Read More >>"> Youth (8. Celah Cahaya) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Youth
MENU
About Us  

“Ma, seragam hari Kamis Dika di mana, ya?” tanyanya sambil menyembulkan kepala dari balik pintu kamar.

“Di lemari kamu sebelah kiri, kemarin mama masukkin baju-baju yang udah disetrika,” jawab mamanya yang tak melepas pandangan dari koran pagi dan tehnya. Biasanya papanya yang sering melakukan rutinitas pagi seperti ini, cuman sejak ditugaskan keluar kota dan pulang sebulan sekali, mamanya jadi kangen dan ikut-ikutan melakukan kebiasaan papa, ngobatin kangen, katanya.

“Duh mana yaaa dari tadi nggak ketemu,” balas Dika sambil menggeser beberapa gantungan baju dalam lemari, berharap seragam hari Kamisnya seketika menampakkan diri.

“Nih.” Mamanya tiba-tiba muncul di belakang sambil mengambil gantungan baju seragam hari Kamisnya.

“Kenapa kalau mama yang nyari bisa ketemu sih.” Dika memasang wajah datar tapi geregetan.

“Mama gitu lho, percaya sama mama yang udah berpengalaman,” ucap mamanya bangga.

“Heemm, anyway thank you, Ma.”

You’re welcome. Eh iya, kemarin malam jadwalnya kita berempat video call-an loh, tapi kan kamunya telat pulang. Nanti hubungi papa sama Kak Dita ya, Dik. Family first.”

Aye aye, Captain.” Dika menghormat layaknya kepada atasan.

“Ya udah deh cepetan siap-siap, entar telat lagi kayak kemarin.”

Dika cuman nyengir dan langsung siap-siap dan cus berangkat. Waktu bel masuk sekolah masih 45 menit lagi, semoga aja hari Kamis manis hadir setelah Rabu-nya kelabu.

***

Ada yang bilang hari kita itu ditentukan dari pagi hari. Kalau paginya lancar dan mood-nya bagus, kemungkinan besar seharian itu bakal mulus juga. Dika bersyukur pagi ini semuanya berjalan sempurna. Mulai dari bangun tidur yang nggak tergesa-gesa, ibadah, olahraga ringan/pemanasan, makan, mandi, semuanya bisa dilakukan dengan menyenangkan.

Setelah sampai gerbang, dirinya nggak disambut lagi dengan barisan mengular orang-orang yang kesiangan, melainkan dengan sapaan ceria dari Daffa.

“Pagi, Dik!” sapa Dika dengan wajahnya yang cerah, seperti biasanya. Tangan kanannya merangkul bahu Dika yang sepantar dengan bahunya.

“Pagi, Daf. Eh, kacamata baru nih!”

“Seneng deh ada yang perhatiin.”

“Apaan dah, jangan anggap Dika sebagai seorang Aira.”

“Jangan bahas Aira ah.”

“Mending bahas Febi ajaaa,” imbuh Febi yang ikut-ikutan, tiba-tiba sudah berjalan beriringan di sebelah Dika, kelas mereka sebentar lagi mulai tampak, anak-anak lain yang baru datang juga mulai memenuhi halaman sekolah.

“Ih ih apaan sih, Feb,” ejek Daffa bercanda.

“Tau tuh siapa ya, nggak kenal,” tambah Dika.

“Ih yaudah, rugi ngelewatin cewek cantik kayak gini. Bye!” Febi pura-pura ngambek dan mempercepat langkahnya, meninggalkan mereka berdua. Daffa dan Dika cuman ketawa nggak jelas.

***

Benar saja, seharian itu urusan Dika berjalan lancar. Sebelum pulang, dia ingin menikmati sore yang cerah dengan mensyukuri hari ini. Terpaan angin lembut melewati dirinya. Di atas balkon ia bisa melihat beberapa orang yang sedang main futsal di lapangan.

“Nggak pulang, Dik?” Tiba-tiba Febi menghampirinya, ikutan berdiri di sebelah Dika sambil melihat pemandangan lapangan sekolah dari atas balkon lantai dua.

“Eh, Febi yang tadi ngambek udah nggak dendam lagi?” canda Dika. “Entaran sih, lagi pengin santai dulu.”

“Cieee, Dika sama Febi berdua aja nih. Bahaya ah. Temenin ah.” Daffa juga ikut-ikutan.

“Males ada Daffa,” balas Febi.

“Damai dong damai, capek kalau drama terus,” balas Daffa sambil mengacungkan tangannya dan membentuk huruf V atau tanda peace.

“Iyelah.”

“Berisik ah kalian. Lagi menikmati sore nih,” balas Dika yang masih terpaku mengamati pertandingan futsal di lapangan.

Mereka bertiga pun jadi serius memperhatikan pertandingannya. Angin lembut sore itu masih menemani mereka. Rambut Daffa dan Dika serta kerudung Febi turut bergerak mengikuti arahnya. Nggak terasa, gol terakhir yang dicetak salah satu pemain jadi penutup pertandingan sore itu.

“Nontonin futsal jadi ngingetin mau kuliah apa,” celetuk Febi membuyarkan keseriusan mereka.

“Apa nyambungnya, Feb?” balas Daffa.

“Yaaa kan main futsal ada tujuannya, salah satunya cetak gol, mau dibawa ke mana tim mereka. Jadi kepikiran tujuan hidup mau ke mana,” jelas Febi.

“Waduh, berat berat.”

“Menurut kalian, masuk sastra aneh nggak sih?” tanya Dika tiba-tiba.

“Kamu mau masuk sastra, Dik?” respons Febi.

“Seriusan, Dik?” tambah Daffa.

“Nggak ngejawab pertanyaan heh. Iya, serius. Kepikiran aja. Udah yakin dan merasa kepanggil juga ingin hidup di bidang ini. Tapi mama nggak dukung nih. Padahal restu Allah restu orang tua kan.”

“Kalau menurutku mah nggak anehlah. Sah sah aja mau masuk mana juga asal sesuai keyakinan sendiri,” balas Febi.

“Emang udah yakin banget, Dik?” tanya Daffa lagi.

“Ya gitu deh.”

“Mantap sih. Seriusin kalau gitu, cewek aja suka diseriusin, iya nggak Feb?” kata Daffa sambil melirik Febi.

“Daffa nggak nyambung mulu!” balas Febi sambil memukul bahu Daffa, padahal sebenarnya itu tindakan pengalihan salah tingkah karena Febi membenarkan hal itu.

“Gitu aja marah, lagi PMS ye?”

“Woy, lagi ada yang butuh saran nih.” Dika jadi merasa diabaikan.

“Ya gitu saran dari seorang Daffa Pramono. Tunjukkin ke mereka kalau kamu bisa. Buat sesuatu yang bisa buat yakin juga untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar. Mereka bakal dukung kamu selagi dalam hal-hal positif.”

“Kalau tetep nggak direstuin?” tanya Dika lagi.

“Nekat. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kayak striker yang cetak gol tadi tuh, bisa aja dia kepepet sama lawan, tapi tetep fokus dan nekat terus bawa bola, menang deh timnya,” saran Febi yang masih kebayang pertandingan tadi.

“Sejak kapan jadi suka merhatiin yang main futsal, Feb?” tanya Dika.

“Sejak Dika juga merhatiin yang main futsal,” jawab Daffa menggoda Febi.

“Apaan sih, Daffaaaaaa.” Kali ini Febi mencubit lengan atas Daffa.

“Ampun dah. Udah bubar-bubar. Btw, makasih banyak loh saran kalian. Berarti banget.”

I’m here for you, Bro,” balas Daffa.

“Sama-sama, Dik. Goodluck deh kalian. Pulang duluan ya, bye!” Punggung Febi perlahan meninggalkan mereka. Tak lama, Daffa dan Dika pun pulang, menutup hari itu bersama kemerahan senja seperti lukisan langit.

***

Malamnya seperti biasa, setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Dika mengambil buku coret-coretnya dan menuliskan semua yang dirasa dan di pikirannya.

 

Untuk Mama dan Papa

 

Mungkin Mama dan Papa bisa menyempatkan waktu sebentar, meninggalkan pekerjaan yang dirasa mengganggu kala membaca ini. Di sini saya benar-benar ingin berkata secara serius tapi santai.

Sejujurnya belakangan ini—tepatnya setelah masuk SMA. Saya merasa hidup semakin berkembang, umur semakin bertambah (sekarang umur saya sudah delapan belas tahun, sudah diakui negara, mendapat surat-surat resmi, dan dianggap orang dewasa). Meskipun saya merasa belum sepenuhnya dewasa, tetapi perlahan-lahan saya mencoba belajar berkembang, meski tidak secepat orang lain, meski tidak setinggi, atau semudah orang lain.

Saya berharap Mama dan Papa bisa menerima saya apa adanya, kelebihan dan kekurangan, tentunya mendukung saya melalui semangat, bukan menyalahkan saya, bukan membandingkan saya dengan orang lain, bukan mencap saya bahwa saya tidak bisa melakukan sesuatu. Sesungguhnya perbuatan itu menurunkan semangat saya, membuat saya tidak berdaya, tidak merasa bisa melakukan apa pun dan merasa gagal menjadi seseorang.

Setelah dibebankan pilihan untuk melanjutkan pendidikan, saya mulai berpikir, tentang apa yang harus saya lakukan di hidup ini, tentang bagaimana harus menjalani hidup. Saya merasa selalu ada yang mengganjal, selalu ada yang membuyarkan fokus, selalu ada yang mengisi kala saya menghabiskan waktu sendirian.

Memang saya terlihat diam dan kosong. Namun, sesungguhnya dalam pikiran dan perasaan, banyak hal-hal yang berlalu-lalang, banyak sekali benang-benang yang belum dirapikan, banyak luapan-luapan emosi yang tidak tercurahkan.

Saya ingin bebas dengan kemauan sendiri, dengan mengarah ke arah lebih baik, mengembangkan diri, dengan orang-orang terdekat saya yang masih bisa menggenggam tangan saya.

Saya ingin bercerita.

Tentang alasan saya mengapa begitu kukuh memilih sastra. Memang, mungkin Mama dan Papa tidak suka mengapa saya begitu menyukai sastra. Namun, bolehkah saya tahu alasan lengkapnya? Mengapa saya dilarang dan memangnya bagaimana kalau memilihnya? Saya ingin mendapat jawaban yang terbuka agar saya bisa menerima dengan baik apa yang Mama dan Papa maksud.

Sama seperti Mama yang merasa nyaman kala bekerja pada bidang kimia dan Papa yang tidak kenal waktu saat mengerjakan sesuatu yang bersangkutan dengan fisika. Sama seperti halnya Mama yang mencintai kimia, Papa yang mencintai fisika, dan begitu pun saya yang mencintai sastra.

Terutama setelah membaca beberapa buku dan tulisan yang saya temui di suatu blog. Bahwa passion itu sesuatu yang membuat diri kita merasa berdaya. Saya merasa berdaya ketika menyelesaikan suatu karya sastra.

Lalu, ada juga beberapa nasihat seperti berikut ini.

Pilih bidang yang membuat kita tertantang. Pilih bidang yang membuat penasaran sampai rela menguliknya siang-malam tanpa kenal waktu biar tidak dibayar sekalipun. Pilih bidang yang tanpa disuruh pun, kita mencuri-curi waktu untuk belajar sendiri, atau tanpa sadar sering mencari info-info di internet atau lewat google. Pilih jurusan yang memicu “sense of wonder” dalam diri kita. Pilih jurusan yang benar-benar jadi muara ilmu pengetahuan yang ingin kita tekuni sampai akhir hayat.

Setelah membaca itu yang saya pikirkan adalah sastra.

Bagaimana senangnya melakukan pekerjaan itu? Bagaimana penasarannya terhadap bidang itu? Bagaimana mata yang bersinar dan lengkung senyum yang terbentuk karena melakukan hal itu? Saya pun sama, seperti itu.

Saya mengerti bahwa orang tua ingin memilih pilihan yang terbaik bagi anaknya. Bisa membuat anaknya mandiri dan merasa aman dengan pilihannya. Namun, ada sisi lain di dalam batin yang berteriak ingin didengarkan. Bahwa saya lelah hidup seperti ini terus, seperti robot atau perahu kertas yang pasrah saja mengikuti arus yang mengalir.

Saya tahu mengambil pilihan sastra terlihat berisiko (meskipun semua hal yang kita lakukan selalu ada risikonya), tetapi di situlah rasanya hidup akan dimulai. Bagaimana kita berjuang meraih mimpi-mimpi kita. Bagaimana kita bersemangat saat membuka mata. Bagaimana antusiasnya karena ada sesuatu hal yang ingin kita lakukan. Bagaimana saya tidak takut bermimpi, meski baru berjalan satu senti, tapi saya yakin saya bisa, karena saya memiliki bekal yang sangat berarti, yaitu rasa percaya. Sebagaimana saya percaya terhadap alam semesta, beserta pemiliknya, Sang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Esa.

Percayalah, maka keajaiban akan datang. Percayalah, maka semua bisa dihadapi melebihi kemampuan. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Semua hal terjadi berjalan sesuai dengan diri kita, begitu pun rasa percaya.

Sesuai terinspirasi dari tulisan orang lain juga, bahwa saya yakin jika kita benar-benar menikmati proses belajar itu dan menjadi expert dalam bidang itu, percaya bahwa urusan rezeki itu enggak akan ke mana. Lagipula, rezeki pun memang sudah ada yang mengatur bukan. Saya percaya jika kita mau berusaha, melakukan hal yang baik, berprasangka baik terhadap Allah, maka Allah pun akan menjamin rezeki kita.

Lagipula, jika Mama dan Papa ingin tahu pekerjaan apa saja yang bisa saya lakukan dalam bidang ini adalah: pegawai di kantor Kedutaan Besar, pegawai di kantor penerbitan, pekerja di Balai Bahasa atau lembaga budaya, dosen, guru, ahli bahasa, editor, penulis, jurnalis, copywriter, content writer, media, entrepreneur, dan lain-lain.

Saya yakin jika saya benar-benar menekuninya, jalan terbaik akan terbuka. Tentunya dengan kehendak Allah dan doa Mama dan Papa. Untuk saat ini, setidaknya saya telah berusaha tekun dan berani mencoba dan memperjuangkan apa yang sebenarnya saya sukai.

Tentunya saya ingin bertanggung jawab, saya ingin bekerja dalam bidang itu, karena saya mau, dan saya merasa berada dalam bidang itu. Karena salah satu hikmah ketika mengenali sastra, saya bisa memahami bahwa tujuan ini adalah untuk beribadah dengan Tuhan. Saya tahu, sejak dahulu sudah banyak yang mengatakan seperti itu, tapi melalui kata-kata, pemahaman dan makna, saya lebih mengerti sesuatu hal di hidup ini melalui sastra.

Sastra adalah hiburan dan pengajaran, karena memang di dalam karya sastra bertujuan untuk menyegarkan pikiran dan memberikan pesan moral. Sastra membuatku senang setelah menyelesaikannya, sesuatu yang membuat saya merasa puas terhadap diri sendiri. Sastra membuat saya merasa hidup dan bebas. Sastra membuatku bisa berekspresi. Saya bisa jatuh cinta dengan sendirinya.

Sastra yang paling saya sukai adalah Sastra Indonesia. Mengapa kebanyakan orang-orang menyepelekan sastra dengan embel-embel “Indonesia”? Bukankah negara kita sendiri, jati diri kita sendiri? Mengapa malah merasa budaya orang lain lebih hebat dari diri kita? Padahal Sastra Indonesia tidak sederhana dan tidak semudah yang orang lain pikirkan.

Buktinya, kekayaan dan budaya sendiri semakin tenggelam. Saya merasa prihatin jika suatu saat nanti semua itu malah benar-benar hilang. Tidak ada yang mengerti benar bahasa daerah dan bahasa negara sendiri karena kehilangan identitas bangsa.

Alasan mengapa saya lebih memilih Sastra Indonesia: pilihan saya sendiri dari hati, lalu karena nyatanya sesuatu yang berasal dari dalam itu lebih besar dan lebih penting, saya pun ingin mempelajari budaya dan negeri sendiri sehingga saya bermimpi bisa mengenalkan diri saya sendiri yaitu bangsa Indonesia kepada wilayah luar.

Ada satu pendapat yang ingin saya sampaikan. Tidak semua orang memiliki potensi dan kemampuan yang sama. Bukan berarti orang yang lemah dan kuat dalam bidang tertentu itu payah. Menurut saya, semua itu merupakan keberagaman, anugerah dari Allah. Bahwa saya juga mengerti bahwa setiap orang berbeda. Sehingga, saya kurang setuju jika menganggap bahwa setiap orang adalah sama. Memang dalam beberapa hal kita dapat menemukan kesamaan, tetapi memang benar bukan—bahwa Allah sesungguhnya menciptakan manusia berbeda-beda, tidak ada yang sama persis satu sama lainnya.

Sastra banyak mengajarkan saya pelajaran kehidupan. Sastra menantang saya untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Sastra melarang saya untuk menghindar dari masalah. Sastra membuat saya menghargai perbedaan, bukan menjadikannya kelemahan, tetapi kekuatan dan keberagaman. Bahwa kita sama-sama makhluk Allah bisa bersatu karena-Nya.

Saya menyukai huruf-huruf, kata demi kata, frasa, klausa, kalimat, dan seterusnya. Setiap bentuknya kalau bisa ingin saya sentuh satu per satu. Saya pahami, maknai sampai akar-akarnya kalau bisa tahu.

Jika menurut orang-orang bahasa itu diam dan sebuah kata adalah bisu. Maka sesungguhnya mereka itu berbunyi. Hanya saja kebanyakan orang terlalu angkuh untuk mendengarnya.

Saya menyukai pemikiran dan perasaan seseorang. Saya menyukai seni dan bahasa yang terangkum dalam sastra.

Dengan sastra saya ingin menyampaikan arti dari sastra itu sendiri. Ajaran dan hiburan. Saya ingin menghibur orang-orang yang lelah, saling mengingatkan, memberikan pelajaran baik dalam menjalani hidup, memotivasi orang, karena kita semua sesama manusia, tolong-menolong, bermanfaat satu sama lain.

Melalui sastra, saya bukan pendiam lagi, melainkan penyair, sebab berteriak melalui gurindam, bukan bibir. Melalui sastra pikiran saya terbuka. Pengetahuan saya menembus cakrawala. Saya bisa mencicipi segala hal dan pengetahuan. Segala aspek. Segala bidang. Karena segala informasi yang terdapat di dalamnya membuat sastra sebagai kunci, akar, dan dasar dari semuanya. Bidang lain ada karena sastra juga ada.

Sastra mengubah hidup, cara pikir dan cara pandang saya dalam kehidupan. Saya baru menyadari bahwa ada lebih dari satu sudut pandang. Saya jadi bisa memandang dunia lebih luas. Memang dunia ini luas, hanya saja terkadang pemikiran kita belum terbuka dan tidak mau menerima terhadap apa yang masih kita ragukan, atau terlena dan terkungkung dengan sesuatu yang sudah dianggap nyaman.

Setelah mengenal sastra saya lebih mengenal dunia dan kehidupan. Karena di dalamnya ada dimensi masa depan, kini, dan lampau. Ruang dan waktu. Sudut pandang satu hingga tiga. Pun, sebab dan akibat.

Saya baru lebih bisa mendengarkan suara burung, patahan daun, dan suara lain yang biasanya diabaikan. Saya bisa menghirup udara, bisa bersyukur kantung paru-paru masih bisa terisi dengan oksigen segar.

Saya merasa telah memasuki bagian dari diri saya. Belum pernah saya seyakin ini, menemukan saya dan dunia saya, menemukan semangat dan cinta. Apakah saya dilarang untuk merasakan itu?

Memang ada saja seniman yang dipandang rendah, tapi orang yang memandang rendah itu tidak sadar bahwa karya yang dihasilkannya malah digila-gilainya, malah disukainya. Padahal seorang seniman/sastrawan itu memakai dua otak kanan dan kirinya sekaligus.

Padahal mereka tidak tahu bahwa seniman/sastrawan itu kerjaannya bukan main-main saja. Mereka tidak tahu, karena tidak mau mengerti. Padahal mereka membuat karya seni untuk orang-orang juga, menghibur mereka, memberi warna pada dunia dan untuk berpiknik dari realitas yang kejam.

Padahal karya sastra merupakan diri seniman/sastrawan sendiri. Ada jiwa di sana. Ada diri yang utuh. Ada dalam keabadian, karena karya sastra akan terus menginspirasi dan bermanfaat bahkan ketika pengarangnya sudah tidak ada di dunia ini.

Bukankah penulis juga hebat? Bukankah menulis juga susah? Mengirim sarat makna itu perlu tenaga?

Impian saya mempunyai banyak buku buatan sendiri. Masuk ke toko buku dan melihat jajaran buku saya sendiri terpajang rapi bersama ratusan buku hebat lainnya. Sesungguhnya bukan hanya mencipta buku, tetapi bisa mengubah pandangan orang terhadap sastra, menikmati dan menyukai serta hobi membaca. Pun, mengubah dunia lebih berwarna.

Saya ingin menulis karena saya memang ingin menulis. Untuk diri saya sendiri, untuk bermanfaat bagi orang lain, untuk menyuarakan apa yang ingin disuarakan. Saya menulis dengan senang hati, jujur, ikhlas, mengalir apa adanya, dan cinta.

Saya ingin dikenang, sebagai diri saya sendiri, saya ingin memberikan manfaat, memotivasi, mengajarkan orang lain tentang kebaikan. Saya ingin menulis satu kalimat—plus berkali lipat—yang dapat mengubah hidup saya dan seseorang lebih baik lagi. Seperti seniman/sastrawan lain yang melakukan itu terhadap saya.

Menjadi penulis juga dianggap tidak ada kerjaan, hanya diam. Padahal enggak tahu kalau di dalam pikirannya benang alur ke sana  kemari. Ide yang mengalir kadang tersumbat, kadang juga mengalir deras. Sibuk memperhatikan sekeliling. Mempertajam indra dan rasa.

Iya, hanya diam, kelihatannya. Padahal menjadi penulis juga enggak bakal selalu diam. Jika ide saya terhambat atau tulisan saya macet, saya dapat berjalan-jalan, refreshing, memperhatikan sekitar lagi, mendapat ide lalu mulai menulis lagi. Itu hal-hal yang saya sukai dan saya inginkan.

Saya bermimpi menjadi penulis. Bisa menamatkan cerita. Diterima penerbit. Dikelilingi tumpukan buku karya sendiri. Membuka pre-order plus menandatanganinya. Mempromosikannya. Dapat bertemu keluarga baru, yaitu orang-orang yang menyukai karya saya. Bisa memotivasi dan menginspirasi orang. Bisa bahagia untuk diri sendiri dan orang lain karena Allah.

Saya selalu merasa ada yang membisikkan kata-kata dengan tiupan lembut melalui hati dan telinga. Mendesak menyuruh tangan saya untuk menuliskannya. Ini benar-benar kejadian nyata. Saya merasa bahwa saya harus menulis setiap memperhatikan sekeliling. Sekeliling saya dan semua elemen yang hadir di dalamnya sering kali menjadi inspirasi saya. Inspirasi saya untuk terus menulis.

Saya suka menulis. Berikut enam alasan menulis itu menyenangkan menurut salah satu sumber: mengasah kreativitas, menuangkan semua isi hati, dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, berbagi ilmu kepada publik, menghasilkan, dan belajar.

Saya bermimpi menjadi penulis. Bisa melihat bertumpuk-tumpuk buku karya saya sendiri yang baru hangat keluar dari oven percetakan. Bisa menandatangani buku saya sendiri. Bisa menghirup aroma kertas baru. Bisa bertemu banyak orang dalam talk show, tapi tidak usah takut karena saya membicarakan karya saya sendiri, bisa menjelaskan diri saya sendiri. Bisa menjadi apa adanya. Saya merasa selalu ada suntikan magis jika mulai menulis, rasanya saya tidak bisa berhenti. Dan, begitulah saya merasa hidup.

Mungkin Mama dan Papa menganggap (dan saya merasa juga merasakannya) bahwa tulisan ini seperti seorang anak kecil yang baru mengetahui dunia, seakan-akan menganggap dunia luar mudah. Tidak, tidak seperti itu. Saya hanya ingin menyampaikan gagasan saya dan perasaan saya.

Selebihnya saya memohon bimbingan dan nasehat lebih lanjut daripada Mama dan Papa. Hanya saja, saya mohonkan juga bahwa saya ingin pendapat saya didengarkan dan perasaan saya dipedulikan. Saya mengharapkan jawaban, alasan, saran, dan restu tentang jalan mana yang harus saya ambil, pesan dan nasihat untuk kehidupan saya.

Saya akan menerimanya dengan baik, dengan melihat dan kembali kepada keputusan saya sendiri. Saya akan sangat menghormati. Asalkan penjelasan itu disampaikan dengan baik dan jelas, sehingga saya mengerti dan bisa memahami, bahkan menerima.

Saya harap Mama dan Papa tidak memiliki perasaan marah, tersinggung atau malah ingin membentak saya karena merasa apa yang saya utarakan di sini tidak sesuai kepercayaan/pemikiran Mama dan Papa. Terima kasih. Maafkan saya jika ada yang kurang berkenan.

Salam Hangat,

Mahardika Bachtiar Putra

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • erlinahandayanii26

    Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.

    Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu
  • dede_pratiwi

    sama seperti judulnya, kisahnya pun fresh dan youth sekali sekitaran masa-masa remaja yang penuh pergolakan dan percintaan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu
Similar Tags
Dendam
8      3     0     
Mystery
Rian Putra Dinata, seorang pelajar SMU Tunas Muda, memiliki sahabat bernama Sandara. Mereka berdua duduk di bangku yang sama, kelas XI.A. Sandara seorang gadis ceria dan riang, namun berubah menjadi tertutup sejak perceraian kedua orang tuanya. Meskipun Sandara banyak berubah, Rian tetap setia menemani sahabatnya sejak kecil. Mereka berjanji akan terus menjaga persahabatan hingga maut memisahk...
Piromaniak
33      6     0     
Romance
Dia merubah apiku dengan cahayanya
Antara Jarak Dan Waktu
96      5     0     
Romance
Meski antara jarak dan waktu yang telah memisahkan kita namun hati ini selalu menyatu.Kekuatan cinta mampu mengalahkan segalanya.Miyomi bersyukur selamat dari maut atas pembunuhan sang mantan yang gila.Meskipun Zea dan Miyomi 8 tahun menghilang terpisah namun kekuatan cinta sejati yang akan mempertemukan dan mempersatukan mereka kembali.Antara Jarak Dan Waktu biarkan bicara dalam bisu.
Petualang yang bukan petualang
16      2     0     
Fantasy
Bercerita tentang seorang pemuda malas bernama Ryuunosuke kotaro yang hanya mau melakukan kegiatan sesuka kehendak nya sendiri, tetapi semua itu berubah ketika ada kejadian yang mencekam didesa nya dan mengharuskan dia menjadi seorang petualang walupun dia tak pernah bermimpi atau bercita cita menjadi seorang petualang. Dia tidaklah sendirian, dia memiliki sebuah party yang berisi petualang pemul...
Mengapa Harus Mencinta ??
9      6     0     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
Rumah Laut Chronicles
13      6     0     
Horror
Sebuah rumah bisa menyimpan misteri. Dan kematian. Banyak kematian. Sebuah penjara bagi jiwa-jiwa yang tak bersalah, juga gudang cerita yang memberi mimpi buruk.
Sherwin
4      3     1     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
SERENA (Terbit)
126      27     0     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Secret Love Story (Complete)
119      30     0     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
My world is full wounds
3      3     0     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...