“Dia harus menemukan ruang rahasia nenek kalau mau diterima di sini.”
Siapa yang nggak mau ke sini lagi? Rumah sederhana di pinggiran kota, langit tanpa awan saat siang, dan langit bertabur bintang kala malam. Dika, Tama, dan Daffa mengunjungi rumah neneknya Tama untuk mengisi liburan kali ini. Saat itu awal-awal mereka sering main bareng, tiba-tiba Tama mengajak mereka mengunjungi rumah neneknya. Tama sering ke sini kalau liburan atau sekadar mengasingkan diri dari penatnya kehidupan kota. Kali itu Tama sudah percaya kalau mereka berdua mampu memasuki kehidupannya.
Setelah makan siang, neneknya bilang, kalau mereka mau main ke sini lagi, harus menemukan ruang rahasianya dulu. Seketika Dika bingung, ruang yang bagaimana?
“Ruang itu bisa menemukan diri sendiri,” ucap nenek Tama kalem sambil menuang teh. Sementara Dika dan Daffa saling berpandangan.
“Kamu pasti yang paling ingin ke sini lagi ya, Dik?” tanya Tama santai lalu mulai meminum teh hangatnya.
“Iyalah, Dika kan pengagum langit, mana bagus banget lagi langitnya di sini,” seloroh Daffa sebelum Dika menjawab, tapi jawabannya benar, jadi dia nyengir saja. “Apalagi calon sastrawan, alam yang mendukung pasti bikin lancar tulisan.”
“Namamu siapa, Nak?” tanya nenek mulai menatap Dika lembut.
“Mahardika.”
“‘Mahardika’ juga berarti ‘merdeka’, apa kamu termasuk orang yang suka menentang, Dik?” canda nenek sambil tersenyum tipis.
“Kadang sih, Nek. Kadang apa yang diinginkan nggak selalu didukung kenyataan.”
“Maksudnya, dia tuh ingin kuliah di Sastra tapi orang tuanya nyuruh Bisnis,” celetuk Daffa seketika melihat nenek agak bingung. Lama-lama Daffa bisa jadi juru bicaranya.
Ruang rahasia yang bisa menemukan diri sendiri.
Dika baru tersadar ada ruangan di depan mereka yang hanya berisikan cermin besar dan jendela lebar.
“Maaf Nek, apakah ruang rahasia yang dimaksud adalah ruang itu?” tanya Dika sopan sambil menunjuk sebuah ruangan. Seketika air muka nenek mencerah lalu tersenyum hangat.
Tebakan Dika benar.
“Nenek sudah menyangka kalau Dika anak yang pintar. Nanti malam nenek cerita banyak deh, termasuk penjelasan teka-teki yang nenek kasih tadi. Sekarang kalian lanjutin aja agenda mancing di sungai sebelah rumah,” balas nenek Tama sambil tersenyum. Perawakannya yang sudah tua tidak sama dengan jiwanya yang masih bisa berlaku seperti teman sebaya. Teman yang menyenangkan diajak berbagi. Apalagi neneknya pasti sudah punya banyak pengalaman dan cerita yang mengagumkan.
Mereka bertiga pun mengiyakan dan langsung semangat mengambil alat pancing dan langsung menuju sungai sebelah rumah. Nggak sebelah banget juga sih, paling beberapa langkah dari rumah, sungai kecil dengan air yang masih jernih mengalir menyusuri lembah, terus merendah sampai hilir.
Sesekali mereka serius ingin menangkap beberapa ikan untuk dibakar nanti, sesekali sambil bercanda, sampai melupakan sejenak kalau semester depan mereka akan dipenuhi banyak ujian sekolah.
***
Malam pun tiba, waktunya membakar ikan-ikan yang sudah didapat. Nenek menyiapkan peralatan makan dan nasi, Tama membantu neneknya sambil menggelar tikar di teras rumah, sedangkan Dika dan Daffa asik membakar ikan sambil sesekali bercanda.
“Diem napa, Daf!” sahut Dika yang ingin serius membolak-balikkan ikan di panggangan malah dijaili Daffa yang terus mengipas-ngipas wajahnya. Pelakunya malah bertingkah tanpa dosa sambil tertawa akibat jailannya sendiri.
“Ayo dong nenek udah lapar nih.” Alih-alih membentak, nenek Tama menegur mereka dengan memberi kode.
Tama yang sudah selesai membantu dan duduk bersebelahan sambil menemani nenek melihat mereka bercanda, hanya tersenyum lalu menghampiri mereka.
Ketika sudah dekat, Tama mencolek sedikit arang yang ada di sebelah panggangan lalu mencoleknya ke pipi Daffa lalu kabur sambil berlari ke tempat duduk sebelah nenek di atas tikar.
“Apa-apaan, Tam!” balas Daffa sambil mengejar ke teras yang akhirnya disuruh duduk saja sama neneknya Tama.
Dika hanya geleng-geleng sambil tertawa kecil lalu membawa ikan yang sudah jadi ke teras tempat berkumpul.
“Selamat makan!” ucap Daffa sambil merentangkan kedua tangannya seakan telah menghidangkan makanan ala chef andal.
“Berdoa dulu!” cegah nenek Tama.
Mereka pun berdoa lalu makan dengan tertib diselingi obrolan ringan. Tak butuh waktu lama, makan malam itu selesai. Mereka langsung membereskan peralatan dan berkumpul di ruang TV.
***
“Nah, tadi siang kenapa Dika bisa tahu kalau itu ruang rahasia nenek?” Nenek Tama membuka topik, mereka sudah bersih-bersih, menggelar karpet, dan membawa beberapa bantal. Rutinitas sejak Tama kecil, neneknya selalu bercerita, tentang apa saja, sampai mereka mengantuk.
Malam itu hanya bersuarakan TV bervolume kecil, beberapa suara hewan malam dari kejauhan, dan air sungai yang samar terdengar. Udara terasa dingin tapi mereka tidak sampai kedinginan. Suasana yang menyenangkan saat liburan.
“Nenek bilang kan ruang itu bisa menemukan diri kita sendiri, Dika tahu kalau maksudnya itu berkaitan dengan introspeksi. Dilihat dari cermin besar, membuat kita bisa melihat diri sendiri sebenarnya kita itu siapa dan mau apa. Terus ada kaca besar yang menghadap keluar, bisa lihat apa kehidupan yang kita hadapi dan orang-orang yang menginspirasi,” jelasnya panjang lebar, Dika memang gitu, sekalinya ngomong bakal detail, tapi sebenarnya dia malas ngomong kalau nggak penting-penting amat. Dika suka to the point, nggak suka basa-basi, biar efisien waktu katanya.
“Weh, gaya sih si Dika,” tanggap Daffa sambil bertepuk tangan heboh, biasa ... suka lebay.
“Aku yang cucunya nenek aja baru ngeh loh,” balas Tama yang merasa “bodoh”, padahal aslinya dia termasuk anak yang pintar juga, kabar prestasinya suka datang tiba-tiba, “diam-diam menghanyutkan” kalau kata orang-orang.
“Nenek salut loh sama jawaban Dika, karena memang itu alasannya,” balas nenek. Mereka bertiga agak terkejut mendengar kata “salut” terlontar dari nenek Tama yang berusia 70-an tahun. Tama merasa sudah melewatkan banyak momen bersama neneknya. Apa karena aku jarang liburan ke sini lagi ya, begitu pikirnya. Namun, Tama tak mau banyak pikir kalau lagi liburan. Ia mau amnesia sejenak kalau rutinitas sekolah datang sebentar lagi. Liburan kali itu sangat berkesan bagi mereka. Setelah ini, mereka siap kembali berseragam putih abu lagi.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu