Di antara kita selalu ada cinta. Entah baru atau lama. Kenal atau tidak. Beruntung atau tidak. Besar atau kecil. Sesungguhnya di tiap-tiap kita punya cinta. Bisa membawa hidup damai dan bahagia. Kenapa masih ada perang. Masih ada yang berantem. Berselisih. Mungkin mereka lupa atau malah pura-pura lupa.
***
Beberapa bulan setelah percakapan itu ....
Akhirnya ayahnya pulang juga. Meski judulnya “pulang” atau beda tipis dengan “liburan”, tetapi bagi ayahnya Tama, tidak ada kata itu dalam kamusnya. Memang lebih senggang daripada bulan-bulan kerja biasanya, tetapi tetap saja kalau pulang pun beliau mendatangi rekan-rekan kerjanya, entah sambil diselingi obrolan santai atau ngopi, ujung-ujungnya bahas kerjaan juga.
Kadang Tama bingung, bukannya ayahnya ini salah satu pimpinan? Kenapa nggak tinggal suruh-suruh saja? Ya ... maksudnya, tinggal kasih ide lalu biarkan anak buahnya bagian merealisasikan. Mungkin ilmu itu belum ia kuasai, tapi Tama punya mimpi bisa membuat kerjaannya cemerlang dan keluarganya nyaman.
Saat itu Tama baru sampai rumah, baru buka pintu. Seketika ada pemandangan yang tak diharapkannya. Sesuatu yang menjadi mimpi buruk bagi sebagian orang: pertengkaran orang tua. Setelah memperhatikan sejenak, Tama mengerti, ini cuman masalah kecil tapi bisa berdampak besar, soal kesalahpahaman.
Ayahnya tak suka kalau begitu pintu rumah terbuka, hal pertama yang dilihatnya adalah sepatu-sepatu dan raknya yang tak bersalah. Benda-benda itu tak bersalah, tapi pemakainya yang membuat ayah kadang-kadang naik darah, apalagi kalau urusan kantornya sedang kacau, itu menjadi pemantik paling manjur untuk menyulut amarahnya.
Ibunya, sudah berapa kali mendengar keluhan ayah itu, tapi cuman dianggap angin lalu. Entah karena ibu menganggap itu masalah kecil yang bisa diurus nanti-nanti atau memang dari sananya pelupa. Cuman ayah menganggap disepelekan. Menurutnya, “kapan” berarti kepastian, tapi “kapan-kapan” berarti ketidakpedulian.
Tama mengerti, mereka hanya perlu rehat sejenak sambil mendinginkan kepala, duduk berdua di beranda, saling mengutarakan rasa, baik yang enak maupun tidak. Saling menyesap teh hangat dan menikmati udara sore hari, saling terbuka dan bicara, ada apa, mau bagaimana. Bersabar, saling mengingatkan dan menasihati, dengan cara baik-baik.
Namun, impian hanyalah impian. Egoisme dan gengsi-isme yang mengalahkan semua itu. Akibatnya terjadilah kebisingan yang tak ada kata-kata.
“Ayah, udah!” lerai Tama.
“Ajarin nih ibu kamu! Kepala keluarganya sendiri tidak ia hormati! Kata-katanya cuman masuk telinga kanan keluar telinga kiri!”
Ibu cuman bisa meringis memeluk diri.
“Gimana Ayah mau dihormati kalau caranya begini? Kami butuh dibimbing, Yah. Bukan hanya diceramahi.”
“Kalian ... nggak tahu terima kasih.”
Ayah yang dulu, ke mana? pikirnya.
***
Awan mendung itu berhasil keluar, tetapi hilang. Bukannya berubah menjadi lebih baik, tapi keadaan semakin suram. Rumah jadi tak terasa rumah. Keluarga Tama ... semakin sepi, cuman ada diam yang menutupi seribu bahasa. Ayahnya jadi tak pulang lagi. Bahkan saat Kintan—adiknya—sakit, ayahnya masih tak memberi kabar. Kehilangannya seperti mengulur benang satu per satu hingga lepas dan tak tau kapan bersatu lagi.
Mantap cantikaaa, teruskan ya semoga jalan menjadi penulis lancar sukses dan dapat memberikan inspirasi lewat tulisanmu seperti yang udah kamu lakukan padaku.
Comment on chapter 1. Gerbang Masa Lalu