Besok paginya di sekolah.
Anak-anak sudah ribut mengerubungi meja paling depan, pasalnya meja ketua murid itu baru saja dapat kiriman hangat dari ruang guru: hasil ulangan Kimia minggu lalu. Andi sang ketua murid pun was-was terhadap kertas-kertas yang dibawanya, takut ada yang tercecer.
Kalau bukan karena SNMPTN, mungkin mereka nggak akan desak-desakan buat kepo sama hasilnya. Karena nilai ulangan harian mereka berpengaruh sama nilai rapot dan tentunya SNMPTN nanti untuk masuk perguruan tinggi.
Satu orang melompat-lompat sambil bertumpu di kedua bahu teman lainnya, seorang lain nyempil di antara celah, satu orang lain sudah mendapatkan hasil ulangannya setelah membujuk sang ketua kelas biar dia saja yang mencari miliknya.
Lihat, ternyata itu si Daffa. Ia langsung keluar dari kerumunan anak-anak yang masih kepo, layaknya keluar dari kerumunan yang setia menunggu artis idola mereka keluar dari bandara. Setelah itu Daffa bersorak dan melakukan selebrasi seakan-akan jadi penyelamat tim sepak bola yang bisa melaju ke piala dunia.
Dika dan Tama yang melihatnya dari kejauhan sudah beranggapan kalau Daffa pasti dapat nilai bagus. Matanya yang berbinar sambil memamerkan hasil kerja kerasnya yang terbukti dalam nilai ujiannya sempurna kadang bisa bikin ilfeel orang yang lihat.
Berbeda jauh dengan keadaan chaos di depan kelas, Dika dan Tama lebih nggak peduli sama hasilnya. Mereka hanya tenang melihat tontonan kehebohan pagi hari dari belakang kelas. Sesekali tersenyum ketika melihat tingkat Daffa yang kadang lebay.
“Dika! Tama! Nggak seru ah, sini ambil hasil ulangan kemarin!” ajak Daffa sambil melambaikan secarik kertas ulangannya.
Tama hanya membalasnya dengan senyum, lalu menepuk bahu belakang Dika dan hendak berdiri. Rupanya ia mulai semangat buat ikutan sama teman-teman lainnya. Sementara Dika mengikuti Tama dengan acuh tak acuh.
Setelah kerumunan mulai bubar, akhirnya Tama dan Dika bisa melihat hasil ulangan mereka.
“Dik, tumben nilai kamu di batas KKM,” celetuk Febi saat ikut melihat nilai Dika yang bertuliskan 70.
Dika di sebelahnya hanya tersenyum dengan berbagai makna.
Ia jadi tertarik pada memorinya sendiri selama setahun belakangan ini. Dika jadi sadar kalau setahun ini banyak berubah, ia jadi sering merasa “hidup enggan, mati tak mau”. Hanya mengikuti alur dan kebanyakan berpikir tentang apa tujuannya hidup selama ini. Apa hal yang bisa membuatnya semangat kembali. Apa sesuatu yang bisa membuatnya merasakan hidup.
Dika lelah dengan hidupnya, semua orang berubah, begitu pun dirinya. Apa yang dulu menurutnya menarik, sekarang nggak lagi. Dunia terus berputar dan berubah warna, sementara dirinya merasa tersesat dan nggak tahu harus pilih jalan yang mana. Kadang dia merasa sendiri, bingung buat cerita sama siapa, karena takut nggak ada orang yang mengertinya dan malah menambah beban saja. Namun, selama itu ia simpan sendiri dan berusaha tak peduli. Perlahan tapi pasti, sesuatu itu mengubah dirinya. Banyak perubahan yang tak disadarinya akibat kegelisahannya.
Salah satunya sekarang, nilainya nyaris gagal. Dika seakan berada di batas jurang. Hidup atau mati?
***
Kejadian tadi siang sudah terhisap ruang dan waktu, tak terasa kini harinya sebentar lagi berakhir. Giliran bulan yang menggantung menghias malam. Akhirnya juga Dika menyelesaikan PR-nya, ditutupnya buku tulis mata pelajaran Bahasa Indonesia, tangannya beralih meraih buku coret-coretnya yang disimpan di bawah meja. Pulpennya kembali bekerja, kali ini ia menari-nari, menorehkan lagi akan pemikiran dan perasaannya.
Bintang Hati
Jumat tengah malam.
Mengapa kita tidak bisa melihat langit bertaburan bintang sesering kita melihat awan? Mereka bintang-bintang sebenarnya selalu ada di langit, tetapi mengapa kita hanya bisa melihat beberapa saja dari berjuta-juta?
Bintang-bintang sering terhalang awan atau lapisan bumi lain yang tebal. Mungkin sama seperti hati kita?
Maksudku, coba kaitkan itu dengan hati kita. Siapa tahu ada penghalang dalam hati kita yang membuat kita tidak bisa melihat diri kita sendiri?
Hati setiap manusia itu banyak menyimpan rahasia. Mungkin hanya segelintir orang yang bisa menemui hatinya sendiri, karena kita semua juga tahu bahwa hati sulit untuk diselami.
Coba kita kembali kepada masalah bintang-bintang tadi. Mereka sangatlah indah, bukan? Berjuta bintang saat langit cerah memang sangat menakjubkan. Bagaimana kalau kita anggap jati diri kita sendiri itu seperti bintang dan hati kita sebagai langitnya. Jati diri kita itu amat banyak, menawan, bersinar, dan mematikan.
Jika kita bisa melihat bintang-bintang kita itu, tentu akan membuat kita lebih menawan karena kita bertindak sesuai diri kita sendiri. Bersinar, karena kita tahu jalan mana yang harus kita lalui untuk memancarkan diri. Terakhir adalah mematikan. Mengapa bisa mematikan? Seseorang pernah berkata jika kita tahu siapa diri kita sebenarnya, kita bisa mengalahkan semua lawan dan memenangkan semua pertandingan, dan menjadi seseorang yang mematikan.
Setelah mengetahui semua itu, pasti kita sendiri ikut bertanya-tanya, “Apa jati diriku? Siapa aku sebenarnya? Mana bintang-bintang dalam hatiku? Mengapa mereka belum terlihat?”
Coba kita lihat apakah ada awan yang menghalangi langit hatimu? Apakah jutaan bintang itu belum terlihat bersinar?
Coba lihat dalam bentuk apa awan itu mewujud? Sifat burukmu-kah? Iri, sombong, curang, malas, atau lainnya?
Tanyakan pada dirimu sendiri dan beritahu aku setelahnya jika akhirnya dirimu tahu, “Bintang manakah yang paling bersinar di hatimu?”
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu