“Papa dukung apa pun keputusan kamu, Dik. Asal kamunya mau ngejalanin itu. Papa yakin kamu udah cukup dewasa untuk ambil keputusan sendiri. Ini salah satu keputusan penting dalam hidup kamu yang bakal jadi gerbang kehidupan yang baru dan kamu yang jalanin, kan? At least in good way, I’ll support you.” Begitu penjelasan panjang lebar dari papanya setelah Dika curhat sedikit soal pilihan bidang kuliahnya.
“Thank you, Pa. It really means a lot.”
Setelah beberapa kata penutup, Dika memencet tombol merah. Kali ini jari-jarinya menari lagi di atas layar ponsel, mencari-cari nomor kakaknya. Hanya butuh beberapa kali nada sambung, kakaknya mengangkat telepon.
Sama seperti pembicaraan dengan papanya sebelumnya, Dika ingin meyakinkan dengan menanyakan pendapat orang-orang terdekatnya. Senada dengan pendapat papanya, kakaknya pun cenderung membebaskan pilihan Dika mau masuk mana. Ia jadi bingung kenapa cuman mamanya yang nggak setuju dengan pilihannya.
“Mama cuman butuh diyakinin, Dik. Dulu juga kakak dikhawatirin mama, cuman kakak yakin dan terus buktiin prestasi, akhirnya mama juga luluh dan mendukung kok. Tenang aja. Ingat aja kalau yang jalanin kan kamu, yakin kalau kamu bakal jalanin itu suka dan dukanya, di saat terbaik dan terburuk, even things doesn’t go right, you’re not quit. Kalau udah mau gitu, lanjutkanlah. Kakak ada untuk kamu, kalau ada apa-apa, bilang aja.”
“Wah, jarak emang mengubah semuanya, dulu sering ngejekkin sekarang bisa nasihatin.”
“Yeee dibilangin. Emang, Dik. Jarak jadi bikin tau rasanya pulang. Jujur Kakak kangen sama kalian.”
“Udah deh Kak, lama-lama jadi getek sendiri dengernya, kayak yang nggak kayak biasa aja.”
“Iya dah iya.”
“Heheh, jangan baper, ya. You’re always be the best sister.”
***
Setelah semua yang telah dilewati, Dika jadi semakin semangat menjalani hari-harinya, semakin serius meningkatkan durasi baca dan tulisnya. Dika menuruti saran dari salah seseorang yang bilang kalau sesuatu bisa karena dimulai dari paksa, bisa, dan terbiasa. Nggak kerasa, asalnya cuman bisa baca satu dua lembar sehari, karena udah kebiasa, rasanya ada yang kurang, lama-lama jadi kebutuhan. Asalnya satu dua lembar sehari, jadi sepuluh, dua puluh, ... sampai seratus halaman sehari. Tulisan-tulisannya pun nggak cuman di buku coret-coretnya, tapi udah berani di-posting di blog pribadinya, dibagikan kepada teman-teman terdekatnya dan menanyakan pendapat mereka.
Info lomba-lomba nulis pun makin bermunculan, kebanyakan teman-temannya menjadi pengantar pesannya. Awalnya takut dan ragu-ragu, tapi karena Dika mau, ia pasti bisa. Nggak kerasa, Dika menikmati waktu-waktunya yang terlewati dengan menyenangkan, ia jadi punya motivasi lagi, kehidupannya punya napas lagi. Ia jadi tersenyum melihat beberapa karyanya yang berhasil masuk nominasi lomba, meski belum juara, ia merasa telah menjadi pemenang melawan ketakutannya.
***
Ini karyanya waktu ikut lomba bertemakan disabilitas ....
Stoples Surat
Untuk Bi Tini, terima kasih telah dipilih oleh kehidupan dan memilih untuk menjalaninya. Terus merangkak walau lebih spesial dari orang kebanyakan, terus berjalan meskipun dibantu oleh kedua tongkat yang selalu diapit di bawah bahu. Tidak ada yang berbeda, hanya itu saja. Karena semangat dan perannya yang tidak melunturkan citra insan Tuhan yang sempurna.
Pastinya sudah banyak potongan perjalanan kehidupan. Selayaknya kue cokelat, ada rasanya manis, bisa juga terasa sedikit pahit, tetapi tetap bisa dinikmati, disyukuri, dan dijalani. Sudah banyak jejak langkah yang membuktikan bahwa dirimu sudah melakukan yang terbaik.
Menjadi apa saja, melakukan apa saja. Mengejar mimpi, melakukan hal-hal yang disuka. Seperti kue nastar, terkadang ada saja yang terasa asam, begitu pun dalam kehidupan, terkadang orang-orang melihat ketidakwajaran atau keraguan, tetapi dirimu selalu tetap maju dan yakin akan pilihan. Terus bergerak bermanfaat bagi orang banyak, membanggakan keluarga, dan mengembangkan diri sendiri, membuatmu bisa menjadi salah satu inspirasi.
Halangan, hambatan, dan kekurangan bukan alasan. Selalu ada cara menyikapi dan mengatasinya. Tetap tenang dan memberi kehangatan. Berbagai cobaan itu layaknya taburan keju di atas kue kastengel atau keju, sebagai pelengkap rasa dan estetika. Menjadi pelengkap pembelajaran kehidupan, bekal hikmah untuk masa depan.
Bentuk kue semprit yang melingkar bisa mengingatkan bahwa selalu ada orang-orang yang melingkupimu. Berbagai dukungan dan obrolan renyah dalam suatu wadah yang tersirat rasa manis, manifestasi sebuah kasih.
Begitu pula sebagai seorang ibu dan istri yang manis dan lembutnya seperti kue putri salju, termanik dalam mata keluarga kecilmu yang penuh cinta, pun terkuar dalam hangatnya rumahmu yang bisa memberikan arti pulang.
Semua itu telah dibungkus dalam bentuk terbaik yang dinamakan takdir, lalu dirimu membuatnya semakin indah untuk diukir. Betapa Tuhan sangat sayang nan adil, betapa bersyukurnya kita dipertemukan dalam bingkai yang sama.
Terima kasih untuk berpuluh toples kue yang selalu diberikan pada hari raya. Sekarang giliran keponakan mungilmu yang hanya bisa memberikan stoples surat sederhana. Semoga bisa menjadi pengingat bahwa setiap insan selalu berharga.
Ini karyanya waktu ikut lomba bertema pulang ....
Aku Ingin “Pulang”
Hai, sahabatku, tak usah tersedu begitu. Waktu kamu meninggalkanku untuk pindah rumah keluar kota pun, kamu malah tersenyum kan? Kelihatannya kamu lega bisa pindah dari kota ini, meski tanpa sadar kamu juga yang pertama kali membuatku merasakan kehilangan. Kini kita bergantian, aku juga pindah, tapi aku lebih dulu pindah ke tempat yang dinanti-nantikan orang untuk bisa tenang. Aku pulang, Kawan. Pulang. Ke asal. Asal dari segala asal.
Pusaraku terbujur kaku, orang-orang berpakaian hitam-hitam, beberapa orang tak tahan bercucuran air mata, seketika semua jadi teringat masa-masa indah mereka bersamaku. Ah, aku juga bakalan kangen kamu dan mereka. Namun, tak apalah, nanti kan kita bisa bertemu lagi, di tempat terindah yang tak pernah terbayangkan. Makanya, selalu berbuat baik ya biar diizinkan Tuhan. Aku juga belum tahu bagaimana nasibku sekarang, tapi aku merasa ringan dan tenang. Tenang sekali. Akhirnya saat ini tiba juga. Semoga saja selamanya terasa seperti ini.
Kamu tahu, melayang-layang di atas sini membuatku turut melayang bersama ingatan masa lalu. Benar ya ternyata, akhirat yang dulu hanya cerita, kini dunia yang tinggal cerita. Aku bersyukur bisa diizinkan menyicipi kehidupan, manis dan pahitnya. Waktu itu aku bermimpi bisa jadi penulis yang bukunya ikut terpajang di rak-rak sampai berkeliling dunia untuk mencari makna. Namun, bodohnya aku, bukannya fokus pada mimpi-mimpi itu, malah berpikiran terus ingin pulang. Kenapa? Aku pikir kedamaian untuk pulang lebih dari cukup untuk membebaskanku dari tekanan-tekanan. Jujur, aku tak tahan. Tapi, ke mana lagi aku harus pulang. Sementara rumahku di bumi ini seperti tak berpenghuni, mati sebelum mati.
Padahal tak tahu apakah bekalku cukup. Apakah misiku di bumi terpenuhi. Apakah kehidupan ini. Sebenarnya, apa yang aku cari? Apa yang aku mau?
Aku tak mengerti lagi bagaimana cara kerja kehidupan ini, kadang kamu menjadi orang paling bahagia sampai-sampai terasa terbang menembus angkasa, kadang menjadi seorang paling menyedihkan sampai seperti tak ada lagi yang bisa mengeluarkanmu dari palung terdalam dan tergelap. Kemudian kamu mengingat-Nya, kembali sadar bahwa hanya Dialah yang selalu menemanimu, selalu memperhatikan dan peduli padamu. Merasa berdua saja dengan-Nya. Maka jangan berpikir macam-macam, kerjakan saja segalanya dengan perbuatan terbaik, tanyakanlah di Jannah-Nya nanti. Harusnya nilai praktikku bisa sebagus teori. Bodoh.
“Aku taruh sini ya, kan ada kamu.”
“Jawabannya yang ini apa sih, aku tau kamu pasti bisa!”
“Jangan keluar sekarang, udah kemalaman.”
“Semuanya bakal baik-baik aja kok, semangat!”
“Pasti kamu merasa buruk, kan? Tenang ada aku.”
Aku bakal kangen itu semua. Rasa percaya, perhatian, khawatir, semangat, penghibur. Aku bersyukur pernah ketemu kamu. Pernah bertemu orang-orang yang membuatku merasakan aku sebagai aku. Pernah saling bantu—meski aku tau kalau aku lebih merepotkan. Pernah berbagi semuanya. Pernah ada.
Setelah apa yang telah terjadi, aku mohonkan Tuhan sekali lagi, semoga kita selalu ingat hal-hal baik, ingat satu sama lain, ingat pernah saling menghangatkan, ingat pernah saling percaya. Aku tak tau kalau suatu saat kita bertemu lagi dalam keadaan lupa, berarti aku telah kehilangan untuk yang kedua kalinya. Baik-baik ya kamu di sana! Eh atau di sini? Ah aku jadi bingung.
Hai, sahabatku. Maafkan aku karena kita berakhir menjadi orang asing. Terima kasih banyak telah mengajariku kekuatan. Sampai jumpa lagi, Kawan. Akhirnya aku pulang.
Satu ini karyanya yang harus memuat kata-kata “teman bertubuh mungil” ....
Ganjil
Untuk seseorang yang tiba-tiba bayangnya datang bersama bulir hujan semalam. Entah mengapa udara lembut memutar kembali kenangan kita. Aku rasa kepingan memori ini hanya milikiku, sebab kamu hanya orang biasa. Namun, entah mengapa rintik sendu tadi memberitahuku kalau aku tak bisa mengelak lagi, kalau aku rindu.
Aku tak habis pikir, bagaimana sosoknya tiba-tiba hadir kala deru kendaraan memenuhi langit kota. Aku seperti terhisap masa lalu dan menemukannya, aku seperti sendiri dalam dimensi, menyaksikan rekaman kejadian bersamanya. Jangan salah paham, aku tidak cinta, hanya tak tahu namanya.
Begitu pun saat orang lain memakai barang-barang yang mirip dengannya; jaket, motor, bahkan sampai bentuk punggung yang terlihat mirip. Kadang-kadang aku menerka, mungkinkah? Namun, selalu bukan. Aku bisa saja menanyakan kabar atau di mana dia sekarang, tapi tak bisa, bukan tak mau.
Untuk seseorang, kuucapkan terima kasih padamu, setidaknya malam ini aku jadi bisa menulis sesuatu, karena letupan ini harus dituang, dalam tulisan. Untuk seseorang, aku hanya ingin berteman baik denganmu, sama baiknya seperti kertas kecil yang masih aku simpan dalam laci lemari, kertas-kertas yang kau tulisi dengan huruf-huruf kecil.
Dariku, teman bertubuh mungil.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu