap.
Pupil Aira membesar sekian detik, degup jantungnya terasa berhenti sekian detik, tetapi kemudian ketenangan menjalarinya seluruh tubuh. Ia pun menjawab, “Boleh.”
For you, the right one
look me in the eyes then say ...
“I trust in you and you may trust in me,
let us ...
holding hand until we meet the place called forever,
let us ...
be true friend, longlife friend, be soulmate 'cause body ain't ever lasting,
keep The God is the reason why we're in love.”
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu