Denting jam bergerak cepat tanpa kenal kata jeda.
Tapi waktu beku pada momen yang sama.
Wajah-wajah kutemui di jalan jadi serupa milikmu
atau berharap begitu?
Ternyata kata rindu bukan ditujukan pada seorang yang pernah buatku tulis beratus puisi lugu.
Melainkan pada seorang yang pernah jadi teh hangat dan telingaku.
***
Sejak saat itu, Daffa berharap orang yang berlalu-lalang di jalan ada sosok hadirnya menyelip di sana atau orang yang berpapasan dengannya tanpa sengaja adalah Aira. Kadang ia hampir menyapa seseorang itu dan terlonjak kaget bahagia, tetapi itu bukan dirinya, tak pernah benar itu kenangan masa SMA-nya.
Bahkan seperti saat ini, saat matanya menatap lurus bar di hadapannya, tanpa kedip beberapa detik, seperti pandangan kosong, berharap bayangan orang yang berada di balik meja untuk pesan minuman adalah orang itu, tetapi kenyataannya cuman waitress yang tak dikenalnya.
Daf, udah ah, jodoh ada yang ngatur, ujar Dika sambil melambaikan tangan di depan matanya.
Nggak usah pikirin yang menjadi urusan Tuhan. Sabar, Daf. Pasti ada orang terbaik yang cocok buat kamu. Meski kamu suka sama Aira, belum tentu dia jodoh yang cocok buat kamu. Tuhan melihat semuanya secara utuh, tambah Tama.
Hehe ... makasih banyak. Omongan yang udah nikah beda nih, balas Daffa sengaja membelokkan arah pembicaraan.
Wuih, oh iya, dari tadi kita nostalgia aja. Lupa ngewawancara yang baru menempuh hidup baru, sahut Dika sambil menyikut lengan Tama.
Apa sih ah.
Asli, nggak kerasa banget udah punya temen yang jadi Papa-Papa! Masih nggak nyangka, seloroh Daffa.
Belom jadi Papa-Papa kaliii.
Nahh kapan punya ..., ucap Daffa menggantung, mengurungkan niat bertanya lebih jauh setelah mendapat tatapan tajam dari Tama.
Kenapa nggak dilanjutin, Daf? tanya Dika.
Ogah ah. Ntar ditanya balik kapan nikah.
Hahaha. Makanya gak usah bercanda begituan. Tiap orang kan punya waktu tepatnya masing-masing.
Iya iya deh, Papa. Udah siap banget kayaknya bimbing anak-anaknya kelak. Udah bedalah. Jadi banyak kata-kata mutiaranya.
Gara-gara dapet teman cerita sih, jadi asyik aja kalau bahas-bahas sesuatu, terus jadi suka dapet quotes of life, jawab Tama, matanya beda dari sebelumnya, lebih hangat tapi bersinar.
Siapa? tanya Daffa polos.
Siapa lagi kalau bukan teman hidup, jawab Tama bangga.
Ceileeeh, respons Daffa dan Dika berbarengan.
Tama jadi teringat masa-masanya bersama Hana, teman hidupnya.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu