Read More >>"> CELOTEH KUTU KATA (KUTU BUKU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - CELOTEH KUTU KATA
MENU
About Us  

KUTU BUKU

 

 

 

            Oh! Nanar kupandangi tumpukan buku yang ada di dalam rak kecil berbahan rotan di sudut kamarku. Judulnya hampir mencapai 100 buku. Mulai dari buku sastra, filsafat, buku keagamaan, buku puisi, novel, kumpulan cerpen, hingga primbon berbahasa Jawa. Semuanya campur aduk jadi satu tanpa pernah aku tata.

            Aku lupa, entah sudah berapa lama aku tak sempat menyentuh koleksi bukuku itu. Tahu-tahu semua kumpulan bukuku itu terlihat sudah berdebu. Bahkan ada pula sarang laba-laba yang membentuk jaring-jaring kekalutan. Mungkin laba-laba itu ingin menggambarkan kekalutan hidup manusia lewat ungkapan jaringnya.

            Dulu, sempat orang-orang di sekitarku memberi julukan padaku sebagai kutu buku. Karena sepanjang waktuku sebagian besar kupakai untuk membaca. Saat itu, aku masih meyakini pepatah kuno yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Dari buku-buku yang telah kubaca, kudapati banyak kata-kata bermakna yang bisa kupakai sebagai dasar untuk merangkai kalimat guna menyusun sebuah cerita.

            Tapi sekarang, jendela dunia itu telah bergeser ke google. Tak ada lagi orang berminat untuk sekedar melirik buku. Apalagi untuk membacanya, wah langka! Orang lebih suka baca status dan berita di media social tanpa peduli yang dibacanya itu hoax atau fakta.

            Dari sini keprihatinan dan kesedihan mulai menggerogoti kalbuku. Aku miris menyaksikan tumpukan buku yang berdebu. Perlahan kudekati rak usang itu. Kutarik napas dalam-dalam, lalu…wush! Ku tiup keras-keras permukaan buku di tumpukan paling atas. Buur, debu beterbangan mengelilingi kamar sempitku yang terkesan kurang ventilasi. Bahkan sebagian masuk ke lubang hidungku sehingga seketika aku bersin-bersin.

            Dengan hati yang sangat gamang, ku ambil sebuah buku yang paling tipis. Buku bersampul coklat yang sudah pudar warnanya. Bahkan judulnya sudah tak terbaca lagi. Baru saja buku itu ku cabut dari himpitan buku-buku yang lain, terlihat sekumpulan kutu buku nongol dari balik lembarannya yang sebagian sudah geripis.

            Akh! Aku tercekat. Dengan kasar ku buka halaman demi halaman. Dan tiap kali gantyi halaman selalu saja ada kutu buku yang berhamburan. Melompat tak tentu arah dan sebagian besar bersembunyi ke buku lain yang masih dalam tumpukan.

            Bah! Aku mendesah. Marah! Aku menyesal kenapa dulu aku merasa begitu bangga disebut kutu buku, setelah tahu bahwa kutu buku yang sebenarnya ternyata adalah makhluk kecil yang menjijikkan. Pemakan kertas yang ganas dan perusak buku yang ambigu. Kutu buku itu bergerak lincah dalam lipatan buku saat jariku mulai membolak balik tiap halamannya.

            Bedebah! Aku mengumpat dan menyumpah serapah. Betapa tidak! Buku tipis itu adalah karya seorang Pujangga besar yang kesohor mahir bermain diksi dan majas apik dalam setiap kalimatnya. Hampir dalam setiap kalimat yang ia tulis senantiasa mengandung kata-kata yang bermakna agung dan mampu menggugah jiwa-jiwa pembacanya. Semua orang pasti akan tenggelam dan larut dalam untaian kalimatnya jika membaca kisah yang dituturkan. Segala kata yang digunakannya bermuara pada keagungan Tuhan.

            Tapi sekarang semua kata-kata bermakna yang terdapat dalam buku itu telah sirna dimakan kutu buku. Yang tersisa tinggallah kalimat-kalimat ambigu yang tak mampu menyentuh jiwa seniku. Duuh! Perasaanku jadi tak enak. Muncul kekawatiran yang mendalam terhadap nasip buku-buku yang lain. Jangan-jangan semua kata-kata bermakna dalam bukuku telah lenyap disantap kutu buku yang biadab.

            Dengan geram ku ambil buku satunya lagi, satunya lagi, dan lagi. Tiap kali habis kuperiksa dan kulihat banyak kata-kata bermakna yang musnah, spontan aku lempar buku itu ke lantai. Begitu mendarat, pasukan kutu yang ada di dalamnya pada berhamburan tak tentu arah sambil mengeluarkan tawa.

            Alhasil, seluruh bukuku yang semula ada di rak, kini sudah berserakan di lantai. Sekumpulan kutu merangsek keluar dari masing-masing buku, membentuk satu koli berbaris beringas dan menuju ke satu arah…diriku. Ya aku yang jatuh terduduk di sisi rak usang itu kini jadi sasaran empuk pasukan kutu buku.

            Dengan beringas pasukan kutu itu menerjang dan melompat ke arahku. Tak sempat lagi aku menghindar dari serbuan yang cepat itu. Ribuan kutu buku serta merta telah telah menutupi seluruh bagian kepalaku. Satu per satu para kutu itu menyusup paksa ke dalam pori-pori kepalaku.

            Dunia terasa gelap aku rasakan. Kepalaku serasa mau meledak. Entah berapa ribu kutu yang kini sudah bersarang di otakku. Mereka menggigit setiap saraf pembentuk kata sehingga aku tak mampu lagi berkata-kata. Jangankan untuk berteriak, sekedar untuk mendesah saja aku tak bisa.

            Kutu buku telah menguasai seluruh sel tubuhku. Dengan sisa-sisa kesadaran yang tak seberapa adanya, aku berlari tak tentu arah. Aku berlari pada para pedagang buku. Namun mereka juga mengalami nasip sepertiku. Setiap buku yang dijajakannya telah kehilangan makna dari kata-kata yang tertera di dalamnya. Yang tersisa tinggal cerita tentang kutu.

            Selanjutnya aku berlari ke perpustakaan. Tapi kondisinya juga tak jauh berbeda. Kutu buku telah memakan habis seluruh kata-kata bermakna. Yang ada tinggal kata-kata seronok berbau air comberan. Semua kata bermakna telah dilahap kutu buku.

            Lalu aku berlari ke kerumunan orang yang menamai dirinya Rakyat. Namun mereka juga sudah tercerabut dari nilai kerakyatannya. Para penguasa telah mengaburkan aspirasi mereka sebelum sampai ke istana negara. Sedang penguasa negara juga sudah kehilangan kata-kata bermakna untuk bisa meyakinkan rakyatnya. Yang tersisa tinggal caci maki dan kata kecewa.

            Otak dan mulut semua orang telah dikuasai kutu buku. Mereka tak mampu lagi berkata-kata. Kalimat-kalimat bijak peninggalan para pujangga telah sirna. Berganti dengan berita hoax yang lebih gampang dicerna.

            Sekarang aku harus berkata apalagi jikalau kutu buku telah memakan habis setiap kata yang bermakna. Mungkin lebih baik aku diam. Membiarkan kutu buku beranak pinak dan memunahkan setiap bahasa yang ada di dunia.

            Jika kata-kata sudah tak lagi bermakna, memang lebih baik diam saja. Para perangkai kata telah kehilangan ketajaman penanya. Para pesilat lidah telah pula tumpul ujung lidahnya. Tak ada lagi yang bisa dikatakan. Tiada lagi yang bisa dituliskan. Pasukan kutu telah mewarnai dunia dengan satu warna dominan. Hitam.

            Bagai ikan terlempar ke darat, aku megap-megap. Pasukan kutu mentertawakan aku bagai pelawak yang tak lagi lucu. Tanpa kata-kata bermakna, manusia hanyalah badut-badut serakah yang minum air comberan sampai muntah. Tanpa kata-kata yang berarti, peradaban di muka bumi tak ubahnya kehidupan di planet hampa nan sunyi.

            Manusia terlalu sibuk dengan aktifitasnya di media social, sehingga kutu buku merebut dan menguasai setiap kata bermakna yang krusial. Perlahan tapi pasti, pasukan kutu buku menguasai bumi.

            Aku dan manusia-manusia lain yang mencintai buku, belum usai bermimpi!  

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (11)
  • dede_pratiwi

    Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)

    Comment on chapter PRAKATAKUTU
Similar Tags
Under The Night Sky
4      4     0     
Short Story
Di bawah langit malam ini kita bertemu namun, di bawah langit malam ini juga kita berpisah.
The Ruling Class 1.0%
18      8     0     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
29.02
5      5     0     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Your Constellation Book
12      6     0     
Mystery
Aku punya sebuah imajinasi. Saat melihat bintang di langit malam yang tak berawan. Aku tarik garis dari satu bintang ke bintang yang lain dengan jariku sebagai pena. Kugambar sebuah peta perjalanan antar bintang yang dapat kubayangkan dengan jelas saat aku pejamkan mata. Cygnus, Andromeda, Orion, Vela. Sulit dibedakan, tapi mereka ada di sana. Di langit yang tak berujung pandang. Dengan sinarnya ...
SAMIRA
3      3     0     
Short Story
Pernikahan Samira tidak berjalan harmonis. Dia selalu disiksa dan disakiti oleh suaminya. Namun, dia berusaha sabar menjalaninya. Setiap hari, dia bertemu dengan Fahri. Saat dia sakit dan berada di klinik, Fahri yang selalu menemaninya. Bahkan, Fahri juga yang membawanya pergi dari suaminya. Samira dan Fahri menikah dua bulan kemudian dan tinggal bersama. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan...
Ketika Sang Bidadari Pergi
472      303     6     
Short Story
Fakta yang selama ini kuketahui dan kuyakini benar, pada kenyataannya bukan fakta yang sesungguhnya. Kehilangan orang yang sangat kucintai tanpa bisa berada di sisinya untuk yang terakhir kali. Dua hal itulah yang membuatku harus merelakan dan belajar mengikhlaskan...
Kisah Tak Berbingkai
18      7     0     
True Story
Berisi kumpulan cerpen yang telah terbit dalam berbagai judul buku antologi
Dimensi Kupu-kupu
113      33     0     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Intuisi
29      11     0     
Romance
Yang dirindukan itu ternyata dekat, dekat seperti nadi, namun rasanya timbul tenggelam. Seakan mati suri. Hendak merasa, namun tak kuasa untuk digapai. Terlalu jauh. Hendak memiliki, namun sekejap sirna. Bak ditelan ombak besar yang menelan pantai yang tenang. Bingung, resah, gelisah, rindu, bercampur menjadi satu. Adakah yang mampu mendeskripsikan rasaku ini?
Seloyang kecil kue coklat
341      270     5     
Short Story
karena wanita bewrpikir atas perasaan dan pria berpikir atas logika.