Kau menjelma partikel bebas.
berkeliaran tanpa permisi,
merasuki relung hingga penuh terisi.
***
Besoknya, mereka bertemu di tempat yang dijanjikan. Jembatan melengkung pengubung bangunan kelas IPS dan IPA. Orang-orang menyebutnya “jembatan cinta”.
Norak banget ih.
Lebay banget namanya.
Banyak persepsi yang dilontarkan anak-anak. Pernah juga ada yang bikin ala-ala video klip India di jembatan itu.
Gara-gara bertemu di sana, teman-teman Daffa jadi tahu kalau dia tengah dekat dengan gadis yang namanya Aira. Sesudah mereka bertemu di sana, banyak temannya yang menyorakinya, menggodanya. Daffa geli sendiri dibuatnya. Makanya setelah itu mereka nggak pernah ketemu lagi di sana. Tapi selalu ada momen-momen baru bersamanya. Dunia Daffa jadi diputar 180 derajat. Tiap hari dia punya semangat baru. Tiap hari dia punya rasa yang baru. Apakah ini orang-orang sebut jatuh cinta? Atau masa-masa klasik di SMA? Oh, gini rasanya.
***
Ada suatu momen setelah beberapa bulan berlalu sejak pertama kali mereka bertemu di halte ....
“Daf, tau nggak artinya mensana in corporesano?” tanya Tama tiba-tiba setelah keheningan panjang di antara mereka.
Di meja kafe itu ada mereka berempat, Daffa, Tama, Dika, dan ... Aira. Lama kelamaan ngegodain Daffa, entah gimana ceritanya Aira jadi gabung sama mereka. Seakan mengikuti alur kehidupan dan senatural mungkin, mereka cocok bertukar pendapat dan saling bantu, terutama tugas. Sehabis pulang sekolah, kalau ada yang mau diomongin atau dibahas, mereka bakal kumpul di kafe dekat sekolah. Kafe yang jadi saksi bisu di mana Daffa dan Aira ketemu pertama kali.
“Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat,” jawab Aira enteng tanpa memalingkan perhatiannya pada buku teks yang sedang ia baca. Sisanya hanya melongo dan saling pandang.
Kemudian Tama mulai tepuk tangan. “Emang nggak salah kita milih mentor.”
Sejak mereka bertiga tahu kalau Aira termasuk orang yang pintar, berbagai negosiasi dilontarkan pada Aira biar dia mau bantu mereka bertiga mengerjakan tugas. Tiga laki-laki yang sering malas dan kesulitan mengerjakan PR, sekarang lebih semangat karena ada mentor pribadi yang siap membantu. Karena mereka beda jurusan, jadi yang bisa dikerjakan bersama hanya mata pelajaran umum yang sama-sama dipelajari kedua jurusan, seperti bahasa asing yang tadi ditanyakan Tama.
“Eh kalian jangan lupa olahraga ya,” celetuk Aira tiba-tiba. Kini ia menaruh buku teksnya, memajukan badannya sedikit, dan berlagak menjadi seorang ibu bagi ketiga anak laki-laki yang sedang diasuhnya. “Aku pernah sampai kena depresi gara-gara itu,” katanya serius.
Daffa yang menyembunyikan senyuman lebarnya merespons, “Oh ya?” Sebenarnya Daffa bukan meremehkan perkataan Aira, dia cuman merasa bangga dan senang melihat perkembangan Aira. Gadis pemalu itu kini mulai nyaman berbicara di antara mereka.
“Mau dengar ceritaku nggak?”
Mereka bertiga hanya mengangguk-angguk sambil menyiapkan telinga dengan mata berbinar.
“Tiga bulan lalu, selama tiga bulan. Aku terperangkap tanpa dopamin—”
“Hah?” potong Daffa.
Aira cuman mendelik sebentar dan menghela napas lalu melanjutkan, “Dopamin adalah hormon penting yang bertanggung jawab atas rasa senang dalam tubuh kita, itu aku baca di LINE Today.”
“Oh ... iya iya, maaf memotong Nona, silakan lanjutkan.”
“Ya ... kukira aku baik-baik saja dan begitu bebas sampai rasanya dibanjiri dopamin, tapi sebaliknya, aku sebenarnya terperangkap dalam ragaku sendiri, sedangkan jiwaku tak mau diam dari situasi alami. Aku melewatkan banyak pesta, banyak pertemuan, banyak udara, banyak permen kapas. Aku pikir, rasanya seperti terbang, padahal nyatanya terkunci dalam sangkar. Aku bebas, tapi terkungkung. Aku bingung, mentok, nggak tahu harus apa.
“Tapi aku masih waras, karena gantung diri adalah jalur tercepat yang mengantar menuju neraka atau kau boleh menyebutnya ‘jalan tol’. Aku tetap hidup meski merangkak, lebih pekak dan rendah daripada tekanan dan beban sebelumnya. Aku diuji, berkali-kali, sampai rasanya tanah yang ada di bawah adalah lapisan terakhir.
“Mulutku ingin berteriak minta tolong, mataku terlalu banyak menyimpan bayangan, tapi yang terlihat hanyalah kekosongan. Waktu itu, aku rasa pilihanku adalah sesuatu yang menyenangkan, tapi aku malah mengunci diriku dan menempatkanku di tempat yang salah.
“Tuhan, maafkan aku kalau ini seperti ditenggelamkan oleh kekhilafan.
“Saat itu, orang yang paling tak pernah kuduga akan mengecewakan, tiba-tiba bagai kilat di siang hari, membuatku menjadi target pelampiasannya. Bukan salah dia, bukan salah aku, lalu siapa yang salah? Aku bingung, Tuhan. Oh, jadi begini rasanya berharap kepada manusia. Meski tanpa ucapan sadar, nyatanya di bawah akal rasional aku berharap banyak padanya. Mungkin Tuhan menegurku. Anggap saja ini ujian karena sayang-Nya.
“Oh, jadi selama ini aku berharap pada manusia.
“Padahal, siapa yang membuat kornea mataku begitu sempurna? Siapa yang mendesain program kelopak mataku untuk terus berkedip? Aku siapa sih? Aku siapa? Kenapa aku yang dipilih? Baiklah, sekarang aku jadi merasa kesepian, karena pada akhirnya aku sendirian. Sebelum aku benar-benar hilang akal, Tuhan masih sayang, aku masih diberi kehidupan lagi, Kawan!
“Satu cahaya perlahan mulai menjulurkan tangannya, satu per satu sampai akhirnya menyilaukan. Aku bangkit lagi. Aku bertemu seseorang lagi. Tunggu, apakah aku boleh menyebutnya ‘seseorang’? Oke, aku hanya ingin ikuti saja caranya. Cara dia untuk membantuku. Masa bodoh dengan hal lainnya, aku ingin sembuh. Kata dia ... aku hanya butuh ... olahraga.”
“‘Hah? Yang benar saja?’ kataku. Siapa yang bodoh sih? Aku juga dulu sempat melontarkan pertanyaan itu. Tapi nyatanya aku lakukan itu juga. Aku berusaha merapalkan banyak mantra positif daripada sebelumnya di depan kaca. Aku nggak mau kalah sama emosi negatif! Aku harus ingat apa yang sudah aku dapatkan, aku harus positif! Aku hidup lagi, Kawan! Setelah coba pemanasan tiap pagi sebelum matahari bertambah panas. Coba mengubah kebiasaan burukku, mager!”
“Hahaha.”
“Yaaa ... olahraga emang capek, tapi tanpa dia, aku sekarat. Dopamin, sudah berapa lama kamu bersekongkol sama si olahraga hah? Kamu buat cairan kimia otakku nggak seimbang waktu itu. Cuman karena kamu kangen sama si olahraga? Oke. Sekarang aku rela kalau kalian sahabatan. Sekian.”
Akhirnya Aira menuntaskan curhatannya yang melebihi gerbong kereta api.
Tepuk tangan memenuhi meja kecil mereka.
“Jadi, di dalam tubuh sehat terdapat jiwa yang kuat. Masalah bakal datang terus menerus, namanya juga hidup, tapi kalau kita sehat, kita bakal kuat menghadapinya,” pungkasnya dengan quotes ala-ala yang suka nongol di laman-laman Instagram.
“Jadi ... besok olahraga yok?” celetuk Dika tiba-tiba.
“Hahaha ....” Empat tawa anak remaja menggema di meja itu.
Di balik tawa kebersamaan mereka, ada senyum lagi yang merekah di sana, di dalam lubuk Daffa. Gadis di depannya yang membuat dirinya merasa dihantam terus menerus oleh rasa kagum. Dia cantik, bukan hanya fisik, dan tanpa perlu jadi orang lain.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu