Again 04
“Arbian.”
Arbian Fahrez menoleh saat namanya dipanggil. Tampak seorang wanita cantik, rambut panjang berwarna colat, dan tinggi. Kakinya yang jenjang berjalan mendekati meja kerja Arbian. Sepatunya mengeluarkan bunyi teratur. Gadis itu tersenyum. Anggun sekali penampilannya, seperti biasanya.
Lelaki itu menoleh. Menatap Redita yang kini duduk di depannya.
“Mau makan siang bareng?” tawar Redita. Bicaranya pun elegan.
Arbian menatap Redita sebentar, berpikir-pikir. “Kamu ngapain ke sini?” tanyanya.
Mata bulat Redita mengerjap-ngerjap bingung. Ia melihat ke kanan dan ke kiri entah untuk maksud apa, lalu berkata, “Mengajak kamu makan siang, kan?” Ia balik bertanya.
Kedua mata Arbian menyipit. Ia menggumam, lalu berdecak. “Aku males keluar,” katanya kemudian.
“Kalau gitu kita pesan makan siang aja. Dan makan di sini bersama. Gimana?” tawar Redita ramah. Apapun itu, Redita sempurna dalam segala hal. Penampilannya, ucapannya, parasnya, sikapnya, gadis itu dididik dengan baik.
Arbian menghela napas pelan. Ia menatap laptopnya, mengetikkan sesuatu, lalu menyimpannya tanpa menjawab Redita.
“Oke,” ucap Redita ketika melihat sikap Arbian. Lalu ia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan mencari menu makan siang.
Tiba-tiba Arbian mengambil ponsel itu dari tangannya membuat ia terkejut. “Kenapa tiba-tiba?” tanyanya bingung.
“Aku ngga laper,” jawab Arbian ringkas. Ia meletakkan ponsel gadis itu di atas meja, kemudian pergi dari ruangan kerjanya.
Redita melongo melihat sikap Arbian tadi. Ia menggigit bibir bawahnya, geram. Tidak percaya, Redita diabaikan begitu saja oleh lelaki itu. Redita tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh lelaki sebelumnya.
Ia mengambil ponselnya di atas meja dengan kasar, lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, ia berdiri. Berjalan keluar ruangan kerja Arbian sambil mengubah mimik wajahnya seperti sebelum bertemu Arbian dan lelaki itu mengabaikannya.
***
“Melamun lagi!”
Arbian tersentak kaget, saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Billy berjalan ke depannya dan duduk di kursi. Ia menggelengkan kepala, lal meminum kopinya.
“Entahlah. Aku ngga tahu kenapa akhir-akhir ini sering melamun,” jelas Arbian pada sahabatnya sejak ia masih kuliah. Billy baru saja berkerja di kantor ini setelah satu tahun Arbian berkerja.
“Sudah coba nyari tahu?” tanya Billy. Lelaki itu membuka bungkus sumpit dan mulai menyantap mie goreng yang tadi ia pesan.
Arbian menggeleng lagi. “Aku ngga tahu harus cari kemana,” ucap Arbian putus asa.
Billy mengangkat kepala menatap Arbian yang saat ini menuduk menatap meja. Lelaki itu tampak frustasi. Wajahnya pun terlihat dari hari ke hari.
“Kenapa ngga coba tanya ke keluarganya?” ucap Billy memberikan usulan.
Arbian mengerjapkan mata. Keluarga? Kenapa tidak terpikirkan olehnya?
Ia menatap Billy senang. Secercah harapan muncul di matanya. Setidaknya Arbian mencoba. “Ide bagus, Bil,” ucapnya. Senyumnya melebar.
Billy mengedikkan bahu. Ia geleng-geleng kepala. Memikirkan betapa bodohnya sahabatnya itu demi mencari wanita itu. Billy tahu, bahkan semuanya. Kisah cinta Arbian dan Amelia yang indah, kemudian berubah tragis dengan kejadian buruk yang menimpa Amelia. Setiap hari Billy melihat Arbian seperti orang sekarat di apartemennya untuk beberapa hari setelah perpisahannya dengan gadis itu. Namun ketika Arbian mulai pulih dari keterpurukannya, ia tidak bisa menemui Amelia. Gadis itu menghilang sampai hari ini.
***
Malam itu juga, Arbian pergi ke rumah Amelia ditemani Billy. Ia menekan bel rumah bercat warna coklat muda itu berkali-kali. Tidak beberapa lama terdengar bunyi pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan membukakan pagar.
Wanita itu terkejut saat melihat Arbian datang ke rumahnya. “Arbian....” gumamnya. Matanya seolah tidak percaya, lelaki itu datang ke rumahnya setelah sekian lama.
“Iya. Ini Arbian, Bunda,” ucap Arbian sopan, lalu mencium tangan wanita itu.
Billy pun melakukan hal yang sama.
“Amelia ada, Bunda?” tanya Arbian tanpa basa-basi.
Sorot mata wanita itu bertambah kaget saat Arbian menyebut nama Amelia.
“Amelia? Amelia?” Wanita itu seperti kebingungan. Seolah sedang mengingat-ingat siapa gadis bernama Amelia.
“Mira?”
Panggilan itu membuat membuat ketiganya menoleh ke arah sumber suara. Seorang lelaki bertubuh tegap melihat mereka dan berjalan mendekati mereka.
Untuk beberapa detik yang menegangkan, mereka berempat saling bertatapan. Hanya bertatapan. Terlalu kaget dan bingung untuk bersuara. Tanpa sadar Arbian berbisik, “Om Andi...”
“Kenapa kamu ke sini?”
Arbian tersentak mendengar suara Andi. Ia berdeham sebentar, memulihkan kesadarannya kembali. “Aku mau ketemu Amelia, Om,” kata Arbian jujur.
“Amelia tidak ada!” ucap lelaki itu tegas. Tatapan matanya mengandung kemarahan yang berusaha ia tahan.
“Dia kemana?” tanya Arbian heran.
Billy menatap Arbian dan Om Andi bergantian, bingung. Ia lihat Tante Mira sedang kebingungan. Wanita itu seperti ingin menangis.
“Dia bukan bagian dari keluarga kami!” bentak Andi marah.
Arbian dan Billy sama-sama terkejut mendengar nada suara Andi yang tiba-tiba meninggi. Arbian memerhatikan Andi sejenak, bingung.
Mira tersadar. Ia menggenggam tangan Arbian tiba-tiba membuat lelaki itu menatapnya bertambah bingung. “Tolong cari Amelia! Cari Amelia. Dia pergi entah ngga tahu kemana. Cari dia, Arbian... Cari Amelia...” Ia menangis.
“Pergi kemana, Bunda?” tanya Arbian semakin tida mengerti.
Andi menarik tangan Mira dengan kasar. “Saya sudah mengusirnya! Dia bukan ana saya!” bentak lelaki itu.
Mira menggelengkan kepala, berontak. “Cari Amelia, Arbian... Cari Amelia... Bunda yakin dia masih hidup. Cari Ameli... Tolong !”
“Cukup! Berhenti menanggil namanya!” kata Andi pada istrinya.
Arbian menatap pasangan suami istri itu kebingungan. Untuk beberapa saat ia tidak dapat berdiri dengan baik sampai Billy harus menopang tubuhnya dengan tangan lelaki itu. Masih belum pulih sempurna ia berkata, “Amelia diusir?”
Kedua orang dewas di depannya menoleh.
“Iya!” jawab Andi tegas.
“Kenapa?” tanya Arbian frustasi.
Andi menggertakkan gigi-giginya di dalam mulutnya. Ia berjalan ke depan dan brhadapan dengan Arbian. “Dia bilang bukan kamu yang menghamili dia. Saya baru akan menuntut kamu waktu itu untuk menikahinya, tapi dia tetap bersikeras bahwa orang lain telah memperkosanya dan membuatnya hamil. Kami tidak ingin menanggung malu. Dia sudah saya usir dari rumah ini dan bersumpah tidak akan menganggap dia anak sampai kapanpun!”
Tiba-tiba mata Arbian berkaca-kaca, mendengar betapa kejamnya lelaki di depannya pada gadis itu. “Memang bukan saya yang melakukannya,” ucap Arbian.
“Bagus! Jadi kamu tidak perlu mencari gadis itu lagi!” kata Andi puas.
Billy yang sedari tadi hanya diam di samping Arbian menganga. Ini seperti mimpi atau drama di film-film televisi. Tidak dapat diterima logika.
Mira menangis. Isakan wanita itu mengisi kesunyian malam itu. Ia menyadari betapa bodohnya dirinya sebagai seorang Ibu membiarkan Ameli sendirian di luar sana. bahkan gadis itu tidak tahu apa-apa menjadi seorang wanita dewasa. Bisa saja Amelia akan mengakhiri hidupnya saat itu juga. Mira terlambat. Saat ia sadar akan kesalahannya, ia menangis sepanjang malam memikirkan anaAmelia gadisnya.
Arbian merasa lututnya gemetaran. Ia seperti kehilangan kekuatan untuk sekedar berdiri. Dunianya berputar-putar. Ini tidak mungkin... Pasti hanya mimpi... Arbian mendadak pusing.
“Silahkan pergi dari sini,” kata Andi kemudian.
Billy menatap lelaki dewasa itu sebentar, ia hanya menganggukkan kepala, lalu membawa Arbian pergi dari sana.
***
Billy tahu Arbian lelah. Ia juga tahu lelaki itu terluka parah. Setelah sekian lama hidup dalam rasa penarasan dan dihantui bayang-bayang, kini kenyataan pahit datang lewat kabar Amelia diusir dari rumah dan tidak pernah kembali. Kemana gadis itu? Apakah Amelia masih hidup?
Arbian tidak melakukan apapun sejak tadi selain menatap kosong meja di ruang tamu apartemen Billy. Ia tidak tahu ingin melakukan apa, otaknya tidak bisa berpikir. Sama seperti waktu itu. Saat Amelia memberi tahu kabar buruk itu, Arbian menjadi lelaki pengecut dnegan meninggalkan gadis itu sendirian.
Apa yang sudah terjadi pada Amelia? Di mana gadis itu sekarang? Apakah anaknya sudah lahir atau gadis itu menggugurkan kandungannya? Bagiaman hidupnya selama ini? Apakah ia makan dengan baik, apakah ia sehat?
Arbian tidak sanggup membayangkannya.
“Kamu harus istirahat, Yan,” ujar Billy. Ia mengusap bahu Arbian pelan. “Jangan terlalu keras berpikir. Aku yakin Amelia saat ini berada di suatu tempat. Dia gadis yang kuat,” tambahnya lagi, menghibur.
“Tapi di mana?” tanya Arbian lirih.
“Kita akan cari Amelia sama-sama.”
Arbian menoleh menatap Billy di sampingnya. Lelaki itu tersenyum. Saat ia lihat Billy mengangguk dengan matanya, seolah memberi Arbian kekuatan dan kembali percaya bahwa Amelia masih ada.
Kemudian ia menganggukkan kepala membenarkan ucapan Billy. Setelah itu Billy bangkit dan pergi menuju kamarnya.
Arbian merebahkan kepalanya di tangan sofa. Matanya menatap langit-langit ruang tamu apartemen Billy. Arbian berharap ia sedang bermimpi dan bangun seolah tidak terjadi apa-apa.