Kenangan itu terhisap lagi oleh waktu. Masa kini kembali mengambil peran. Meja kecil di kafe itu mulai terasa hangat dan ringan. Sama hangatnya seperti pipi yang dialiri darah sewaktu dua jiwa yang ditakdirkan itu akhirnya bertemu juga. Sama ringannya saat hari-hari yang dijalani karena ada teman yang melampaui batas masa. Tama jadi senyum-senyum sendiri.
“Ceilahhh, bikin ngiri ah,” celetuk Daffa yang geli melihat Tama mesem-mesem.
“Iri tanda tak mampu,” balas Dika cuek.
“Jangan gitu ah kasian sama yang masih sensitif,” tanggap Tama sambil tersenyum kecil. Seketika HP-nya bergetar, tanda pesan masuk. Dari seorang perempuan yang mulai sekarang menjadi paling berarti dalam hidup setelah ibunya.
Maaf, aku pulang, bukan ke rumah.
Singkat, tapi ia sudah paham maksudnya. Sesuatu yang bisa bikin meja kecil itu tak lagi terasa hangat dan ringan. Dalam sekejap, suasana berbalik 180 derajat. Udara menenangkan beberapa saat lalu rasa-rasanya ditiup angin. Berubah jadi dingin.
Hana, melemparkan pesan perang dingin lagi. Padahal dia kira urusan cek-cok sepele mereka beberapa hari lalu sudah meredam, tapi ternyata perempuan keras kepala satu itu belum melupakannya. Meski belum setahun, fase kehidupan rumah tangga mereka memasuki babak baru, setelah love bird, muncullah little storm. Semoga mereka masih bisa berjalan bersama melewati angin-angin yang usil merangsek langit indah mereka. Semoga langit tanpa awan bisa mereka lihat bersama lagi.
Semoga Hana pulang ke rumahnya lagi.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu