KUTU KASUR
Sepasukan kutu yang menjamur di kasur sudah menjalar ke seluruh tempat tidur. Pasukan kutu itu terus mengajak bertempur, seolah sedetikpun tak mengijinkan aku tidur. Tiap kali kucoba untuk berbaring dengan posisi membujur, kutu-kutu yang tak suka akur itu langsung saja menggempur. Merayap dan menggigiti sekujur badan, tanpa kenal rasa kasihan.
Kadang beberapa kutu menyusup di antara rinai rambutku. Mencercap tetesan darah dari kulit kepala hingga menimbulkan tuba di kepingan otak. Kutu kasur memaksaku untuk berpikir ngawur. Hatiku kerap merasa hancur ketika melihat kehidupan tetangga bertambah makmur. Darahku serasa berdebur, bila melihat anak gadis tetangga yang tumbuh subur.
Kutu kasur juga meracuniku dengan sikap takabur. Tanpa peduli dengan pandangan mata yang mulai lamur, hasrat hati masih ingin terhibur. Tanpa peduli pada fungsi pendengaran yang mulai kabur, nafsu masih kerap meninggi tanpa terukur. Tak ingat umur yang mulai uzur, selera spontan bangkit jika janda muda sebelah rumah menegur.
Kutu kasur membuatku lupa bahwa tempat akhir yang kutuju nanti hanyalah liang kubur. Hasrat hati tetap ingin mashur, tapi apa daya keperkasaan yang pernah kumiliki telah mongering terjemur. Bahkan untuk sekedar kumur-kumur, gerak ototku sudah tak lagi manjur. Dan jika ada orang yang coba menegur, aku tinggal bilang, terlanjur!
Karena kutu kasur, aku tak bisa lagi mendengkur. Otakku yang sudah dikuasai kutu kasur jadi lebih sulit kuatur. Bah! Sepertinya aku memang telah tercebur dalam sebuah kubangan lumpur yang diciptakan oleh kutu kasur.
Betapa tidak! Sekali waktu pernah aku ingin ke dapur untuk makan bubur dengan sayur. Namun kutu kasur justru menuntun langkahku menuju sumur. Untung aku belum sampai kejebur. Sehingga banyak orang mengira aku sedang ngelindur.
Sepertinya kutu kasur memang suka mempermalukan aku. Kutu kasur tak senang melihat keluargaku akur. Dalam segala hal kutu kasur selalu iku campur. Mulai dari urusan dapur, sumur, hingga tempat tidur.
Tak ayal, gara-gara kelakuan kutu kasur yang ngawur, kebahagiaanku mulai tergusur. Ibarat langit tanpa bintang bertabur, jalan hidupku jadi gelap tanpa nur. Cahaya hidup yang harusnya jadi penerang di masa tua, justru dijadikan remang-remang oleh kutur kasur yang biadab.
Keyakinanku jadi sering timbul tenggelam layaknya kutu kasur yang bermata suram.Kutu kasur sukses membuat hidupku suram. Sesuram warna sarung bantal, sprei, dan selimut yang makin hari makin kusam.
Pernah aku coba berontak pada kutu kasur tapi dengan kepandaiannya berdiplomasi, kutu kasur bisa juga memaksaku mundur. Lantas kutu kasur memaksaku untuk tidur, mendengkur dan terus mendengkur sambil menunggu bumiku hancur.
Kutu kasur terus menelusur di antara air seni yang mancur.
Syuur, syuuur, syuuurr!
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter PRAKATAKUTU